'Jika takdir hidupku tidak semulus mimpiku. Aku harap Dewa memberikan kebahagiaan tak terkira untuk dia.'
****
Ledakan yang datang dari bawah terdengar susul-menyusul, menggetarkan larfa yang terlihat damai.
Saat ledakan terakhir terdengar, muncul telapak tangan yang tergeletak di permukaan. Warnanya merah, menyatu dengan larfa yang bersuhu tinggi.
Lama kelamaan terlihat tubuh manusia yang tidak utuh. Dari telapak tangan, bertambah menjadi sepotong tangan.
Awalnya hanya satu dan ketika potongan tangan itu sempurna terbentuk, potongan yang lain muncul.
Sepasang tangan, sepasang kaki, kepala, sampai akhirnya terbentuk satu tubuh utuh.
Keanehan-keanehan mulai bermunculan. Entah ini pertanda baik atau buruk, cairan merah yang serupa larfa surut.
Tubuh seorang wanita berambut panjang teronggok bisu. Posisinya yang menghadap tanah coklat di bawah membuat wajahnya tidak terlihat.
Tetapi dari gaun tidur yang dikenakan, itu adalah pakaian terakhir Eline. Sang ratu yang menghilang beberapa minggu lalu.
Tetapi kenapa hanya Eline? Dimanakah pria waktu itu? Apakah Ametis berhasil melenyapkannya?
Ah! iya. dimanakah nenek tua yang kemarin?
Bunyi tetesan air terdengar memunculkan sesosok wanita. Tubuhnya bungkuk, rambutnya perak terjuntai hingga menyentuh tanah. Dari raut wajahnya dia terlihat kelelahan dengan peluh yang membasahi kening.
Meskipun begitu dia masih mampu berdiri. Bertumpu pada tongkat berkepala tengkorak yang mengeluarkan sinar lembut.
Manik hitam itu langsung tertuju pada tubuh yang tergeletak di tanah. Dia menggumamkan sebuah mantra yang sulit dipahami.
Sedetik setelah mantra itu diucapkan, tubuh Eline dan nenek tua menghilang.
Hamparan tanah kembali lengang. Langit malam mulai menampilkan setitik cahaya. Memang tidak terlalu terang, tetapi berhasil memberi harapan untuk kehidupan setelah mati.
***
Sinar lembut rembulan menyiram tubuh yang terbujur kaku.
Wajah jelita itu terlelap damai. Semilir angin tidak mampu mengusik tidur panjangnya.
Di samping gadis itu terlihat nenek tua yang sedang mengatupkan kedua tangan. Dia sedang bermeditasi dengan mata yang tertutup, berkonsentrasi, mengalirkan tenaga ke-dalam tubuh tidak berjiwa milik sang ratu.
Kicauan burung di kejauhan menjadi latar, bersambut dengan debur air yang deras terjatuh dari ketinggian.
Bunyi retakan dari kayu yang terbakar mengisi lengang.
Terkadang tidak semua mata dapat melihat-nya. Berbentuk tetapi semu.
Serupa bayangan lidah api yang menjilat. Serupa bayangan pohon yang menjelma.
Seringnya, apa yang terlihat adalah bentuk ganda dari kesatuan.
Mungkin raga hanya teronggok bisu. Tetapi jiwa tidak semudah itu dipisahkan. Ya, selalu ada kehidupan setelah mati. Dan itu yang sedang dialami Eline.
Mata nenek tua terbuka perlahan. Seulas senyum hadir di tengah-tengah keputus asaan.
"Aku tahu kau akan hadir." Perkataan itu terdengar ambigu. Sedikit menyeramkan untuk sebagian orang.
"Ya, aku tahu, dan aku akan membantumu."
Setelah mengatakan itu mata nenek tua kembali terpejam. Cahaya putih dari kedua telapak tangan yang bersatu mengarah pada tubuh Eline.
Seketika waktu terasa melambat. Pohon-pohon yang menjulang di sekitar seolah berhenti bernafas.
1
2
3
4
5
6
Tidak ada pergerakan kecuali nenek tua yang mengeluarkan darah dari hidungnya.
Lagi-lagi, di saat titik terakhir, di saat keajaiban seperti enggan datang. Tubuh Eline bereaksi.
Manik violet Ametis hadir memancarkan cahaya redup. Garis-garis yang memenuhi sekujur tubuh lenyap.
"Apa dia baik-baik saja?" Perkataan yang pertama kali keluar dari bibir pucat sang ratu mengundang kekehan nenek tua.
"Apa kau tidak ingin berterima kasih lebih dulu?" Gurauan itu disambut decakan malas Eline.
"Aku kira kematian naga hitam dapat merubahmu." Eline mendengus, menatap datar jutaan bintang yang bersinar.
"Apa kau sudah bisa duduk?" Nenek tua itu tidak menanggapi perkataan Eline. Dia bangkit duduk, berjalan menuju mulut gua di belakang. "Duduklah! Ada ramuan yang harus kau minum!"
Eline yang mendengar seruan itu langsung bangkit duduk. Manik violetnya mengedar, memperhatikan hutan belantara di sekelilingnya.
Pepohonan yang tumbuh subur, menjulang, menaungi goa yang terlihat seram. Semak-semak di sebrang bergoyang tertiup angin, menciptakan gemerisik bunyi yang membuat bulu kuduk berdiri.
Kicauan burung, gemerisik dahan yang beradu, desir angin, debur air. Eline teringat sesuatu.
Teringat masa kecilnya dengan penerus Marta. Dia seperti dejafu dan rasanya sangat menyesakan.
Bagaimana kabar pria itu? Pria bucin yang selalu bertingkah konyol. Menganggap dirinya adalah sang perisai.
Eline menunduk, menatap kosong rumput yang menjadi alas. Tangannya tergerak mengelus perut yang masih rata. "Kapankah kau akan hadir?"
"Rupanya kau sudah baik-baik saja."
Celetukan dari arah belakang mengagetkan Eline. Dia menegakan tubuh, menjulurkan tangan meminta batok kelapa yang dibawa nenek tua.
"Ternyata kau seantusias itu untuk sembuh." Cibiran yang dilontarkan dengan santai membuat Eline mencebikan bibir.
"Kau sudah berkorban banyak. Aku tidak bisa menyia-nyiakan jasa dan pengorbanan besarmu."
Senyum tulus nenek tua menjawab. Dia bersimpuh di hadapan Eline sembari menyodorkan batok yang dipegangnya. "Aku harap setelah ini kau lebih bisa menahan emosimu."
Eline mengangguk. Dengan manik yang berbinar dia menenggak hingga tandas cairan merah itu. Di dalam hati terucap janji dan harapan untuk masa depan.
Tentang cinta-nya, buah hati-nya, keluarga-nya, dan tentang orang-orang yang sudah berjuang sejauh ini.
***
Sudah direfisi! Koment jika typo atau kesalahan masih menyempil!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bastard Imortal (tamat)
FantasyWARNING! Cerita ini memiliki banyak virus, kata-kata fulgar, khayalan klasik, dan penggambaran ... Eline Herzone, gadis canntik tanpa cela itu adalah seorang putri dari keluarga bangsawan terhormat bangsa vampir. Parasnya yang disebut-sebut duplikat...