20: Bukan Pilihan ini Takdir

401 49 3
                                    

Althea baru saja bubar sekolah. Ia pulang paling akhir karena kena hukuman atas mata pelajaran terakhir tadi. Ia berjalan sangat lambat.


"Hai kak Al!" sapa Adik kelas.

Bisanya Althea langsung menjawab. Kali ia ia bahkan tidak sama sekali menjawab apalagi menoleh. Terus saja berjalan menyalip kerumunan.

"Tumben kak Al jadi sombong gitu," bisiknya.

"Althea serangan jantung kali banyak tugas," celetuk seseorang.

Mereka yang berbisik kini berpindah tempat.

"Gimana kedepannya? Kalau a-aku hamil gimana?" Terus menerus pertanyaan ini terlintas di benak Althea. "Aku gak tau dia siapa. Namanya atau bahkan orangnya. Kenapa Thea punya pacar seperti dia?"

Althea terus melangkah sambil bicara dalam hati. Perempuan yang masih memakai baju olahraga yang pendek itu seperti berjalan tanpa arah sama sekali. Semuanya berantakkan.

Impiannya untuk menjadi seorang dokter tiba-tiba pupus di dalam hatinya. Semua rencananya jadi sirna. Althea benar-benar frustasi dan terus di hantui rasa takut di dalam jiwanya.

Tiba-tiba handphonenya berbunyi. Althea langsung mengangkatnya. "Iya hallo."

"Apa kabar lo? Gue udah kirim uang buat lo nyambung hidup sama mama lo. Oh ya makasih ya kerja lo bagus. Pacar gue gak apa-apain lo, kan? Gue harap sih enggak. Dia soalnya baik banget. Awas aja ya kalau lo goda dia! Gue bakalan kena masalah besar!" omel Mathea disana.

Mendengar itu membuat Althea langsung memangis. Dia tidak menggoda pacarnya. Justeu sebaliknya.

"Hei Al! Napa lo diem aja? Lo gak ngapa-ngapin, kan sama dia?" tanya Mathea.

Althea ingin mengatakan tidak. Tapi justru itu sangat sulit. Mulutnya jadi susah terbuka.

"Al! Jawab! Apa bener? Al jawab. Gu-gue bener-bener ke-kecewa sama lo kalau iya!" Suara Mathea sedikit bergetar sepertinya ia akan menangis.

Althea memejamkan mata membuat air matanya jatuh. Suara tangisannya sedikit terdengar oleh Mathea. Meski ia tutupi rapat-rapat.

"Althea! Jawab Al! Kalau lo diem aja bearti bener lo udah godain cowok gue sampe---- ENGGAK!" bentak Mathea.

Althea mengigit kuat jempol tangannya agar tangisanya tidak terdengar. Matamya terus melihat kesana kemari.  "A-aku minta ma-maaf....."

"APA LO BILANG!"

Bentakkan Mathea membuat Althea tersentak kaget. Suaranya semakin bergetar. Padahal ia meminta maaf hanya karena ia merasa bersalah. Bukan berseti akan mengatakan kalau ia dan Gabriel sudah melakukan hal lebih dari pacaran.

"Gue gak mau tau! Jangan pernah anggep gue saudara kembar lo lagi! Mulai sekarang! Tali persaudaraan kita putus!" tegas Mathea langsung mematikan sambungan telepon.

Mata Althea yang berkaca-kaca membulat. Melotot lurus melihat puluhan daun kering berterbarangan terbawa angin. Rambutnya yang tadi pagi basah kini sudah berubah menjadi kering.

"Kenapa jadi begini? A-aku niatnya cuman melakukan apa yang Thea minta untuk menami pacatnya jalan. A-aku gak bermaksud untuk merebutnya," monolog Althea. Ia sekarang benar-benar merasa bersalah. "Harus apa aku sekarang?"

ALTHEA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang