47: SAH

408 57 11
                                    

Tadi sore, Althea bisa pulang karena tak betah terus berada di sana. Apalagi perempuan itu memikirkan biaya rumah sakit yang sangat mahal. Ia merasa sangat tak enak hati karena itu. Ia bukan siapa-siapanya, tapi mereka sudah memperlakukannya sangat baik. Membuatnya merasa bersalah. Bilamana suatu saat nanti mereka mengetahui kalau dirinya tak hamil anak Kenzo, melainkan anak temannya bagaimana? Ia otomatis akan di penjara atas kasus penipuan, bukan?

Apalagi sekarang Althea merasa sangat berat untuk melangkah. Ia bercermin menatap kosong dirinya sendiri dari pantulan cermin. Ia sudah memakai gaun pengantin, dan riasan di tubuhnya. Bunga melati sudah terpasang indah di rambutnya. Air mata juga mulai mengering di wajahnya. "Apa aku bakalan siap melangkah lebih lanjut lagi demi masa depan aku sendiri?" Ia memejamkan mata. "Aku gak sanggup harus melibatkan seseorang yang bener-bener gak salah disini."

"Sayang... kamu kenapa nangis?" Helena memeluk Althea. "Mana mama sama papah kamu? Mereka bakalan dateng, kan?"

Althea diam seribu bahasa. Ia harus menjawab apa? Bahkan menelepon mereka pun sam sekali tidak di angkat. Apa mungkin ia bisa menikah demi menyelamatkan harga dirinya yang sudah tak berharga itu tanpa melibatkan restu orang tua? Tidak mungkin, kan? Ia tak ingin menjadi anak durhana meski sudah membuat aib sangat banyak dan sulit untuk di maafkan apapun caranya. Selain kematian dirinya sendiri.

"Sayang jawab... acaranya bakalan di mulai... kamu kenapa sedih? Harusnya bahagia bisa bersama orang yang kamu cintai," ujar Helena menguatkan sekaligus heran. Bahkan timbul rasa penasaran tentang hubungan mereka.

Althea menoleh dengan kaget. "Saling mencintai?" batinnya lamgsung meneteskan air kata. Boro-boro saling mencintai, pacaran saja tidak pernah apalagi jatuh cinta.

"Althea apa kamu ragu? Atau takut? Kamu gak percaya pada kami?" Helena menatap lekat mata gadis itu. Lalu memegang bahunya dan menariknya untuk menghadapnya. "Jawab... di mata kamu banyak banget kesedihan, pasti karena anak bunda, kan? Sama ini?" Ia menyentuh perut Althea.

Tubuh Althea tersentak. Lalu ia tersadar dan menghapus air matanya. Kemudian menggeleng dengan senyuman. "Enggak. Aku hanya terharu aja. Ternyata tante baik banget padahal aku udah bikin aib di keluarga ini," balasnya dengan suara bergetar dan terisak.

"Enggak. Anak bunda yang salah bukan kamu. Kamu hanya korban sayang... bunda gak akan nyalahin korban, korban harus di lindungi bukan di asingkan apalagi di kucilkan. Ya tau ini aib besar," balas Helena memaklumi. "Bunda emang gak pernah di posisi kamu, tapi bunda paham aja."

Senyum tipis terbit di bibir Althea. "Mereka baik banget, aku harus gimana balas kebaikan mereka?" batinnya.

Helena menyodorkan ponselnya. "Kamu ketik nomor papa kamu, suruh dateng buat nyaksiin kamu nikah malam ini."

Althea melihat dulu Helena sebelum menerimanya. Lalu setelahnya ia memencet beberapa nomor lalu mencoba menghubungi papahnya. Akhirnya tersambung. "Ha-hallo, Pah.... ini aku A-althea," ucapnya dengan suara bergetar.

"......"

Althea kembali menangis kala mengatakan kata ini. "A-aku ada acara penting malam ini. Alamatnya aku share lewat chat ya Pah. Apa papah berkenan datang sekali aja ini permintaan aku yang pertama dan terakhir. Setelah ini aku gak bakalan ganggu papah lagi."

Tut....

Panggilan langsung di akhiri. Althea menurunkan tangan kanannya lalu memberikan ponsel Helena. Ia terus terisak, lagi-lagi tangisnya pecah.

"Kamu kenapa nangis? Kangen sama mama kamu?" Helena mengusap air mata calon menantunya. "Senyum dong. Kalau kamu senyum dan gak nangis lagi bunda bakalan tunjukkin kado buat kamu."

ALTHEA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang