Setelah melewati perjalanan yang panjang dan melelahkan Eline kembali ketempat yang selalu menjadi mimpi buruknya. Dia tak begitu jenius untuk memahami maksud Selena, tetapi pertemuannya dengan Azriel beberapa waktu lalu berhasil memunculkan ketakutan yang sebelumnya tak pernah dia khawatirkan. Kenangan manis dan pahit terus berputar-putar dalam kepala Eline membuat gadis itu berteriak tanpa sadar.
Kamar Reytasya yang berada tepat di samping kamar sang adik bungsu bergetar karena gelombang kuat. Putri tertua Geosentris yang baru saja selesai membersihkan diri langsung keluar dari kamarnya, terpaku beberapa detik menatap Zela yang berdiri kaku di depan pintu kamar Eline.
Tetapi anak dan ibu itu tak sempat berbusa-basi karena jeritan Eline yang terdengar memilukan. Mereka kompak mendorong pintu kayu dengan ukiran rumit ditiap jengkalnya. Pintu yang tak dikunci itu terbuka lebar menunjukan sesosok gadis yang sedang menjambak rambutnya sendiri.
"Elie!" Reytasya berseru tertahan. Dia melesat memegangi kedua tangan adiknya, menghentikan Eline yang berusaha menyakiti diri sendiri.
Zela terpaku di tempatnya. Alaric dan Alon yang sedang berdiri di ambang pintu kompak menghentikan langkah.
"Mengapa mereka melakukan itu?" Eline meracau. "Mengapa keluargaku membenci kehadiranku secara tiba-tiba?" Dia menoleh menatap gadis yang menjulang di sisinya. "Mengapa hanya kau yang ada bersamaku?"
Reytasya masih mencengkram tangan adiknya yang memberontak. "Apa yang kau rasakan?"
"Kepalaku sakit." Eline menatap sayu sang kakak. Tenaganya melemah seiring dengan air mata yang mengalir deras. "Mengapa bayangan mengerikan itu selalu menghantuiku?"
Lovetta yang hadir terlambat tertegun mendengar suara Eline. Dia menggerutu menatap kesal bahu sang kakak pertama yang menghalangi. "Jangan berdiam diri di sini Kak."
Tetapi Alon masih bergeming sedangkan Alaric melangkah masuk berdiri tepat di samping sang ratu.
Bapak lima anak itu menggenggam tangan kiri sang istri yang terasa dingin dan basah. "Ada aku di sini." Dia berbisik tepat di telinga Zela.
Ruang yang ditinggalkan Alaric tak di sia-siakan Lovetta. Gadis bermanik hijau itu mengernyit melihat pemandangan kacau di ranjang. Tempat tidur itu begitu acak-acakan dengan noda merah di beberapa titik. Tetapi ada hal lain yang menjadi perhatiannya, ya, keadaan sang putri bungsu.
Gadis yang baru beberapa waktu lalu menunjukan sisi monsternya kini sedang tergeletak tak berdaya, tampak menyedihkan. Senyum miring Lovetta mengembang. Dia merasa bahagia entah untuk apa, mungkin untuk sang adik yang sedang tersiksa, atau ... Lovetta bersedekap dada. Tak ada alasan yang tepat untuk perasaannya sekarang.
Reytasya mengendorkan pegangannya pada tangan Eline. Dia menatap sayang gadis yang selalu saja bersikap kuat. Ya, sebelumnya dia memang tak pernah menyaksikan langsung detik-detik Eline tersiksa karena teroma nya. Putri bungsu Geosentris terlalu pintar menyembunyikan sesuatu tetapi Reytasya juga tak bodoh. Mereka terlalu sering bersama sampai-sampai dia hafal kegiatan-kegiatan kecil yang biasa dilakukan.
Zela melangkah mendekati ranjang sang putri dengan Alaric di sisinya. Dia menitikan air mata memperhatikan wajah pucat Eline dengan mata gadis itu yang terpejam. Tetapi gurat kelelahan dan kesedihan masih tercetak jelas menambah perih di hati Zela. "Elie." Dia memanggil lirih.
Tanpa disangka sang putri bungsu membuka mata langsung menatap Zela yang berdiri kaku di kaki ranjang. Manik violet yang menyorot sendu itu berubah mengilat, menatap marah sang ibu. "Mengapa kau di sini?"
Tangan Reytasya beralih mengelus kening Eline mencoba menenangkan nya. "Sabarlah." Dia berbisik lembut tepat di telinga sang adik. "Dendam hanya akan membuatmu tersiksa."
Zela tersenyum. Dia melepaskan genggaman lemah Alaric. "Apa yang kau inginkan." Dia bertanya setenang mungkin, mengabaikan tatapan tak bersahabat putrinya. "Apa kau menginginkan gulali buatanku?" Zela tertawa kecil dengan air matanya yang mengalir.
Dulu, sewaktu Eline kecil dia sering membuatkan makanan manis itu untuk sang putri bungsu. Bahkan demi manik violet yang berpendar dia sampai harus bertengkar dengan Alaric. Zela mengusap air mata di pipi. "Apa kamar ini menyiksamu?" Dia bertanya, mengabaikan kenangan manis yang berseliweran.
"Pergi!" Eline berkata ketus. Dia tak menjawab pertanyaan sang ibu. "Aku tak membutuhkan kalian."
Tetapi Zela dan semua orang yang ada di sana hanya terdiam. Meninggalkan Eline sendirian dalam keadaan seperti ini hanya akan membuat hati mereka tak tenang.
'Pergi atau aku akan membunuh kalian semua!" Eline kembali bersuara. Tatapannya begitu menusuk, suaranya begitu tajam, dan aura yang dikeluarkan begitu kelam.
'Ayah.'
Alon mengirim pesan. Pria itu merasakan bulu di sekujur tubuhnya berdiri mendengar suara sang adik.
'Aku tidak bisa meninggalkan adikmu.'
Alaric membalas. Dia tahu maksud anak tertuanya tetapi sebagai seorang ayah dia masih cukup memiliki hati untuk tak meninggalkan putri bungsunya yang sedang sakit.
'Elie butuh istirahat. Biarkan dia menenangkan diri dan aku akan membawakan tabib terbaik untuk nya.'
Alon masih membujuk sang ayah, memberikan pemikiran yang masuk akal. Dia tak tahu bagaimana jika Ametis mengamuk, dia tak cukup kuat untuk menahan kekuatan sang adik, dan dia juga tak bisa menjamin keselamatan orang-orang di kerajaannya.
****
Sudah direfisi! Koment jika typo atau kesalahan masih menyempil!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bastard Imortal (tamat)
FantasyWARNING! Cerita ini memiliki banyak virus, kata-kata fulgar, khayalan klasik, dan penggambaran ... Eline Herzone, gadis canntik tanpa cela itu adalah seorang putri dari keluarga bangsawan terhormat bangsa vampir. Parasnya yang disebut-sebut duplikat...