Dengan sekejap bayangan yang mengelilingi Eline musnah menyisakan kabut yang langsung menghilang tersapu angin. Kilatan cahaya dengan warna berbeda bersatu membentuk siluet pria. Rambut kuningnya berkilauan diterpa cahaya rembulan.
Eline yang sudah berada dipenghujung hidupnya, tersenyum. Dia mengulurkan tangan meminta pria itu untuk mendekat.
Ya, itu Azriel. Pria rambut bulan dengan manik serupa darah.
"Kau harus ikut denganku." Azriel mendekati Eline yang tersungkur dengan belati yang menancap.
'"Aku tidak bisa." Eline menggeleng.
Azriel bersimpuh di hadapan Eline. Dengan sekali kedipan mata belati perak di punggung Eline lenyap. "Kau salah satu sang penguasa." Dia menyentuh dagu gadis yang ditakdirkan Selena untuk menjadi penyeimbang nya. "Kau belahan jiwaku. Seseorang yang tertakdir memegang kunci dunia.
Dengan gemetar Eline menyentuh wajah Azriel membuat wajah itu ternoda dengan darahnya. "Ya, aku bersalah. Aku baru menyadari sesuatu, menyadari jalan hidup yang ditakdirkan Selena."
"Ikut denganku dan kita akan membenarkan sesuatu yang salah itu." Azriel berkata lirih. Dia meminta untuk pertama kali dalam hidupnya pada seseorang.
Eline terbatuk. Darah hitam yang pekat melumuri tangan Azriel. "Boleh aku meminta sesuatu?"
Azriel mengecup kening gadisnya. Dia membiarkan jubahnya kotor dengan genangan darah Eline.
"Pastikan kakakku baik-baik saja." Eline meminta. Dia beralih menyentuh rambut Azriel yang hangat. Gadis itu melirik sekilas rembulan dan kembali menatap wajah di hadapannya yang menjulang. "Coba saja jika malam ini bulan bersinar penuh, pasti rambutmu akan serupa dengannya."
Azriel tersenyum. Maniknya mengilat marah tetapi dia menahannya untuk nanti. "Meskipun kakakmu menghalangiku, mencoba mengingkari takdir, dia tetap kakakmu. Seseorang yang selalu berada di sisimu, menjagamu meski dia tahu itu akan mengancam keselamatan nya ... " Azriel memberi jeda, menarik nafas merasakan dadanya diremas. "Aku berjanji untuk memastikannya baik-baik saja."
Eline mengangguk merasa lega. "Bagaimana kondisinya sekarang?" Lagi-lagi dia terbatuk, memuntahkan setenggak darah yang semakin terlihat menghitam.
"Jangan mengkhawatirkan keadaan orang lain jika keadaanmu saja sedang tidak baik."
Eline mengangguk kembali. Dia merasakan luka-lukanya menutup tetapi gadis itu tak merasa lebih baik. Rasa panas dan nyeri masih terasa seolah membunuhnya dengan cara yang amat menyakitkan.
"Aku dapat memastikan kondisi nya baik-baik saja." Akhirnya Azriel menjawab pertanyaan itu. Dia tak mau Eline memikirkan sesuatu yang akan memperburuk kondisi tubuh nya. "Tetapi jangan meminta sesuatu yang sudah pasti aku tidak akan sudi untuk mengabulkannya."
Eline tertawa kecil. Tangan gadis itu mencubit hidung Azriel gemas. "Apa kau tidak mau mengabulkan permintaan terakhirku?" Dia membenarkan posisi duduknya.
"Bukannya kau pernah berkata bahwa tidak akan sudi melindungi seseorang yang telah menyakitimu?" Azriel mengingat-ingat percakapannya dengan Eline beberapa waktu lalu.
Anggukan Eline membenarkan. "Tetapi mereka tetap keluargaku. Seseorang yang pernah aku kasihi, mungkin sampai sekarang."
Azriel bergeming. Dia menggerakan mulut, mengucap mantra yang Eline sendiri tak tahu.
"Apa yang kau lakukan?"
"Mengobati luka-lukamu." Azriel menjawab ringan.
Tetapi Eline malah terkekeh. "Apa kau tidak melihat bagaimana belati itu menembus tubuhku?"
Azriel mengetatkan rahang. Ingatan itu begitu melukai hatinya. "Aku mampu menyembuhkanmu."
"Biarkan aku pergi."
Azriel menggeleng tegas. Dia menatap lekat wajah yang penuh dengan garis-garis putih.
"Aku benar-benar sangat kelelahan." Eline memegangi dadanya yang terasa semakin sakit. Keringat mengucur deras dari kening seolah angin malam menghembuskan bola api ketubuhnya.
Dengan kedua tangan Azriel membawa tubuh Eline dalam dekapan. Dia mengangkat raga yang hampir terlepas dari jjiwa nya. "Bertahanlah!" Dia berbisik lembut. Tetapi tangan Eline yang mulai terkulai dengan mata yang setengah terpejam hanya bergeming.
"Elie!"
Azriel bangkit berdiri dengan Eline dalam dekapannya. Dia membalikan tubuh menatap sesosok gadis yang terseok-seok mendekat. Pakaian yang dikenakan gadis itu terlihat kotor dengan noda merah yang melumuri hampir semua bagian tubuh. Sinar kuning rembulan menyiram lembut gadis itu membuat kehadiran nya tampak bersinar.
"Aku ingin melihat nya." Suara lembut terlantun dari bibir yang bergetar seirama dengan manik magenta. Gadis dengan luka parah di tubuhnya menghentikan langkah tepat di hadapan Azriel. Tangannya terkatup di depan tubuh, memohon dengan sangat.
"Jangan melakukan kesalahan untuk kedua kali." Azriel mengalihkan pandangan. Dia menyodorkan tubuh Eline, mempersilahkan sang kakak untuk melihat adiknya. "Aku harap kau membiarkan nya untuk tetap hidup."
"Elie." Suara lembut gadis bermanik magenta menembus alam bawah sadar Eline. Perlahan-lahan manik violet itu bergerak.
"Kakak." Eline membalas panggilan itu. Suaranya terdengar lemah, maniknya sudah tak memancarkan cahaya. "Apa itu benar kau?"
Reytasya mengangguk cepat dengan senyum yang mengembang. "Aku mengizinkanmu pergi."
Kerutan halus muncul di kening Eline yang basah. "Pergi?" Untuk beberapa menit gadis itu terdiam, menatap Reytasya kebingungan. "Oh ya. Aku akan pergi jauh." Dia membalas senyum sang kakak teringat hidupnya yang sebentar lagi. "Jaga dirimu baik-baik."
Tangisan Reytasya pecah. Dia mengecup kepala adiknya sayang. "Jangan pernah kembali jika dunia ini hanya akan mengancam kehidupanmu." Setelah mengatakan itu dia menarik kembali wajahnya dan beralih menatap Azriel. "Buat dia melupakan rasa sakit nya."
Anggukan Azriel menjawab. Pria itu menghilang meninggalkan keheningan yang menyergap Reytasya.
****
Sudah direfisi! Koment jika typo atau kesalahan masih menyempil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bastard Imortal (tamat)
FantasyWARNING! Cerita ini memiliki banyak virus, kata-kata fulgar, khayalan klasik, dan penggambaran ... Eline Herzone, gadis canntik tanpa cela itu adalah seorang putri dari keluarga bangsawan terhormat bangsa vampir. Parasnya yang disebut-sebut duplikat...