Althea tertidur sangat nyenyak di pagi hari ini. Tiba-tiba keringat bercucuran di pelipisnya. Sampai matanya langsung melotot. Ia pun bangun dan mendudukan tubuhnya. "Jam berapa ini? Aku harus sekolah!"Gadis itu turun dari ranjang. Tapi ia merasakan selangkangannya sakit bagai di sengat listrik. "Kenapa sakit lagi?" batinnya.
Lalu ia memegangi perutnya yang terasa kram begitu menyiksanya. "Aw kenapa lagi sih ini?"
Perlahan tubuhnya turun dan bersandai di pinggir ranjang sambil terus menunduk meremas perutnya. "Aaaaw, sakit."
Gadis itu mencoba menarik nafas dan membuangnya secara perlahan. "Kenapa sakitnya makin bertambah sih?"
Sekarang mual kembali gadis itu rasakan. Terburu-buru ia berlari ke kamar mandi meninggalkan bercak merah di atas lantai bekas tempat duduknya.
"Huek... huek...."
Terdengar dari dalam kamar mandi ia terus muntah-muntah membuat Imadea curiga. "Aku intip kali ya."
"Huek... huek...."
Wajah gadis itu terlihat sangat pucat. Dengan kepalanya yang pusing.
"Hah dia muntah-muntah? Apa jangan-jangan dia hamil!" Imadea tak percaya. Seingatnya waktu ia hamil dulu juga begitu.
Bahkan bukan sekali ataupun dua kali ia mendengar Althea selalu mengeluh pusing, terdengar suara muntah-muntah, melihatnya bermalas-malasan, dan banyak tidur.
Di dalam, Althea membasuh mulutnya. Lalu menatap dirinya di cermin. "Aku capek harus terus muntah hampie tiap saat," batinnya. Ia mengusap wajahnya. Lalu beralih ke rambutnya. Seketika air matanya lurus setelah ia melihat perutnya. "Apa benar aku sedang hamil?"
Gadis itu menggeleng cepat. "Aku gak sanggup. Kenapa? Kenapa yang aku takutkan malah terjadi ya Allah?"
"Tidak cukupkah kau memberikan ku ujian sangat berat sebelumnya?" Ia menyeka air matanya. Tangannya benar-benar tak berani menyentuh perutnya sendiri. "Gak, aku gak yakin. Ini pasti salah periksa."
"Aku harus beli alat tes kehamilan, untuk itu aku bakalan percaya," batinnya. Lalu ia keluar kamar mandi berniat untuk pergi ke apotik. "Eh ma-mama ngapain disitu?"
Imadea berdelik tajam. "Kamu hamil?"
Mata gadis itu melotot. "Eng-enggak. Ka-kata siapa?"
Mata Imadea menyipit. Menatap tajam anaknya. "Saya gak budek. Hampir tiap pagi siang sore malam kamu selalu muntah dan banyak tidur."
"A-aku hanya--- huek... hurk." Ia kembali lagi masuk ke kamar mandi.
Mual itu terus menerus menyerang dirinya tanpa henti. Hingga dada dan perutnya terasa sangat sakit. "Aku takut pas mama nyumpahin aku hamil jadi kenyataan."
Ia keluar kamar mandi. Lalu bercermin. Ia memutar dirinya. Melihat noda darah di celananya membuat senyum gadis itu mengembang. "Hah? A-apa? A-aku haid lagi? Alhamdulillah... artinya hasil pemeriksaan itu sal--- AW!" Ia kembali memekik karena perutnya kembali sakit.
"Aaa, aw sakit." Gadis itu kini terbaring di lantai memekik kesakitan seperti cacing kepanasan.
Air matanya terus berjatuhan. Sakitnya melebihi apapun. Tiba-tiba sakitnya hilang begitu saja. Ia bangun lagi. Lalu segera mandi dan memakai seragam.
Hidupnya memang sudah hancur berantakkan. Tapi ia masih ingin menimba ilmu kehidupan dan pengetahuan agar bisa membuatnya sejenak melupakan masalahnya. "Hari ini jadwal ke sekolah Thea. Apa aku sanggup kesana?"
"Apa aku sanggup menghadapi bullyan itu? Dan menampakkan diri tanpa malunya setelah tubuh polis aku terlihat jelas di video itu sedang bermain dengan seorang lelaki?" Matanya berkaca-kaca lalu mengerjap kelilipan. "Aku malu tapi aku---"
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTHEA [End]
Teen FictionAlthea dan Mathea itu kembar identik. Sulit sekali membedakan wajah 2 perempuan ini. Terkecuali sikap dan karakter mereka yang bertolak belakang. Althea sederhana sedangkan Mathea mewah. Hingga suatu hari, perceraian memisahkan keduanya. Althea ikut...