Bab 24

1K 72 19
                                    

"Keluargaku adalah kamu dan hanya kamu! Jadi, berhentilah meragukan kesetiaanku." Reytasya Herzone.

****

Eline membuka mata menatap rembulan yang masih setia menunggu. Dia membenci air mata yang tak pernah habis ketika mengingat keluarganya, tetapi untuk kali ini gadis itu tak menyalahkan diri sendiri. Luka itu terlalu sering didapatkan sampai-sampai rasanya baru saja terjadi. Dia tidak jahat, ya, orang-orang itu yang membuatnya seperti ini. Eline tersenyum getir. Hangatnya sinar rembulan tak dapat menenangkan gadis itu.

"Apakah Elie ingin bersandar?" Reytasya kembali menitikan air mata. Tubuh kuat di hadapannya memiliki jiwa yang begitu rapuh. Tak salah, bukan? Jika seorang kakak menginginkan yang terbaik untuk adiknya? Bila cara yang dia ambil salah bantulah dewi untuk membenarkannya.

Eline tak menjawab. Tetapi dia memilih menurunkan egonya untuk berbaring di atas pangkuan sang kakak.

Taring dan kuku itu masih tampak mengilat. Tak sama sekali mengecil, tak sama sekali tumpul, dan tak sama sekali menakuti Reytasya. Sebengis apapun monster itu, gadis di pangkuannya tetap Eline Herzone. Adik bungsunya yang kepalang cantik dan istimewa.

Eline memejamkan mata kembali menikmati elusan kecil di kepalanya. Elusan itu begitu nyaman sampai membuat perasaannya sedikit membaik. Eline selalu melihat sosok dewi di tubuh sang kakak. Reytasya selalu menjadi tempatnya bersandar, tempatnya untuk pulang, dan tempatnya untuk mengadu. Bahkan rasanya peraduan dewi tak akan mampu menyandingi dekapan Reytasya, gadis yang selalu berpenampilan minim, gadis yang begitu memperhatikan apa yang dikenakan, dan gadis yang mampu membuat pria bertekuk lutut dengan sekali kedipan. Bohong jika Eline tak mengasihi kakaknya yang satu ini. Rasanya bila dia mampu memberi sang kakak rembulan hal itu sudah pasti akan dilakukannya.

Reytasya menunduk menatap wajah cantik yang terlelap damai, begitu indah dan menyejukan pandangan. Senyum yang begitu tulus terpatri di wajahnya melihat sang adik. "Jika ada yang mengganjal di hati, kakak selalu bersedia mendengarkanmu." Dia beralih mengusap jejak air mata di pipi Eline.

Eline menghela nafas. Kenangan pahit itu selalu saja berputar baik diingatannya, menciptakan kebencian yang tak terkira. "Salahkah jika nanti aku membalaskan rasa sakit ini?" Eline masih terpejam tetapi dia dapat melihat tatapan kaget Reytasya. "Apakah aku salah membalaskan penderitaan yang kudapatkan?"

Reytasya tertegun. Pertanyaan Eline kali ini tak pernah sedikitpun terlintas dalam pikirannya. Membalaskan dendam dengan orang yang membuat adiknya menderita, sama saja seperti menghancurkan Herzone. Entah hanya akar atau keseluruhan, Eline akan menghancurkan keluarganya sendiri. Bagi Reytasya keinginan adiknya yang satu ini bukanlah permasalahan besar. Dia masih bisa hidup meskipun hanya berdua dengan Eline. Ya, dia tak membutuhkan orang lain selain adik bungsunya. Reytasya tidak takut dengan kepunahan Herzone, tetapi ada satu hal yang menjadi kecemasannya. Dia takut Eline akan menyesal. Bagaimanapun Herzone adalah jati diri mereka, darah yang mengalir di dalam tubuh orang-orang Herzone adalah darah mereka juga. Apa lagi ada wanita yang pernah mengasihi Eline dan menjaganya dengan nyawa.

"Mengapa kakak terdiam?" Eline membuka mata karena sang kakak tak kunjung menjawab. Dia menangkap wajah sendu Reytasya membuat manik violetnya mengilat-ngilat bak mata pedang. "Apa kau berpikir akan memihak orang itu?"

Reytasya mengerejap beberapa kali. Apakah dia bari saja melakukan kesalahan?

"Aku bertanya padamu sekali lagi ... " Eline menggantungkan perkataannya. Manik violet itu memindai gurat wajah sang kakak, menerka-nerka apa yang ada di dalam pikiran Reytasya. "Apakah kau berpikir akan memihak siapapun orang itu?"

Reytasya menggeleng cepat. Dia tahu apa kesalahannya sekarang. "Apapun yang terjadi, aku akan selalu berada di sisimu. Apapun yang kau lakukan, aku akan tetap menghargainya ... "

"Meskipun itu akan menyakiti hatimu?" Eline melemparkan pertanyaan dengan cepat. Manik violetnya masih setia menatap senyuman hangat Reytasya.

"Siapapun orang itu, selagi mampu membuatmu bahagia lakukanlah! Hidup berdua denganmu sudah cukup menjadi sumber kebahagiaanku." Reytasya menjawab tegas. Tak ada keraguan dalam setiap perkataannya.

Eline menyeringai. Manik violet itu berbinar indah membuat Reytasya tak sanggup berkedip barang sedetik.

Siapapun yang melihat senyum dan manik violet itu akan tersedot kedalam pesona sang Ametis. Reytasya bisa melihat sosok adik kecilnya di dalam manik itu. Dia merindukan gadis kecil itu, dia ingin memeluk adik kecilnya.

"Boleh kakak memelukmu?" Reytasya terharu. Dia tak ingin memejamkan mata, dia tak ingin adik kecilnya pergi kembali, dia tak ingin gadis kecil itu merasakan sakit sendirian.

Eline mengangguk. Dia bangkit duduk dan berhambur memeluk erat sang kakak.

Reytasya terisak dalam dekapan adik kecilnya. Dia rindu saat-saat seperti ini, dia sungguh merindukannya. Dewi, bisakah waktu dibekukan saat ini juga?

Eline menepuk-nepuk punggung Reytasya yang tak tertutup. Dia kira gadis yang hidupnya untuk menggoda tak bisa menangis. Rasanya Eline sudah lama sekali tak melihat Reytasya menangis. Seingatnya terakhir sang kakak menangis saat matenya tak menginginkan kehadiran gadis itu. Semenjak kejadian penolakan sepihak itu Reytasya berubah menjadi perayu ulum yang melabuhkan hatinya pada pria manapun.

Awalnya Eline juga tak percaya. Kakak yang selalu menjadi tempatnya bersandar adalah Reytasya, gadis dengan sejuta kenakalan. Mana bisa gadis bodoh itu berperan sebagai wanita yang sangat dewasa dan tangguh? Mana bisa gadis itu menempatkan diri sebagai rumah? Tetapi semua yang dikirakan, meleset dengan mulus. Semua yang dipercayai hingga kokoh, patah dengan sekejap. Gadis itu sangat hebat, mampu menjalankan perannya dengan baik, tak pernah sedikitpun menunjukan sisi lemahnya di depan Eline.

****

Sudah direfisi! Koment jika typo atau kesalahan masih menyempil!

Bastard Imortal (tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang