"Aku tak tahu jika jadinya akan seperti ini. Keterbatasanku tak mampu mengatur semuanya sesuai keinginanku. Andai Selna mengizinkanku untuk bernegosiasi, ingin rasanya aku tak menjadi bagian dari mereka." Eline Herzone.
****
"Apa kau sedang tak bercanda?"
Azriel menggeleng. "Aku serius."
Eline mengerucutkan bibir menatap pria di sampingnya. Pikir gadis itu Azriel tak dapat melihatnya karena tudung yang menutupi setengah wajah. Tetapi dia salah.
"Kau sangat menggemaskan." Azriel mengelus kepala Eline menggunakan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya terlipat di belakang tubuh.
Eline membuang wajah menutupi kekagetannya. "Apa yang kau katakan?"
"Jangan memajukan bibir seperti itu." azriel memperingati setengah tertawa. "Kau akan menggoda para pria."
"Apa kau baru saja mengaku kau tergoda denganku?"
Azriel mengangguk. "Maka dari itu kau harus bertanggung jawab."
Eline tak menjawab karena sedang mengagumi air terjun di hadapannya. Tak sadar langkah gadis itu semakin cepat meninggalkan Azriel di belakang. "Apa ini sungguhan? Rasanya aku seperti sedang melihat ilustrasi yang sering dibuat manusia."
"Sayangnya, air terjun di hadapanmu bukanlah ilustrasi, begitu sempurna." Azriel menyahut dari belakang. "Tak seperti air terjun yang terlahir dari tangan manusia, masih banyak celah."
Air terjun itu begitu indah dengan awan dan burung yang menghias. Dari tempat mereka Eline seperti sedang berada di langit. Tak ada mentari atau lampu tempat itu tampak hangat. Tetapi bukan hangat yang membuat gerah, hangat yang menyejukan mata. Bahkan disau angin terasa seperti ruangan pendingin di kamarnya.
Eline melambaikan tangan menatap pantulan dirinya di permukaan air. Bahkan, gadis itu terasa seperti melihat cermin. Dia yakin jika ada noda di jubahnya noda itu pasti akan terlihat jelas.
"Apa kau tak pegal?" Azriel bertanya.
Sang Ametis mengangguk masih sibuk menatap pantulan diri.
"Bagaimana jika kita duduk di bawah pohon itu?" Tunjuk Azriel.
Gadis itu membalikan tubuh. Di sebrang terdapat pohon rimbun di tengah-tengah hamparan rerumputan. "Sejak kapan ada pohon di sana?" Dia terlihatbingung. Rasanya Eline tak melihat keberadaan pohon."Perhatikan tempat ini dengan hatimu." Azriel memberitahu lalu terkekeh.
Manik violet Eline kembali menatap air yang tampak seperti kaca, berjatuhan, sebelum melebur.
Azriel meninggalkan Eline yang terpaku. "Apa masih ingin di sana?"
Eline mengerjap dan menyusul Azriel yang sudah duduk nyaman. "Ah! Aku seperti sedang menginjakan kaki di karpet berbulu." Dia memuji karena rumput yang diinjak terasa halus tak seperti rumput pada umumnya.
Azriel menggeleng, mengulum senyum memperhatikan keantusiasan Eline. "Cepatlah kemari!" Dia berseru karena gadis itu malah sibuk meloncat menangkap hewan kecil dengan sayap indah. "Ke marilah! Aku akan memberikan banyak hewan seperti itu padamu!"
Eline yang mendengar itu setengah berlari menghampiri Azriel dan duduk tepat di samping pria itu. "Aku hanya ingin satu, bisa tolong berikannya padaku?" Dia bertanya setengah meminta.
Azriel tertawa. Pria itu membuka tudung menunjukan wajah tampan dan rambut emasnya. "Aku akan memberikan apapun yang kau mau."
Eline tak menjawab. Penampakan rambut Azriel membuatnya tersihir begitu dalam pada pesona .... Dia menjerit kaget. "Kau..." Tangannya bergetar menunjuk manik pria rambut emas.
Azriel mengulum senyum. Manik violet yang tadinya menyorot hangat berubah penuh ketakutan, kecemasan, dan ancaman. Dia tak menyukainya, ya, pria itu menginginkan Eline memuja dan mencintainya. "Apa kau takut padaku?" Setelah mengatakan itu, sayap besar berwarna hitam keluar dari punggung Azriel merobek jubahnya.
Eline menutup mulut syok. Gadis itu semakin takut dan bingung dengan apa yang harus dilakukannya. "Kenapa ... kau tak mengatakannya?"
Azriel menyentuh tangan Eline tetapi gadis itu menepisnya. Tatapan terluka Azriel begitu jelas terlihat. "Sebenarnya ini bukan saat yang tepat untuk memberi tahumu. Tetapi perhitunganku salah, kekuatan Ametis berkembang pesat setiap bulan purnama. Itu yang membuat para leluhur memaksaku menemuimu secepatnya."
"Jadi, apa yang dikatakan orang-orang benar? Yang dikatakan petuah fampir benar? Aku ... seorang monster, sekaligus kutukan bagi dunia?"
Azriel menatap Eline tajam penuh ketegasan. "Kau ... bukan ... kutukan ...."
Eline menggeleng tak setuju dengan pernyataan Azriel. Monster tetaplah monster dan orang-orang akan memusnahkannya demi ketenangan dunia, ya, setidaknya itu yang dapat dia simpulkan sekarang. Eline bangkit berdiri memperhatikan sekeliling. Tempat yang dikunjunginya sekarang sangatlah indah, tempat yang cocok untuk menenangkan diri sehabis matkul dosen perontos, tetapi dia berjanji tak akan menginjakan kaki kembali di tempat ini. Ya, Eline harus berjuang sendiri. Tanpa Reytasya, tanpa Alex, ataupun tanpa sang Delima! Eline adalah sang Ametis dan Eline bisa melakukan apapun yang dia inginkan sendiri!
"Jangan berbuat bodoh Eline!" Azriel membentak, mengerti dengan jalan pikiran gadis di hadapannya. "Kau harus mengikuti takdir! Mereka sudah mengaturnya."
Eline menoleh lalu menyeringai. "Masih banyak permasalahan yang harus kutuntaskan! Ada banyak ognum yang menginginkan kerajaanku jatuh."
Azriel bersidekap dada. Kedua sayapnya bergerak bebas menunjukan jati diri. "Bukannya kau membenci keluargamu?" Dia bertanya sinis. "Apa sekarang kau berniat membantu mereka?"
Eline menaikan satu alis. "Menurutmu, apa yang akan kulakukan pada orang-orang yang telah membuang dan menyakitiku?"
Azriel tertawa senang. "Jadi, apa rencanamu?"
Eline mengibaskan tangan. "Aku harus pulang terlebih dulu!"
***
Huaaaaaaa! Kira-kira apa yang akan dilakukan Eline? Ada yang bisa nebak isi otak Ametis gak sih?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bastard Imortal (tamat)
FantasyWARNING! Cerita ini memiliki banyak virus, kata-kata fulgar, khayalan klasik, dan penggambaran ... Eline Herzone, gadis canntik tanpa cela itu adalah seorang putri dari keluarga bangsawan terhormat bangsa vampir. Parasnya yang disebut-sebut duplikat...