Bab 76

95 10 0
                                    

'Siapa yang membuat sekenario serumit ini? Bisakah semua dipersingkat? Biarkan aku hanya hidup dan bahagia pada satu orang.'

****

Belum Azriel berhasil menyelesaikan perkataannya suara ledakan kembali terdengar. Kali ini bukan datang dari cawan ataupun benda lainnya.

"Apa itu?" Eline mencoba melepaskan dekapan Azriel tetapi pria itu menahannya.

"Diamlah!!" Setelah mengatakan itu sang raja membawa Eline menghilang meninggalkan ruangan yang semakin ricuh.

Sebagian besar rakyat yang terjebak di aula Kastil Asarlot kompak menyatukan kekuatan. Meskipun mereka disebut makhluk terkutuk karena memiliki darah iblis yang mengalir deras di tubuh, mereka tetaplah makhluk yang membutuhkan orang lain untuk berkembang biak. Mereka memiliki cinta untuk orang-orang yang berperan penting dalam hidup.

Para jagoar semakin kewalahan mengatasi serangan yang datang bertubi dengan gelombang besar. Mereka kembali membuat kuba, melapisi kuba sebelumnya yang sudah retak.

****

Azriel melepaskan dekapannya. Dia menatap lekat wajah Eline yang kebingungan.

"Apa yang terjadi?"

"Bukan sesuatu yang berbahaya." Azriel berkata menenangkan tetapi Eline tak puas dengan jawaban seperti itu.

"Aku membutuhkan jawaban."

"Jawaban seperti apa yang kau butuhkan Ratuku?" Azriel menaikan satu alisnya menggoda. Tangan kanannya tergerak merapihkan rambut panjang Eline yang menutupi setengah wajah. Dia tersenyum saat manik violet itu bersinar lebih terang. "Kenapa?"

Bahu Eline terangkat. Gadis itu memalingkan wajah menatap tepat ke-jendela yang menampilkan keadaan mencekam. Azriel mengajaknya kembali ke-kamar. Entah apa alasannya Eline merasakan ada sesuatu yang tak wajar.

"Jangan memikirkan sesuatu hal yang belum pasti."

Tetapi Eline hanya bungkam. Dia memilih melangkah mendekati jendela. "Mengapa aku merasa kau sedang menutupi sesuatu?" Pertanyaan bernada datar itu keluar dengan mulus setelah lama hanya tertahan. "Apa sebenarnya yang terjadi?"

Hening!

Deru nafas seseorang terdengar dekat hingga menyapu telinga Eline. Gadis itu merasa geli saat lengan kekar pria mengelus perutnya dengan pola berulang. Bukannya menolak dia malah menikmati tiap sentuhan itu.

Berawal dari perut, lama-lama naik hingga ke-dada. Eline merasa kewarasannya menghilang. Dia menginginkan hal yang lebih dari pada ini. Ya, dia menginginkan Azriel menjamah seluruh tubuhnya dengan gerakan sensual.

Keadaan di luar terlihat semmakin mencekam. Langit berubah gelap tanpa bintang atau rembulan. Hujan jatuh dengan sangat cepat dan lebat. Seolah tak cukup, guntur datang dengan tiba-tiba dan menyambar-nyambar bak ribuan serat yang dialiri listrik.

Eline mengabaikan itu semua. Dia terlalu terbuai sentuhan sang raja sampai rela menanggalkan status kebangsawanannya. Di bawah Azriel dan alam yang seolah tak merestui dia melenguh, menjerit, merasakan bagaimana dunia memberikan nikmat tak terhingga.

Beberapa jam telah berlalu. Azriel yang baru keluar dari kamar mandi di sudut ruangan, menoleh menatap sang ratu yang meringkuk dengan selimut yang menutupi tubuh. "Apa itu menyakitkan?"

Eline menggeleng. Dia menutupi separuh wajah dengan selimut berbulu yang terlihat kontras dengan warna rambutnya.

"Apa yang kau rasakan?" Azriel kembali bertanya. Pria itu berjalan mendekati lomari pakaian, membiarkan tubuhnya bertelanjang dada menyisakan bagian bawah yang tertutup handuk.

Hening!

Eline tak menjawab. Gadis itu membalikan tubuh membelakangi Azriel yang sedang mencari pakaian.

"Apa kau mendengarku?"

Hening!!

Kembali tak ada jawaban.

"Apa kau menyukai gaya seperti tadi?"

Bugh!

Lemparan bantalk mengenai kepala belakang Azriel membuat pria itu mengaduh.

"Jangan banyak bertanya." Eline berkata ketus. Dia menatap langit mendung dari celah selimut.

Hujan dan guntur sudah tak terlihat keberadaannya. Langit kembali seperti biasa tetapi hawa mencekam masih dapat dirasakan.

Azriel terkekeh. Pria itu sudah memakai pakaian rapih, berjalan mendekati Eline di sisi ranjang. "Appa kau merasa kedinginan?" Dia bertanya rendah.

"Tidak."

"Apa kau ingin aku peluk?"

Eline berdecak. Dia menyibak selimut dan bangkit duduk menghadap sang raja.

Senyum jahil Azriel muncul. Manik merah itu menatap tak kedip tubuh bagian atas Eline yang tertutup gaun tipis. "Apa kau sedang menggodaku dengan memakai pakaian seperti itu?"

Eline melotot. "Kau terlalu banyak bicara."

"Hanya saat berdua denganmu."

"Eline memalingkan wajah, menatap bantal yang terjatuh. "Aku ingin berkeliling kastil." Dia membawa bantal itu terbang dengan gerakan mata dan meletakannya di atas pangkuan.

"Aku sedang tidak bisa menemanimu."

"Aku bisa melakukannya sendiri."

Azriel menggeleng. "Tidak sekarang."

Kenapa?" Eline bersikeras. "Aku hanya berkeliling kastil."

"Jangan memaksa Eline."

"Apa ada sesuatu yang kau tutupi dariku?" Eline memicing curiga. "Apa kau tidak memiliki alasan untuk sesuatu yang telah terjadi?" Dia bersuara kembali saat Azriel tak kunjung menjawab.

"Tidak ada. Semua terjadi secara alami dan persoalan biasa."

"Biasa seperti apa?"

Azriel menatap lembut Eline meminta pengertian. "Untuk keselamatanmu aku tidak bisa membiarkanmu meninggalkan ruangan ini."

Hening!

Eline tak bersuara kembali. Tetapi dari sorot manik violet itu Azriel tahu ratunya tak bersedia menunggu. "Aku janji akan kembali secepat mungkin dan membawamu mengelilingi Asarlot."

Setelah lama terdiam helaan nafas Eline terdengar. Dia menunduk, menyetujui keputusan Azriel mesti dengan hati berat. "Pergilah dan aku akan menunggumu.":

"Terima kasih." Kecupan ringan mendarat di puncak kepala Eline. "Tunggu aku kembali."

Eline mengangguk. Dia mendengak saat tak merasakan kehadiran Azriel. "Apa yang terjadi dewa?" Manik violet itu menatap sendu ruang yang ditinggalkan Azriel.

****

Bastard Imortal (tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang