Bab 37,.

806 49 12
                                    

"Ilustrasi yang kukira hanya ada di buku dongeng ternyata ada di hadapan, tak sadar membuat kuterbuai." Eline Herzone.

****

"Dimana adikku?" Reytasya bertanya tampak khawatir. Manik magenta itu menyapu sekeliling mencari keberadaan seseorang.

Brian yang sudah membuka mulut mengatupkannya kembali. Manik pria itu juga ikut memindai tetapi memang tak ada keberadaan siapapun lagi selain mereka bertiga. Hewan hutan yang biasanya aktif di malam hari saja memilih diam di persembunyian.

"Aku tak tahu."

Jawaban singkat itu membuat hati Reytasya mencelos. Gadis itu menoleh melotot menatap Alex. "Bagaimana bisa kau tak tahu? Kau yang terakhir bersamanya!" FirasatReytasya memang tak pernah salah. Ya, dia merasakan Eline dalam bahaya! "Apa kau tak mengerti? Adikku adalah gadis yang dianugrahi kekuatan besar! Dan ... sekarang malam bulan purnama. Siapa yang akan menahannya jika dia tersulut amarah? Bagaimana jika rogue yang kau temukan telah bertemu Eline sebelumnya?" Reytasya terengah. Emosinya yang tak setabil membuat gadis itu terisak. Pedihnya penolakan Brian di masa lalu bercampur kekhawatiran terhadap sang adik.

Brian memeluk matenya. Pria itu paham dengan apa yang dirasakan Reytasya. Bagaimanapun mereka di masa lalu mereka tetaplah sepasang mate.

"Sepeninggal kalian Eline meminta untuk pergi tetapi belum aku tahu alasannya Ametis menunjukan kekuatan." Alex menghela nafas. "Aku terpental terkena imbas kekuatan besar itu."

Reytasya menghentikan tangisannya. Gadis itu mendorong tubuh Brian hingga pria itu jatuh terduduk. "Lalu, apa lagi?" Reytasya yakin keterangan Alex dapat membantunya menemukan keberadaan Eline.

"Sehabis itu aku mencoba berteleportasi tetapi tak bisa. Bahkan, tubuhku yang terbaring tak bisa digerakan." Alex menunduk tampak menyesal. Lagi-lagi pria itu gagal melindungi Eline, melindungi gadis yang dicintainya sendari kecil.

Reytasya menggeram marah. "Belum lama aku sempat menghubungi Eline tetapi tak ada sahutan." Ya dia sudah mencobanya saat Brian mencari daun. "Tetapi sampai sekarang Eline belum juga mengabariku." Reytasya terlihat gelisa. "Keberadaan gadis nakal itu tak bisa kulacak."

Brian bangkit berdiri. Tatapannya menusuk dalam Alex menyiratkan kekecewaan dan kemarahan. "Kau menjaga Eline saja tak bisa!"

Suara sinis yang bergema membuat kepala Alex terangkat. "Maksudmu?"

"Katanya kau kekasih Eline. Masa menjaganya saja tak bisa!" Brian mencibir.

Alex menyeringai. "Kau berkata seperti itu seolah kau mampu menjaganya."

"Aku memang tak mampu ... " Brian menjeda perkataannya. "Maka dari itu Dewi Bulan tak mentakdirkan Eline menjadi mateku." Pria ittu membalas tegas.

"Heh! Bocah. Beneri dulu burungmu! Kalau kencingmu sudah lurus kau boleh berkata seperti itu."

"Dasar pria-pria gila!" Reytasya menghardik. Dari pada mendengarkan Brian dan Alex yang beradu mulut lebih baik dia mencari keberadaan Eline.

Brian dan Alex yang ditinggal Reytasya ikut melesat menyusul gadis itu.

****

Manik violet Eline menatap takjub sekelilingnya. Lampu-lampu lampion tergantung di setiap titik penjual, orang-orang yang berlalu-lalang juga tampak menikmati setiap pertunjukan. Eline tak pernah puas berkeliling. Gulali dan kentang yang di pegang sudah hampir habis.

"Apa kau menyukainya?"

Eline mengangguk. Jubah dan tudung yang di pakai gadis itu tampak sama dengan para pengunjung. "Tempat apa ini?" dia menghentikan langkah memperhatikan pertunjukan sirkus tak jauh dari tempatnya.

"Wilayah ini dikenal dengan kegelapan yang bercahaya."

Eline menatap antusias hewan lucu yang sedang bergoyang di atas besi panas. Api yang menyelubungi besi itu tampak merah menyala tetapi hewan berbulu dengan dua kepala seperti tak merasakan apa-apa. Dia bergidik merasa ngeri melihatnya.

"Tak perlu khawatir. Itu adalah hewan yang hidupnya di kobaran api." Azriel yang mengerti dengan tatapan Eline menjelaskan.

"Tetapi bulu dan tubuh hewan itu ... "

Azriel menarik lengan Eline melanjutkan perjalanan. "Hewan itu adalah hewan ajaib. Bentuknya yang hampir mirip dengan kucing  di dunia manusia memang membuat siapapun yang melihat ingin memilikinya. Tetapi keberadaannya yang sedikit dan hampir punah membuat tak sembarang orang bisa memilikinya. Hanya anggota-anggota kerajaan saja yang mendapatkan izin, itupun harus dengan alasan yang jelas."

Eline mengerutkan alis. "Kerajaan?" Ah, gadis itu melupakan sesuatu. Seharusnya dia bertanya tentang kejanggalan ini semua.

"Ada beberapa hal yang ingin kukatakan." Azriel menuntun Eline menjauh dari keramaian. "Kau bisa bertanya hal apa saja. Jika aku bisa menjawabnya aku akan mengatakan apapun."

Eline bungkam. Di depannya terdapat telaga dengan air yang begitu putih, melebihi putihnya kapas, dan melebihi putihnya awan. Gadis itu kira Azriel akan mengajaknya mendekat ke telaga itu. "Apakah masih jauh?"

Azriel menggeleng dan membawa Eline menaiki jembatan, menyebrangi sungai yang bersebrangan dengan telaga.

Bunyi gemericik air terjun terdengar keras saat mereka turun dari jembatan. Eline tak sanggup berkata-kata. Suasana dan keadaan di tempatnya sekarang begitu terbalik dengan keadaan sebelum dia menaiki jembatan.

Siul burung mengalun bak nyanyian Dewa, begitu mentramkan dan menyucikan hati. Sejauh mata memandang hanya ada rumput yang bergoyang. Jalan setapak yang dipijaki begitu hangat dan empuk seolah ada karpet tak kasat mata.

"Indah bukan?"

Eline mengangguk menyetujui.

"Kau bisa kapan saja berkunjung ke tempat ini."

***

Sudah direfisi! Koment jika typo atau kesalahan masih menyempil!

Bastard Imortal (tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang