Bab 28

962 62 17
                                    

"Terkadang ada sesuatu yang dapat kita ubah dan terkadang ada sesuatu yang tidak bisa kita ubah." Alex Martazone.

***

"Kau sedang memperhatikan apa?"

Eline terperanjak. Buru-buru dia menoleh, mendelik tak suka menatap sang kakak yang mengagetkannya.

Kepala Reytasya tertoleh kesana-kemari. Matanya awas menatap sekeliling yang ramai. Dia ingin mencari tahu hal apa yang mampu menarik perhatian adik nakalnya.

Tak ada hal istimewa yang mampu menarik perhatian Reytasya. Hanya orang yang sibuk berlalu lalang sambil membawa barang atau tidak sambil berbincang dengan teman di sebelahnya. Gadis itu menajamkan pandangan memindai tiap dinding yang masih dapat dijangkau. Tak ada mading yang dapat diperhatikan, tak ada ukiran istimewa yang dapat dikagumi, dan tak ada yang aneh di tempat ini. Bahkan orang-orang yang dilihatnya sangat biasa saja tak lebih cantik darinya. Reytasya mencebikan bibir.

"Apa yang ingin kau bicarakan padaku?" Eline terlihat geram. Dia tak suka dengan apa yang dilakukan Reytasya dan bisakah kakaknya tak selalu ingin tahu dengan apa yang dilakukannya?

"Reytasya menghentikan pencarian. Dia menoleh menatap lekat wajah Eline. "Bisakah kau berbusa-basi sedikit?" Dia terlihat tak suka dengan kebiasaan Eline yang satu ini. "Kau itu tidak ada manis-manisnya sama sekali."

Eline menatap malas sang kakak dengan pundak yang terangkat ringan. Dia kembali menatap lorong di depannya dan berjalan memasuki lorong itu.

Reytasya melotot. Bagaimana bisa Eline meninggalkannya? Ah, adik sialan itu! Reytasya melangkah mengikuti Eline. Matanya tertuju pada rambut panjang bak arang yang bergerak indah di depannya.

Seseorang yang dicari sudah tak ada. Eline memusatkan pandangan pada sisi kiri, tempat Azriel bersama seorang gadis. Jangankan pria berambut rembulan itu, gadis yang bersama saja sudah tak nampak. Eline memperlambat langkah. Hidung gadis itu mengendus tiap bau yang bercampur, memisahkan kategori manusia dan makhluk lainnya.

Eline mengerutkan alis. Di dekatnya, banyak sekali bau makhluk supra natural sepertinya. Mengapa ia bisa lengah? Eline menghentikan langkah.

Reytasya yang sedang menggerutu, memaki mendekati adiknya. "Kau itu apa-apaan sialan! Aku bilang, aku ingin berbicara padamu. Mengapa kau meninggalkanku? Sekarang mengapa kau terdiam?"Reytasya bersungut-sungut, tetapi adiknya malah memejamkan mata. Apa yang Eline lakukan?

Mereka menjadi pusat perhatian seolah mereka adalah seorang artis atau pejabat tinggi negara. Meskipun orang-orang bodoh itu tak menatap langsung Reytasya dapat merasakannya. Dia menoleh menatap segerombol mahasiswa yang tak jauh dari belakangnya tampak gelagapan. Reytasya melototi semua orang yang bersitatap dengannya. Dia tak suka saat seperti ini, orang lain memperhatikannya dengan berlebih dan Itu sungguh menyebalkan. Reytasya kembali menatap adiknya. Warna violet itu samar-samar terlihat. "Apa yang sedang kau lakukan Elie?" Reytasya bertanya ketus. "Apakah kau ingin memamerkan manik violet itu," Reytasya mencibir.

"Hentikan perkataan bodohmu itu!" Eline bersuara tak kalah Ketus. Dia membalikan tubuh melangkah menuju lorong pertigaan. Sekarang Eline tahu harus kemana dia pergi. Ada sesuatu permasalahan besar yang harus Reytasya tahu secepatnya karena kampus bukan tempat yang aman sekarang.

'Kau ingin ke-mana bodoh?'

'Rumah.'

'Kita masih memiliki jam matkul.'

'Sejak kapan aku peduli?'

'Dasar bodoh.'

'Memangnya kau lebih pintar dariku?'

'Aish. Adik sialan! Aku ingin berbincang hal penting padamu.'

'Di rumah.'

****

"Hay bocah ingusan."

Manik biru itu menyapu sekeliling dengan kepala yang tertoleh kekanan dan kiri. "Apa buku-buku di sini memiliki jiwa?" Brian bertanya takut-takut. Dia menggaruk tengkuknya.

Suara dengusan terdengar. Begitu dekat, begitu dingin, dan menakutkan. Brian menutup buku di hadapannya.

"Apa ilmuku sudah sehebat itu? Sampai makhluk bodoh sepertimu tak dapat melihatku?"

"Siapa kau? Jangan ganggu aku!" Brian menatap tajam rak yang berisi buku-buku di sudut kanan. "Ilmumu jelas lebih tinggi dariku rak. Bagaimana tidak lebih tinggi dariku? Kau memiliki ilmu fisik yang berlindung di dalam tubuhmu."

Suara dengusan kembali terdengar. "Dasar bocah!"

Brian menoleh menatap kedepan. Mata pria itu membulat tak percaya. "Sejak kapan kau di sini?"

Manik coklat Alex menatap pria di hadapannya malas. Dia melipat kedua tangan di atas meja membisu bingung harus mulai dari mana. Setelah lama terdiam dengan tatapan penuh tanda tanya Brian yang menghujani Alex mengeluarkan suaranya. Tatapan pria itu serius, menatap bocah serigala di hadapannya.

Brian kembali membuka buku yang dia tutup tadi. Tak ada gunanya mengurusi makhluk tua yang angkuh dari bangsa fampir di hadapannya.

Buku yang dibaca Brian hampir habis, tetapi fampir angkuh itu masih setia menatapnya. Dia merasa tak nyaman. "Ada perlu apa sampai repot-repot menemuiku di perpustakaan?" Akhirnya dia lebih dulu membuka percakapan dengan mata yang masih menatap buku di hadapan. Manik biru itu memindai setiap tulisan yang terlihat. Mencoba memahami dan mengingatnya.

"Entahlah." Alex menjawab acuh.

"Apa kau baru ditolak Eline?" Brian bertanya ringan mengabaikan tatapan pria di hadapannya yang berubah. "Tetapi bukannya kau sudah sering ditolak?"

Alex menghela nafas, terasa begitu menyesakan dada. Pria itu rasa dia sedang hancur. Dirinya dapat merasakan hal yang tak baik tetapi semua masih tampak abu-abu.

Brian mengangkat wajah. Dia mengerutkan alis dengan tangan yang tergerak membenarkan kaca mata yang turun. Biasanya jika sudah menyangkut Eline pria itu akan tampak seperti peredator yang tak suka mangsanya diganggu, tetapi apa sekarang? Pria itu sedang mengacak-ngacak rambut tampak menyedihkan dan memprihatinkan.

***

Sudah direfisi! Koment jika typo atau kesalahan masih menyempil!

Bastard Imortal (tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang