Malam ini Eline dan Reytasya sedang bersantay di balkon kamar Sang Ametis. Mereka membiarkan kehadiran manik violet dan magenta yang bersinar terang.
Desahan Eline mengalun. Dia menunduk, menghitung hewan bercahaya di pekarangan samping. Cahaya kuning yang menguar dari tubuh hewan itu mengingatkan Eline pada pria rambut bulan yang akhir-akhir ini menghantui setiap tidurnya. Gadis itu mengangkat wajah menatap cahaya yang semakin membuat hatinya gelisah.
Reytasya memejamkan mata ikut merasakan kegelisahan sang adik. Dia paham betul dengan apa yang dirasakan Eline. Ketakutan, kecemasan, dan di tambah kehadiran bayang-bayang di masa lalu mengikis kesiapan mereka yang hanya sebesar biji jagung. Reytasya menghirup udara malam yang menyegarkan, merasakan tiap angin dingin itu memenuhi rongga dada.
Sudah beratus-ratus tahun mereka tak kembali. Rencana yang sudah dipersiapkan secara matang menimbulkan sensasi berbeda disetiap rasa. Tak bisa dipungkiri, tempat itu adalah asal mereka. Tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan dengan cinta. Apa yang telah terjadi memang tak akan semudah itu dilupakan, tetapi untuk masa depan yang baik Reytasya selalu berharap kebahagiaan untuk sang adik bunghsu.
Kedua tangan Eline terkepal di samping tubuh. Mata gadis itu mulai berkaca-kaca tetapi ditahan. Dia tak ingin menangis kembali untuk sesuatu yang sia-sia. Gadis itu semakin mengepalkan tangan dengan kuku-kuku tajamnya yang menancap dalam di buku-buku jari. Mereka semua harus membayar mahal! Siapapun yang terlibat harus menderita karena dia tak perduli dengan apapun meski itu keluarganya. Manik violet Eline berlipat-lipat memancarkan cahaya membuat siapapun yang melihatnya tak sanggup.
Reytasya sedikit membuka mata mengintip dari sela-sela celah. Dia tertegun tetapi tak lama sebelum sesuatu mengingatkannya. Manik magenta itu semakin bergerak keatas memperhatikan bulan purnama yang bersinat terang. Pertanda yang tak baik untuk siapapun jika Sang Ametis mengamuk.
"Elie." Reytasya memanggil lembut. Mata gadis itu kembali terpejam karena cahaya violet sang adik yang dapat mempengaruhi penglihatan. "Bisakah kau jangan melakukan hal itu?"
Eline menoleh yang membuat Reytasya buru-buru memalingkan wajah.
"Mataku sakit melihat cahaya itu. Bisakah kau jangan mengeluarkan kekuatanmu sekarang?"
Tak ada jawaban dan Reytasya tetap menunggu. Setelah lama menunggu dia memutuskan untuk menoleh tetapi dia tak dapat merasakan cahaya violet sang adik. Apa dia telah kehilangan indra penglihatannya? Ah, tidak mungkin. Dengan ragu-ragu Reytasya membuka matanya, tersenyum hangat saat wajah murung Eline menyambut.
Eline menghela nafas dan membuangnya secara perlahan. Dia memalingkan wajah dengan manik yang sudah kembali seperti semula. Violet yang memancarkan cahaya lembut namun mengagumkan.
"Tidak perlu khawatir Elie! Kakak akan terus di sisimu."
Eline mengabaikan perkataan Reytasya. Matanya menerawang kedepan memindai sesuatu tak jauh dari kediaman mereka.
Hening!
Reytasya dan Eline sama-sama bungkam fokus dengan pikiran masing-masing, sampai suara dentuman menyadarkan keduanya.
*****
"Bagaimana?"
Serigala putih itu menyeringai. Tubuhnya menciut dan berubah ketubuh manusia yang mengilat di bawah cahaya rembulan.
Manik coklat Alex menyipit. Dia memalingkan wajah menatap air terjun tak jauh dari sisinya. "Apakah kau ingin memamerkan milikmu?"
Brian terkekeh tak menjawab pertanyaan Alex yang tak penting. Dia terlalu tangguh untuk memamerkannya pada kesesama pria dan itu adalah hal yang tak pernah terlintas sedikitpun di dalam pikirannya. Brian berlari menuju hutan di sebrang..
"Elie." Alex bergumam dengan kepala terangkat. Bulan bulat itu adalah lambang puncak kekuatan para sang penguasa imortal dan gadisnya adalah salah satu penguasa.
"Bagaimana daun ini? Apa cocok dengan milikku?" Brian yang keluar dari semak-semak membuat lamunan Alex pecah.
Tubuh Brian yang tak tertutup sehelai benang ditutupi daun pisang di bagian pinggul hingga atas lutut. Alex menahan tawa. "Kau seperti makhluk perimitif."
Brian melotot tak terima. "Mana ada makhluk perimitif tampan sepertiku?"
Alex mengangkat pundak. "Apa kau tahu sesuatu?" Dia bertanya dengan pandangan menerawang.
Brian memilih meletakan bokongnya di bawah pohon. Darah hewan suci itu begitu lezat membuat energinya bertambah berkali-kali lipat.
"Hay! Bocah." Alex menoleh menatap garang Brian yang memejamkan mata. "Aku bertanya padamu serigala bodoh!"
Brian mengangkat pundak. Dia mengulum senyum merasakan peraliran darahnya seperti sedang bergoyang. "Kau harus menjadi patner berkelahiku."
Alex menggeretakan gigi-giginya menahan kesal. Mata merah pria itu mengilat marah. "Kau sudah kuizinkan memakan buruanku, sekarang waktunya balas budi!" Dia berkata tegas tak mau dibantah, apa lagi hanya dengan seorang worewolf rendahan seperti bocah ingusan anak Carl.
Brian membuka sebelah mata. Tubuhnya yang di senderkan di batang pohon bergerak mencari posisi nyaman. "Dasar." Brian menggerutu. Dia sudah menebak, vampir tua yang penuh muslihat seperti Alex tak akan bermurah hati tanpa balasan.
"Aku ingin menemui Eline dan kau harus menemaniku!"
Brian sontak membuka kedua mata lebih lebar. Dia menatap Alex semangat layaknya anak yang baru diajak pergi dengan sang ayah. "Kau ... seriusan?"
Alex mengangguk. "Kemari!"
Tanpa harus dipinta dua kali Brian meloncat mendekati Alex dengan tangan yang terulur memegang pundak fampir itu. "Bisa pelan-pelan? Aku belum terbiasa."
Alex mendengus. "Jangan bersikap seperti gadis!" Sebenarnya dia tak ingin mengajak Brian karena dia tak suka jika ada orang lain yang menatap Eline mendamba, tetapi membiarkan bocah bodoh itu tanpa kerja juga tak baik. Bayi Carl harus membantunya sebagai balas budi.
**
Sudah direfisi! Koment jika typo atau kesalahan masih menyempil!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bastard Imortal (tamat)
FantasyWARNING! Cerita ini memiliki banyak virus, kata-kata fulgar, khayalan klasik, dan penggambaran ... Eline Herzone, gadis canntik tanpa cela itu adalah seorang putri dari keluarga bangsawan terhormat bangsa vampir. Parasnya yang disebut-sebut duplikat...