"Apa bertemu dengannya harus dengan jalan seperti ini?" Eline Herzone.
"Aku masih ingin bersamamu." Alex merajuk. Dia melemparkan tatapan memelas.
Eline memutar bola mata jengah. Kakinya melangkah santay menyelusuri lorong.
Alex mendengus merasa jengkel karena diabaikan. Pria itu ikut melangkahkan kaki berjalan di belakang Eline.
"Kapan kau tidak ingin bersamaku?" Eline bertanya sambil berjalan. Manik hitam itu menatap tajam kedepan.
"Entah. Alex menjawab acuh. Putra Marta sedang menebalkan kesabaran yang selalu tersedia untuk gadisnya. Hanya Eline orang yang mampu membuatnya memutuskan keputusan sepihak. Hanya Eline yang sanggup membuat jantungnya berhenti berdetak. Dan mungkin hanya Eline gadis yang akan dicintainya sepenuh hati, jiwa, dan raga. "Bisakah kita berbincang sebentar?"
Eline menggeleng cepat sebagai jawaban. Gadis itu tak menoleh sedikitpun. Bahkan mempertimbangkan pertanyaan Alex saja tidak.
Alex mempercepat langkah. Dia berdiri tepat di depan Eline, menghadang gadis itu. Alex merasakan jantungnya seperti diremas saat manik hitam itu menatapnya datttar. "Bisakah wajahmu berekspresi?" Alex mengepalkan tangan merasa geram. Dia terlalu rindu wajah cerah gadisnya, tawa riang gadisnya, manik violet gadisnya, dan semua yang ada pada gadisnya dulu.
Eline bungkam dengan tangan yang terlipat di depan tubuh.
Alex tersenyum tulus. Matanya berkaca-kaca menatap sikap Eline yang dingin dan tak tersentuh. Semakin lama gadis itu semakin jauh dengan sifat kecilnya. Eline begitu angkuh dan kuat. Ya, Alex tahu seberapa besar kekuatan Eline. Dia tak mempermasalahkannya. Namun ada satu hal yang menjadi penyesalannya. Kedatangan mereka di dunia manusia dan keputusan Eline untuk pergi. Seharusnya dulu dia lebih peka, seharusnya dulu dia memilih berada di samping gadis itu, dan seharusnya dia mempercayai perkataan paktua di hutan hitam. Ya, semua salahnya, dan bisakah Selena mengembalikan gadisnya yang dulu?
Eline melanjutkan langkahnya melewati Alex yang tertegun. Melihat orang menangis bukan kesenangannya dan bukan juga kesedihannya. Dia tak akan bersedih untuk orang lain sekalipun itu adalah keluarganya, apa lagi jika melihat orang lain menangis karenanya! Dia membenci itu.
****
Eline sedang asyik menonton film kesukaannya di ruang santay. Tangan kanan gadis itu menggenggam secangkir kopi susu hangat.
Hujan mulai turun di luar, begitu deras dengan kilatam petir yang menyambar-nyambar membuat gadis cantik yang sedang bersantay di atas sofa semakin malas beranjak.
DUAAR!!!
Layar benda kpersegi di hadapan gadis itu meredup seiring dengan suara guntur yang memekakan telinga.
Eline menghela nafas. Film kesukaannya hampir saja selesai tetapi sepertinya sang dewa tak mengizinkannya. Memang tak ada yang istimewa dari film itu! Seorang pria yang rela menjadi budak cinta gadis penderita gangguan jiwa. Eline tak begitu menikmati. Baginya film hanya sekedar teman ketika dia bersantay atau bermalas-malasan.
DUAAAAR!!!
Penerangan di ruangan besar itu meredup, membuat keadaan menjadi gelap gulita.
Suara guntur terdengar bersahut-sahutan dengan kilatan yang menyilaukan, menembus jendela hingga ketirai, menampilkan siluet seseorang dengan manik violet.
Entah dari mana asalnya Eline merasakan semilir angin menepuk-nepuk kecil pipinya, menciptakan kegelisahan yang seolah mengiris kewarasan. "Sialan!" Eline mengumpat merasakan kekuatan besar tak jauh dari kediamannya. Kekuatan dari mana itu? Apa ada makhluk imortal yang berani menembus pertahanannya?
"Maaf nona."
Seorang wanita berpakaian pelayan mendekati Eline dengan matanya yang merah menyala. Pelayan itu tertunduk sopan pada tuannya.
Eline hanya melirik pelayan itu sekilas. Dia menatap lurus kedepan, memindai keadaan alam di sekeliling rumahnya. Dia harus menambah prisai, memastikan tak akan ada makhluk manapun yang berhasil masuk.
"Listrik di rumah ini sengaja dimatikan. Salah satu kabel terbakar karena sambaran petir. Tetapi nona tenang saja, semua sudah ditangani dan akan menyala dalam beberapa jam kedepan." Pelayan itu menjelaskan dengan kepala yang masih tertunduk sopan.
Eline bungkam dengan mata yang tak kedip menatap lurus kedepan. Tubuhnya masih rilex tetapi pikirannya melayang jauh.
Pelayan yang sudah biasa dengan sikap nonanya kembali bersuara. "Apa nona ingin saya menyalakan lilin?"
Eline bangkit berdiri. "Tidak usah." Dia melangkah mendekati tirai.
"Baik." Pelayan itu menghilang meninggalkan tuannya sendirian.
Tangan Eline tergerak menyibak tirai di depannya. Dia bisa melihat kilatan guntur yang melatup-latup dasyat, bercabang, membentuk cambuk bercahaya. Eline menoleh menatap tepat kearah jam dinding. Sudah tengah malam kakaknya belum juga pulang.
'Kak!'
'Reytasya bodoh!'
Eline menarik nafas dan membuangnya perlahan. Dia menutup tirai kembali.
'Kakak!'
'Ada apa Elie?'
Eline mengerutkan alis bingung. Suara Reytasya yang bergetar menambah kekhawatirannya.
'Kau di mana?'
Eline berdecak. Kakak sialannya itu tak langsung membalasnya. Dia meremas ujung piama yang dikenakan, berharap kegelisahannya dapat berkurang.
'Kakak sialan!'
"Sebenarnya apa yang sedang dilakukan Reytasya? Dan mengapa alam seperti mengamuk?" Eline bermonolok. Dia melangkah mengitari guci besar di depannya. Lelah dengan jawaban yang tak kunjung datang, gadis itu menghentikan langkah menyentuh gelang di pergelangan tangan, mengelus permukaan batu yang terasa dingin di kulit.
Hutan? Eline menemukan titik terakhir keberadaan Reytasya. Sedang apa gadis itu disana? Tak mungkin, kan? Jika kakak sialannya itu bermesraan di hutan perbatasan? Dia mendengus menemukan jawaban yang lebih masuk akal. Dengan sekejap gadis itu menghilang dan muncul di suatu tempat.
Manik hitam Eline menyapu sekeliling. Sepanjang mata memandang hanya ada pohon-pohon besar yang menjulang kokoh dengan akar menjalar mengikat kedasar. Eline mengusap kasar wajahnya yang terkena tetesan air hujan. Gadis itu mendengak memperhatikan lebar darri dahan pohon di atas sana. Cahaya kuning rembulan mengintip dari celah, menyiram tanah di bawah kakinya.
Eline tak salah tempat, tetapi mengapa dia tak menemukan tanda-tanda keberadaan sang kakak? Rapatnya pepohonan membuat gadis itu sulit bergerak.
Rambut dan piama yang dikenakan Eline basah terguyur hujan. Guntur juga tak kunjung berhenti membuat keadaan semakin mencengkam.
Eline mengambang di udara terbang beberapa meter dari atas pohon. Gadis itu mencoba memindai keseluruhan hutan, mencari petunjuk sekecil apapun. Cahaya yang timbul-tenggelan dari balik gunung berhasil mencuri atensinya. Tanpa pikir panjang dia melesat mendekati cahaya itu.
****
Sudah direfesi! Koment jika typo atau kesalahan masih menyempil!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bastard Imortal (tamat)
FantasyWARNING! Cerita ini memiliki banyak virus, kata-kata fulgar, khayalan klasik, dan penggambaran ... Eline Herzone, gadis canntik tanpa cela itu adalah seorang putri dari keluarga bangsawan terhormat bangsa vampir. Parasnya yang disebut-sebut duplikat...