Mata Althea mengerjap kala mimpinya barusan berhasil membuatnya meneteskan air mata. Ia mencoba menetralkan penglihatannya. Meski kepalanya masih pening. Tangannya terangkat memegangi kepalanya. "A-aku dimana?" lirihnya seraya melihat sekeliling. Dinding berwarna putih polos. Dan ruangan yang sunyi.
Althea tak sengaja tangannya sudah di infus. Kemudian mereba hidungnya yang terdapat selang oksigen. Lalu ia mendongak. "Rumah sakit?"
"Siapa yang bawa aku ke sini?"
Althea mencoba mengingat kembali apa yang terjadi. Kepalanya langsung sakit. Ia meremas kuat rambutnya. "Aw," pekiknya. Rasa sakit itu kian menjadi-jadi. Di tambah sakit di perutnya yang teramat dahsyat. "Aw!"
Pintu terbuka. Seorang suster datang langsung memeriksa kondisi Althea. Dan bilang kalau kondisinya cukup buruk. Banyak lebam di sekujur tubuhnya.
"Aku ingin pulang!" Althea melepaskan selang infus dan oksigen. Kemudian turun dari tempat tidur. Namun suster menahannya.
"Jangan! Kondisi kamu belum sepenuhnya sehat."
Althea menggeleng. "Aku mohon. Aku gak punya biaya untuk tetap berada di rumah sakit ini. Terima kasih." Ia langsung berlari tertatih-tatih meninggalkan ruang rawat itu.
Suster itu mengejarnya. "Bu tunggu!"
"Aku harus pergi. Tapi aku harus pergi kemana?" Althea memejamkan mata. Merasakan sakit teramat dalam di dadanya. Nyesek, terluka dan rasanya ingin menyerah dan mengakhiri hidupnya.
"Selamat siang pemirsa. Telah terjadi pembunuhan di hutan xxx Jakarta Timur yang menewaskan seorang remaja laki-laki bernama Kenzo Atharauf. Siswa SMA xx sekaligus anak pengusaha terkenal yaitu Atharauf. Kasus tersebut masih di usut sampai detik ini. Korban di duga meninggal karena kahabisan darah, dengan luka tusuk di dada dan di perut. Serta 2 peluru di temukan bersarang di kepalanya----"
Althea terdiam. Ia mengusap wajahnya frustasi. Lalu meringis. Perlahan tubuhnya merosot tak berdaya. Lututnya lemas. Keringat dingin langsung menyerang tubuhnya. Ia bersandar di dinding yang terasa dingin. Lalu menoleh ke arah dimana televisi itu menyala. Air matanya lamgsung berjatuhan ketika foto korban pembunuhan itu di tunjukkan.
"Enggak. Gak mungkin itu kamu Kenzo!" Mulut Althea sedikit terbuka, ia menjerit dalam batinnya. Sama sekali ia tak pandai melupakan emosi. Ia takut kelewat batas. Ia menunduk membuat air matanya semakin banyak berjatuhan. Rasa sesak di dada terus menyerangnya. Dadanya kembung kembis seiring rasa sesak itu menyeruak.
Foto laki-laki itu terlihat jelas oleh mata Althea tengah tersenyum memakai bodie hitam. Senyuman khas yang selalu ia dapatkan setiap detik jika berada di dekatnya. Althea ingat. Foto itu ia sendiri yang mengambilnya. Saat mereka menghabiskan waktu luang di sebuah kebun teh mencari udara segar.
Kepala Althea mendongak. Wajahnya sudah benar-benar merah. Matanya sembab. Ia menangis seraya menahan sakit di dada dan di perutnya juga di kepalanya. "Enggak ya Allah, berita itu bohong. Gak mungkin dia pergi secepat itu. Seingat ku aku tidak memiliki salah padanya. A-aku---" Ia memegangi dadanya. Nafasnya tersengal-sengal.
Althea terbiasa hidup dengan memeluk luka. Tapi kali ini lukanya benar-benar membawa duka di hidupnya yang semula akan berwarna. Kini pelanginya benar-benar pergi. Langit yang selalu memberinya atap kini telah di nyatakan gugur dan melepas rangkulannya. Tempat berteduh Althea telah pergi sangat jauh dan di pastikan takkan pernah kembali.
Perasaan Althea tetap mengatakan kalau Kenzo masih hidup. Ia bangkit dan menghampiri seorang perawat. "Maaf, berita itu salah, kan? Berita itu ngaco, kan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
ALTHEA [End]
Подростковая литератураAlthea dan Mathea itu kembar identik. Sulit sekali membedakan wajah 2 perempuan ini. Terkecuali sikap dan karakter mereka yang bertolak belakang. Althea sederhana sedangkan Mathea mewah. Hingga suatu hari, perceraian memisahkan keduanya. Althea ikut...