"Mengapa semua menjadi sesulit ini? Semua hampir teransparan tetapi perasaan yang tidak seharusnya malah hadir" Eline Herzone.
****
"Jangan begitu." Eline menampilkan raut meyakinkan, menatap serius pria di hadapannya. Dia begitu mengagumi Selena dan rambut itu berwarna kuning yang indah, menghangatkan sekaligus mengingatkan Eline pada rembulan.
"Maaf. Saya kira tak akan ada orang yang menyukai warna rambut ini." Pria itu bersuara pelan dengan wajah murung.
"Aku menyukaimu."
Pria itu mendengak. Manik hitamnya memindai wajah cantik di hadapannya dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Apa?"
Eline menggerutu pelan merasa sebal melihat wajah pria di hadapannya. Dia menggerakan kedua telunjuknya untuk menyentuh sudut bibir pria itu. "Kau terlihat tampan jika begini." Eline mengangkat telunjuknya memaksa pria di hadapannya untuk tersenyum.
Bukannya menolak atau terlihat senang, proia itu malah menggaruk tengkuk merasa canggung. Dia tak mengira akan bisa sedekat ini dengan Ametis.
Eline tersenyum kikuk tersadar dengan apa yang baru dilakukannya. "Maaf." Dia menarik tangannya cepat lalu buru-buru memalingkan wajah. Apa yang terjadi? Apakah seorang Eline baru menunjukan sisi agresifnya terhadap pria? Ah, ini di luar kuasanya. Mengapa semua anggota tubuhnya bergerak tak sesuai dengan otaknya?
"Maksud dari perkataanmu menyukaiku?" Pria itu mengabaikan kejadian yang membuat mereka canggung. Dia mencari pembahasan yang lebih masuk dan menarik untuk dibahas.
"Ah, itu. Maksudku,, aku menyukai warna rambutmu. Itu sungguh indah." Eline menjelaskan dengan wajah yang memanas. Dia tak berani menoleh untuk memastikan raut pria di sampingnya.
"Benarkah?"
"Aku tidak berbohong. Warna rambutmu sungguh indah."
"Bisakah kau melihat kearahku?"
Eline menautkan tangannya di atas paha, menyalurkan kegerogian yang menguasai. Tetapi tak butuh waktu lama untuk dia mengikuti perkataan pria di sampingnya.
Pria itu menatap lekat manik violet di hadapannya. Dia menggerakan telunjuk tangan kanannya membuat pola lingkaran di udara.
Eline mengerenyit. "Apa yang baru kau lakukan?" Dia bertanya curiga dengan seluruh indra tubuh yang waspada.
"Ah. Tidak." Pria itu mengulurkan tangan. "Bagaimana jika kita berkenalan?"
Eline terdiam untuk beberapa detik, menimang keputusan yang akan diambil. Dia sedikit meragukan pria itu, seperti ada yang salah tetapi dia tak tahu apa. Setelah menimang-nimang cukup lama kepala gadis itu tergerak untuk mengangguk.. Tak ada salahnya berkenalan dengan orang baru, bukan? Untuk persoalan manik merah itu mungkin dia hanya salah liat, ya, itu jawaban yang lebih masuk akal. Eline menjabat tangan pria itu dengan sedikit senyum. "Namaku Eline. Kau bisa memanggilku itu."
Pria itu terus saja tersenyum seolah dia adalah pria baik yang ramah. "Nama saya Azriel."
"Nama yang indah."Eline memuji dengan tulus. Dia melepaskan jabatan tangannya. "Apa kau mahasiswa di sini?"
Azriel mengangguk. Matanya memandang jauh kebelakang Eline.
"Tetapi aku baru tahu ada mahasiswa yang memiliki rambut sepertimu." Eline mengetuk-ngetuk jarinya di atas paha. "Pasti kau salah satu pria yang memiliki banyak penggemar." Dia menebak asal.
Azriel kembali menatap manik violet di hadapannya. Alis pria itu terangkat satu. "Tidak juga," Dia menjawab seadanya.
"Kau sangat indah, bagaimana mahasiswi-mahasiswi itu tidak akan menyukaimu?" Eline bertanya sedikit ketus. Entah mengapa dia tak menyukai kemungkinan itu, dia tak suka pria di hadapannya menjadi idaman para gadis!
Azriel menyeringai. Tatapan hangat pria itu berubah tetapi begitu aneh dan sangat misterius. Eline tak tahu apa maksud tatapan itu, tetapi entah apa yang terjadi pada otaknya, dia mempercayai pria di hadapannya.
"Aku sudah memiliki kekasih." Azriel menjawab ringan. Dia terlalu senang saat mengatakan itu sampai tak memperhatikan raut gadis di hadapannya.
Eline mengangguk-anggukan kepala. Dia membuang wajah menatap ayunan yang teronggok bisu di tengah-tengah taman.
"Apa nona ingin menaiki itu?"
Eline mengangkat pundak acuh. Dia sedang tak berminat melakukan apapun. Tujuan gadis itu datang kemari hanya untuk menghirup udara segar sekalian menghindari matkul kepala perontos. Pak tua yang sangat bawel itu selalu saja berhasil membuat telinga Eline sakit dengan ocehan-ocehan yang tak berguna sama sekali.
"Apa yang sedang nona pikirkan?"
Eline kembali mengangkat pundak tampak tak berminat menjawab. Dosen perontos itu melenyapkan semangatnya. Hanya dengan mengingat wajah tua yang selalu saja menampilkan raut jengkel membuat kepala gadis itu berdenyut sakit. "Aku tidak bisa terlalu lama bersamamu."
Azriel menatap Eline kecewa, sedikit tak setuju dengan perkataan gadis itu. "Mengapa?"
Eline mendengus. Reytasya. Gadis sialan itu pasti mencarinya. "Aku masih memiliki jam matkul." Eline bangkit dari duduknya. Dia melangkah menjauhi taman, tak sama sekali berminat mengatakan salam perpisahan, apa lagi senyuman pertemanan! Ah, lagi pula Eline bukan gadis semacam itu.
****
Lorong umum tampak ramai dengan mahasiswa-mahasiswi yang berlalu-lalang sibuk membawa setumpuk buku di tangan. Eline tampak acuh tak sama sekali menoleh, seperti biasa gadis itu hanya mengabaikan berbagai macam tatapan yang diam-diam mengarah padanya.
'Elie.'
Eline mengabaikan suara kakaknya yang muncul. Langkahnya begitu tegas, stabil, dan anggun. Ia tak memiliki arah tujuan. Mungkin mengelilingi kampus bukan hal yang melelahkan.
'Elie!'
'Kau di mana sialan!'
Eline mendengus merasa terganggu dengan sebutan di belakang namanya.
'Elie. Jawab pertanyaanku!'
'Ada apa?'
'Ada yang ingin kutanyakan.'
'Penting atau tidak?'
'Sangat penting.'
'Aku sedang berada di lorong arah ke-parkiran.'
Eline menghentikan langkah menepi di sisi. Gadis itu menyenderkan tubuhnya pada tiang beton yang menyanggah atap. Dia berada tepat di pertigaan lorong utama kampus, jalan strategis yang banyak dilewati. Dari tempatnya Eline tak sengaja melihat punggung pria dengan rambut uniknya sedang berbincang. Pria yang belum lama duduk bersamanya di taman, pria yang begitu misterius, pria yang berhasil membuatnya tertarik dengan sekali pertemuan.
Di hadapan pria itu terlihart seorang gadis yang lagi-lagi Eline tak mengenalinya. Lagi juga sejak kapan dia peduli dengan orang-orang di kampus ini? Eline mengembungkan pipi merasa tak suka. Entah mengapa tiba-tiba dia ingin marah dengan pria itu. Ingin sekali dia menghampiri pria yang memperkenalkan diri sebagai Azriel, memarahinya, memberi tahu pada semua orang bahwa dia ... adalah seorang teman, ya, teman.
Lalu dimana hak untuknya marah? Mereka baru sekali bertemu dan tak memiliki hubungan apapun selain pertemanan.. Mungkin saja, bukan? Jika gadis itu kekasih yang dimaksud Azriel?
Rambut panjang berwarna biru gelap? Elline tak bisa melihat wajah gadis itu karena posisinya yang berada di belakang. Tetapi dia bisa melihat wajah Azriel yang tampak bahagia. Eline mendengus. Apa yang terjadi dengan otaknya? Mengapa ia tak menyukai kenyataan di hadapannya? Bukankah mereka sangat cocok? Mereka memiliki rambut yang khas. Pantas jika sang dewi menakdirkan ke-dua orang itu.
***
Sudah direfisi! Koment jika typo atau kesalahan masih menyempil!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bastard Imortal (tamat)
FantasíaWARNING! Cerita ini memiliki banyak virus, kata-kata fulgar, khayalan klasik, dan penggambaran ... Eline Herzone, gadis canntik tanpa cela itu adalah seorang putri dari keluarga bangsawan terhormat bangsa vampir. Parasnya yang disebut-sebut duplikat...