24: Runtuh

351 46 0
                                    

Althea terbangun lagi di antara sepi. Kutukan mamanya terus terdengar terulang-ulang di benaknya. Membuatnya menyengir sakit di dalam tidurnya.


Perempuan yang basah kuyup itupun terlonjak kaget langsung bangun dari tidurnya dengan nafas memburu. "Aw," pekiknya saat ingin menggeser kakinya.

Althea bergerak meski tubuhnya begitu lemas, seolah tubuhnya tidak memiliki tulang sama sekali. Ia mendudukkan tubuhnya di atas lantai yang basah. Matanya melihat ada beberapa pecahan piring yang menancap di kaki dan tangannya.

Lalu tangannya terulur untuk mencabuti pecahan piring itu. "Awh! Perih." Ia terus meringgis.

Lalu tubuh Althea kembali runtuh. Kepalanya bertumpu di atas ember. Matanya kembali terpejam.

Bibirnya bergetar. Tubuhnya kembali menggigil kedinginan. Padahal tubuhnya sangat panas.

"Di....ngin...."

Lalu matanya kembali melotot saat teringat ia menjadi sasaran embuk saat itu.

"Enggak! Jangan! Jangan!"

"Jangan!"

"JANGAN! Lakuin itu lagi! Sakit!"

"Pergi! Kamu jahat!"

"Jangan sakiti aku lagi----CUKUP!" Althea memelul kepalanya sendiri.

Brak!

Althea melempar gayung ke dinding bersamaan dengan bangunnya ia dari tidurnya.

Matanya melihat segala penjuru. Masih takut kalau Gabriel, lelaki yang menyakitinya itu datang lagi.

"Dimana dia?" Althea berteriak histeris. "AH!" Ia memukuli kepalanya sendiri.

Hingga tubuhnya kembali jatuh ambruk sekaligus ke lantai. Sampai kepalanya kembali terbentur ujung bak air.

Althea memegang ujung bak itu. Ia merasa sangat haus. Tapi ia tak kuat untuk berdiri.

"A....ir....." Tangannya terulur meraih gayung yang pecah. Lalu menyiuk air di dalam bak. Dan meneguknya sampai habis. Sampai tenggorokannya merasa lebih baik dari sebelumnya.

Merasa ada tenaga. Kemudian susah payah ia berdiri. Ia terus berjalan perlahan ke kamarnya. Meskipun ia berkali-kali kehilangan keseimbangan tubuhnya.

Berkali-kali nafas Althea juga tercekat. Dengan sisa tenaganya. Ia pun mengganti pakaiannya, namun di tengah-tengah ia malah jatuh dan pingsan lagi.

Saat Althea terbangun lagi. Ia sudah mendapatkan lumayan cukup energi untuk menopang tubuhnya.

Althea membuka sosial media. Untuk menghubungi Mathea ada dimana sekarang. Tapi ia malah melihat isi berita korban kekerasan seksual. Dimana membuatnya ketakutan sampai melempar HPnya.

Tubuhnya bergetar. Dengan nafas memburu. Jantungnya kembali berdebar-debar. Matanya berkaca-kaca.

Tangannga terangkat memegangi dadanya yang terasa sesak. Derai air mata beserta keringat terus bercucuran membahasi pipinya.

Semula menatap langit-langit dengan mata membulat. Seketika mata itu tertutup begitu cepat. Dengan cengiran sakit ia tunjukkan.

"Jangan lakukan itu lagi aku mohon...." Kini beralih meringkuk memeluk lututnya.

Althea kembali mengingatnya lagi. Membuatnya kembali mengamuk.

"Jangan lakukan itu lagi!"

"Jangan!"

"Aku mohon jangan!"

"Udah cukup!"

"Sakit!"

Ia terus berteriak ketakutan dengan suaranya yang terdengar bergetar.

Tangan Althea kini terangkat meremas kuat rambutnya. Di tariknya puluhan kali sampai banyaknya helai rambut itu tercabut.

Merasakan sakit yang menambah lagi membuat tangisnya kembali pecah. Dan terus menerus berteriak sekencang-kencangnya.

Tapi dalam keadaan matanya tertutup rapat. Namun, mulutnya terus meracau tidak jelas.

Hal itu sontak mengganggu ketenangan Imadea yang baru saja akan bersantai.

Dengan terburu-buru Imadea berjalan cepat ke kamar Althea membawa kemoceng. "KAMU KENAPA TERIAK-TERIAK KAYAK ORANG GILA HAH!" teriaknya sangat keras.

Tangis Althea tiba-tiba hilang.

"NAH GITU DIEM! SAYA MAU TIDUR JADI KEGANGGU!"

Tangisnya kembali pecah lagi kala merasakan perutnya melilit berkali-kali lipat.

"NGELUNJAK YA KAMU!"

Bugh!

Imadea menendang kaki Althea lagi. "Diam! Saya bilang diam ya diam!" teriaknya sambil meremas kuat kepalanya karena pusing.

Bukannya diam, Althea malah terus menangis sampai sesegukan.

"Kamu mau apa sih hah!!" Imadea membuka lemari lalu mengambil kaos kaki dan menyumpel mulut Althea agar tidak terdengar lagi suaranya. "Diem! Kamu mau saya bunuh sekarang hah!"

Althea menggeleng. Di perlakukan begitu malah membuat hatinya semakin terluka. Ia juta membatin. "Kenapa semuanya jahat sama aku?"

"Tidak berhakkah aku hidup layaknya remaja di luaran sana?"

"Masa depan aku sudah hancur, sehancur-hancurnya."

Di sela-sela keheningan. Imadea memukul bibir Althea sekencanh-kencangnya. "Nah gitu diem, kan nyaman gak bikin sakit telinga." Tawanya menggema.

Mata perempuan itu terpejam kala merasakan rasa manis menyentuh lidahnya. Ia tahu itu rasa apa. Sudah pasti darah yang keluar dari bibirnya yang terluka saat ini.

"Sakit, Ma," batinnya bersamaan dengan keluarnya air mata itu.

•••

Di ruangan gelap. Seseorang yang tidak terlihat siapakah dia. Laki-laki atau perempuan. Intinya dia sedang menghadap layar komputer.

Mengedit sebuah video berdurasi kurang lebih 30 detik tengah ia utak-atik.

"Tinggal klik, nunggu kapan tanggal yang cantik nan tepat untuk di tayangkan secara live. Udah," ucapnya lalu komputer itupun mati.

Orang itu berdiri lalu bersmirk. Kemudian menepus tangannya, seolah ada kotoran menempel. "Setelah itu habis kalian semua." Di akhir wajahnya menyeringai licik.

Lalu ia tertawa terbahak-bahak seperti kerasukan iblis dengan tangan terlentang. Tawanya menggelegar tak peduli siapapun akan terganggu.

"Perlahan tapi pasti, Gabriel ataupun Mathea akan hancur. Sangat hancur."

"Seperti apa yang telah remaja lain rasakan."

Seringaian terlihat licik. "Tunggu pembalasan ku Gabriel."

ALTHEA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang