Bab 75

115 11 0
                                    

'Semua begitu rumit. Namun aku berjanji untuk tetap di sisimu.' Eline Herzone.

***

"Kalian bisa meneteskan beberapa darah secara bergantian." Pria dengan tanduk dijidat menyodorkan cawan pada Azriel. "Sebagai seorang pemimpin ada baiknya jika anda yang lebih dulu memulai."

Tanpa banyak bicara Azriel menggigit jari tengahnya sampai mengeluarkan darah. Dia meneteskan cairan merah kental itu pada cawan yang mulai bereaksi. "Sekarang giliran kau."

Eline melirik sekilas wajah Azriel yang datar. Dia kembali menatap cawan dengan ragu.

"Cepatlah!"

"A ... aku ...."

Azriel menggeram, menatap marah Eline dengan maniknya yang merah membara. "Kau hanya perlu melukai jarimu dan semua selesai."

Tetapi Eline hanya bungkam. Dia menunduk, mengabaikan cawan yang berasap. "Aku belum siap."

Geraman Azriel kembali terdengar. Pria itu menarik paksa tangan kanan Eline dan menggigit jari tengah-nya.

Eline yang tak menyangka tersentak. Dia mengangkat wajah, menyaksikan tiap tetesan darah yang jatuh.

Cawan itu mulai bereaksi. Azriel mengelus luka calon ratunya yang kembali menutup. "Maaf." Dia berkata tulus dengan mata yang tak lepas pada benda yang bergetar dasyat.

Pria bertanduk terlihat kewalahan menahan goncangan dari benda di tangannya. Bibir hitam itu bergerak kumat-kamit membacakan mantra yang tak dimengerti Eline.

Semua orang yang menyaksikan ritual berlangsung menahan nafas. Mereka merasakan tegang dan kekhawatiran yang membungbung setiap kali cawan keramat bergetar.

Sedangkan kedua orang yang berdampingan di atas batu kesucian menampilkan raut berbeda. Azriel dengan raut senang dan Eline dengan raut datar. Sesekali manik violet itu akan bergerak menyapu sekeliling.

Entah sudah berapa lama waktu berlalu semua orang masih menunggu. Mereka dengan maniknya setia menatap kesatu arah, cawan yang terus bergetar. Bahkan asap dan kabut seolah tak akan ada habisnya.

"Apa ada masalah?" Azriel menatap cemas pria bertanduk yang masih sibuk berkumat-kamit dengan mata-nya yang terpejam.

Tak ada jawaban. Azriel menoleh, mendaratkan kecupan ringan di pipi Eline membuat gadis itu berdecak. "Apa kau siap hidup berdua denganku?"

Eline menoleh. Dia tersipu dan merasa malu. "Bisakah kita fokus pada satu hal?"

"Tidak." Azriel tersenyum saat bibir Eline mencebik. "Aku ingin memberitahu semua orang. Bahwa, aku menjadikanmu ratu dan menikahimu bukan hanya karena kau pemilik Ametis ... "

"Lalu?" Eline menyergah. Gadis itu melupakan rasa malu dan kehadiran orang lain. Sejenak dia mengabaikan asal-muasal Azriel, mengabaikan ada benda yang terus bereaksi, mengabaikan jutaan misteri yang belum terungkap, dan mengabaikan kejanggalan yang harusnya menjadi sebuah pertimbangan untuk tak terbuai.

"Karena aku, Azriel, tidak mengatas namakan Delima merasa tidak bisa hidup tanpamu, Eline."

Semua orang yang mendengar perkataan sang raja kompak menoleh. Mereka memusatkan perhatian pada dua orang di atas sana yang saling berpandangan.

Diam-diam gadis berambut merah yang terlihat berbeda menghilang bersama dua temannya. Beberapa orang yang sadar mengabaikan perilaku tak sopan putri Colx.

"Untuk saat ini aku menerima segala bentuk pengakuanmu." Eline menjawab lirih.

Tetapi alam semesta seolah tak merestui. Cawan yang terus bergetar meledak, suaranya memekakan telinga bersahutan dengan guntur yang meletus.

Penerangan majik di ruanganb itu lenyap. Tetes hujan turun dengan tak sabaran menambah kesan ngeri.

Seketika keadaan berubah terbalik. Semua orang kompak bersuara, berdiskusi, menyimpulkan kondisi yang sedang terjadi.

Eline yang berada dalam dekapan Azriel terpaku. Dia tak bisa mencerna dengan baik apa yang terjadi. Semua terlalu tiba-tiba dan menganehkan.

Kaki-kaki tangan Azriel kompak menyebar tanpa harus diperintah. Mereka sudah biasa dilatih untuk kondisi terburuk di medan perang maupun di rumah sendiri.

Ada yang menenangkan rakyat di dalam ruangan, ada yang menyisir kastil, ada yang mengamankan keadaan di luar. Orang-orang yang disebut jaguar itu memakai jubah hitam dengan tudung serupa.

"Hay!" Salah seorang rakyat berseru tak terima saat dilarrrang keluar ruangan.

"Harap tenang dan semua akan baik-baik saja."

"Bagaimana bisa kau bilang baik-baik saja?" Seorang gadis menimpali. "Kami harus memastikan pak tua itu tidak keluar rumah saat kondisi seperti ini."

"Rekanku akan mewakilkanmu memastikan-nya ... "

"Tidak bisa. Kami harus memastikannya sendiri."

"Sudahlah anak muda yang dikatakan para jaguar benar. Di luar keadaan sedang tidak baik dan tidak ada yang bisa menjamin keselamatan kalian." Pria tua dengan bola mata kecil menatap bergantian dua gadis di hadapannya.

Tetapi kedua gadis yang sepertinya bersaudara kekeh ingin keluar. Mereka menantang jaguar yang bertugas di barisan terdepan.

Keadaan semakin ricuh saat hujan dan guntur di luar terdengar mengamuk. Rakyat meminta dipulangkan karena masih memiliki keluarga di rumah.

Dengan kesabaran penuh para jaguar terus melemparkan perkataan yang menenangkan. Meskipun mereka dicaci, mereka tak boleh membalas.

"Apa kau baik-baik saja?" Azriel mencoba mencairkan suasana. Dia dapat merasakan tubuh Eline yang menegang.

"Apa semua akan baik-baik saja?" Eline balik bertanya. Gadis itu membenamkan wajah di dada Azriel yang bidang.

"Jangan khawatirkan apapun. Anak buahku sudah mengurus semuanya."

"Bagaimana keadaan paman bertanduk itu?"

Azriel terdiam beberapa detik. "Siapa yang kau maksud?" Dia menahan tawa. Belum Eline menjawab pria itu kembali bersuara. "Apa paman bertanduk yang kau maksud Colx?"

Eline mengangguk kecil. Dia membalas pelukan sang raja. "Jangan tertawa di saat situasi genting seperti ini."

"Ah, ya maaf maaf." Azriel menghentikan tawanya. "Paman bertanduk itu ... "

Bastard Imortal (tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang