Bab 06

3.8K 183 24
                                    

"Selalu ada pertemuan dan perpisahan, kebahagiaan dan kepedihan, tawa dan tangis, cinta dan ikhlas. Mengapa bukan cinta dan benci? Karena sejatinya, kamu tidak pernah membenci. Kamu hanya ... belum ... siap ... menerima." Eline Herzone

***

"Sepertinya kau sangat bernafsu membunuhku ya, Amour?"

Eline menyeringai. Tangannya masih terkepal dengan setrum-setrum kecil yang kapanpun bisa meledak. "Aku sangat ingin membunuhmu sekarang! Sepertinya melihatmu tergeletak tidak bernyawa adalah sesuatu hal yang menyenangkan."

Alex terkekeh, merasa terhibur dengan perkataan gadisnya. Bahkan sepertinya dia sangat ingin meniduri Eline segera. "Tidak bagus Amour berkata sekejam itu! Apa kau ingin membuat Selena marah karena kau membunuh pasangan yang telah dipilihkan olehnya?"

Eline sudah tak bisa lagi menunggu. Semakin diberi waktu, semakin Alex terlihat sangat menyebalkan! Eline melepaskan kepalan tangan ke-arah pria yang masih berbaring di bawah.

Kepul debu dari ledakan itu menghalangi pandangan Eline. Tetapi dia tahu buruannya berhasil kabur, hal itu membuat Ametis semakin geram bertambah menginginkan Alex mati! Tangan Eline kembali terkepal tetapi tak ada setrum-setrum seperti sebelumnya.

Reytasya berdecak. Adiknya itu benar-benar menyeramkan! Dia tahu apa yang akan gadis itu perbuat. Reytasya menjauh dari meja rias bertepatan dengan Eline yang menghilang menyisakan tulisan bertinta ungu yang tiba-tiba muncul dari permukaan cermin.

"Aku gagal membunuh pria bajingan itu!" Reytasya membaca tulisan di hadapannya. Dia menghela nafas lega, tak akan ada cermin baru. Ya, rasanya Reytasya sudah lelah jika harus membeli cermin lagi dan lagi. Eline selalu saja melenyapkan apapun benda yang digunakan Reytasya sebagai alat pelantara. Tidak cermin, gelas, piring, buku, tumpukan sampah, bahkan guci mahal sekalipun.

*****

Alex muncul di kamar. Kemeja dan celana jins yang digunakan terlihat kusut dan kotor. Dia menatap tajam ke-arah cermin yang menampilkan kondisi acak-acakannya. Debu yang menempel di sekujur tubuh tampak kontras dengan warna kulit pria itu. Dia teringat pukulan Eline yang sangat kuat, mungkin bisa membuat gempa lokal. Alex tak mau ambil resiko jika Eline semakin marah padanya. Bagaimanapun dia masih ingin memiliki keturunan dari Eline Herzone si Penguasa Ametis! Hidup sampai tua dan mengurus anak-anak. Putra Marta tak akan membiarkan Eline menjadi perawan tua, berteman sepi, digoda para pria mata keranjang, dan ... ah! Dia sudah tak kuat lagi membayangkan kemungkinan yang mungkin saja bisa terjadi.

****

"Kau mencari apa sih?" Steven membuntuti Brian yang terus saja berjalan di lorong perpustakaan.

"Bisa tidak kau diam dulu!" Brian berkata ketus. Maniknya masih fokus menatap buku-buku yang berjejer rapih di rak.

"Aku tidak akan diam sampai kau memberi tahuku di mana kau bertemu gadis Ametis tadi? Apa dia benar teman satu kampusmu?"

Brian mendengus. Dia menghentikan langkah fokus menatap satu buku. Brian tersenyum puas. Tangannya terulur meraih buku dengan sampul hitam berjudul "VAMPIR"

Steven juga menghentikan langkahnya, ikut memperhatikan buku dalam genggaman Brian. ,"Kau ingin mencari tahu tentang bangsa vampir, atau Ametis?"

Brian mengangkat pundak, tak berniat menjawab. Brian membalikan tubuh dengan buku di tangan.

"Jika kau berniat mencari informasi Ametis di dalam buku, kau tak akan menemukannya."

Tetapi Brian tetaplah Brian. Werewolf yang suka membaca, mencari tahu tentang apapun yang belum diketahui. Brian selalu percaya jika buku bisa menyelesaikan permasalahan, ya! Karena selama dia hidup, buku selalu dapat memecahkan segala tanda tanya. Brian tidak perlu mendengarkan peneliti bodong itu! Kini tugasnya hanya membaca, menganalisa, dan mencari petunjuk sekecil apapun.

"Apa kau benar kekasihnya? Aku tidak yakin."

Brian kembali mengabaikan perkataan kakaknya. Dia melesat menuju kamar, siap melahab buku-buku yang menumpuk bak gunung.

Sifat keras kepala Brian selalu saja membuat Steven jengkel. Kapankah anak kecil itu mau mendengarkan perkataannya?

*****

Eline menatap bulan dari balkon kamar. Jika boleh jujur dia merindukan dady dan momy. Bagaimana kabar ke-dua tua bangka itu? Sepertinya Eline sudah lama tak datang berkunjung.

Reytasya muncul tepat di samping adiknya, ikut menatap bulan di kejauhan. "Bulan sabit?" Dia merasakan dadanya diremas kuat, begitu sesak menghimpit. "Apa kau merindukan mereka?"

Eline mengerejap. Dia tak sadar jika ada kehadiran orang lain. "Sejak kapan kau ada di sini?"

Reytasya terkekeh. "Kau merindukan mom dan dad?"

Eline mengangkat pundak, malas membahas sesuatu yang hanya menambah luka.

"Kalau kau ingin kita bisa pulang."

Eline tersenyum miris. "Untuk apa pulang?"

Reytasya mengalihkan pandangan dari bulan yang tampak bersinar lebih terang. Dia menatap lekat wajah adiknya dari samping, mencoba menyelami hati sang pemilik. "Jangan membohongi perasaanmu Elie!"

Eline mengangkat satu alis masih menatap bulan, seolah dia dapat melihat kehidupan lain di sana. "Apa aku terlihat sedang berbohong?"

Anggukan mantap Reytasya menjawab. "Ya, kau terlihat seperti orang yang sedang berbohong."

"Mungkin rasanya berat, bahkan aku hampir ingin mengalah. Tetapi kita sudah terlalu jauh, bergerak dengan kedua kaki. Meski tertatih, bahkan kita sering merangkak, Selena masih menginginkan kita tetap berjuang ... " Eline menghela nafas, sedikit mengurangi rasa yang seakan mencekik. "Kau dan Alex sudah berkorban banyak untukku, terima kasih. Tetapi tekatku sudah bulat! Jika nanti aku harus pulang, aku pulang untuk memecahkan misteri." Eline mendengus sebelum berbalik, melangkah masuk.

Reytasya menatap ke-pergian Eline dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Sebenarnya bukan kali ini saja Reytasya mempergoki adiknya yang membisu menatap bulan sabit. Dia sudah sering mmelihat itu, diam-diam, begitu sunyi, dan mencernanya dengan baik. Reytasya dapat melihat rindu yang teramat dari manik violet Ametis! Tetapi adiknya masih saja berkilah.

****

Pagi ini berjalan seperti pagi-pagi biasanya. Burung-burung berkicau, embun mulai tersibak.

Reytasya dan Eline sedang berjalan di koridor. Tak ada percakapan di antara ke-duanya, sampai dekapan hangat seseorang dari belakang menyadarkan Reytasya.

Eline melirik sekilas ke-arah dua sejoli itu, berdecak malas, terus melangkah meninggalkan Reytasya dengan kekasihnya.

"Honey." Pria dengan kaca mata kotak, merajuk karena semalam sang kekasih membatalkan pertemuan.

Reytasya tersenyum dengan tangan yang mengelus lengan pria asal Timur. Pria yang baru dua hari menyandang status berpacaran dengannya. "Jangan di sini, nanti ada yang melihat." Reytasya berbisik sensual.

Pria itu meletakan dagunya di pundak Reytasya. "Aku merindukanmu."

Reytasya tersenyum miring merasa konyol, sekaligus terhibur. Dia melangkah ke-arah toilet terdekat. Manusia memang sungguh merepotkan.

****

Eline melangkah masuk ke-dalam kelas. Dia meletakan bokong dengan nyaman, mulai melamun. Keadaan kelas yang lengang membuat Eline merasa sedikit tenang tetapi ketenangan itu tak bertahan lama. "Ternyata kau masih baik-baik saja." Eline mencibir. Dia menatap sinis pria yang berjalan mendekat, tersenyum sangat lebar seolah sedang di depan kamera.

Alex memiringkan kepala, menatap Eline yang berwajah masam. Kakinya berhenti tepat di depan meja gadis itu. "Sepertinya kau benar-benar membenciku?" Alex bertanya dengan suara yang begitu rendah.

"Ya. Aku sangat membencimu Mr. Martazone!"

***

sudah direfisi! koment jika masih ada typo atau kesalahan yang menyempil!

Bastard Imortal (tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang