66: Pencarian

252 44 8
                                    

Kondisi Mathea sudah pulih kembali. Ia meminta rujukan agar segera bisa di pulangkan. Terlebih biaya rumah sakit yang mahal. Bahkan belum di bayar. Terpaksa saja ia melepas barang berharganya agar bisa pulang.

Kini Mathea berjalan di koridor rumah sakit dengan berlinang air mata. Saat ia melihat ke depan. Langkahnya terhenti melihat sebuah keluarga bahagia dengan anak kembar mereka.

Mathea tersenyum melihatnya. Ia merindukan masa indah itu. Kala semuanya berkumpul dan tertawa bersama. Ia terdiam mengingat masa lalu.

Gelak tawa dua gadis cilik bergaun penuh bunga berlarian mengelilingi kursi taman. Mereka tertawa bersama dengan sebuah boneka barbie.

"Kak! Awas ada ulet kak!"

"Mana?" Althea melompat ketakutan.

Mathea tertawa meledek. "Hahah bodoh banget sih gitu aja percaya."

"Ih kamu nyebelin." Althea merengut lalu berjalan menaiki anak tangga.

Mathea segera menyeka air matanya. "Thea udah. Lo gak bisa kayak gini. Lo kuat." Ia menggeleng tak percaya. Kemudian melangkah lagi sampai di depan rumah sakit. Cuaca sangat panas. Ia terkena sinar matahari yang terik membuat kulitnya terasa gosong. Di lihatnya jalanan sangat ramai. Tapi tidak ada satupun yang menjemputnya. Bahkan papahnya sendiri tidak datang untuk menjengguknya.

"Papah beneran tega sama aku," batin Mathea.

"Hei!" Glen menepuk pundak Mathea. "Udah sembuh lo?" Ia tersenyum lalu melihat Mathea membawa tas, bisa di simpulkan kalau ia akan pulang. "Mau balik nih?"

Mathea mengangguk. "Iya iyalah. Emang Kakak kira mau pindahan?" Ia memalingkan wajahnya.

"Yaudah ayo gue anter. Gratis!" seru Glen lalu menarik tangan Mathea keluar dari rumah sakit.

Mereka terhenti di parkiran. Glen menyuruh Mathea memasang helm. Lalu menyuruhnya naik di jok belakang. "Udah?"

"Sakit," pekik Mathea. Karena bekas jaitannga terasa sangat lini.

Glen melirik ke belakang lalu berdecak sebal. "Bisa gak?"

Mathea mengangguk. "Gue gak boleh keliatan lemah," batinnya. "Bisa kok tenang aja."

Nyatanya tidak. Glen harus turun dari motor kemudian menggendong Mathea untuk duduk di jok belakang. "Sok-soan bilang bisa. Kalau jaitan di perut lo robek gimana?"

Glen terus mengomel hingga di tengah jalan. Bahkan di lampu merah tak bisa berhenti bicara. Membuat senyum tipis terbit di wajah Mathea.

"Mau balik ke rumah lo yang lama?"

Mathea mengangguk. "Iya Kak."

"Oh kirain mau ke rahmatullah. Biar sekalian gue anter mumpung di jalan nih," balas Glen lalu tertawa terbahak-bahak.

Seorang gadis di dalam mobil hitam di samping motor Glen mendengkus kesal. Ia menurunkan kaca mobilnya lalu merengut sebal. "Ck ngapain sih pake pada ketawa segala. Gue nyuruh lo siksa dia bukan bikin dia bahagia, dasar cowok oon," decaknya lalu menutup kembali kaca mobil.

Jujur saja, lama-lama Silvia jadi iri terhadap kedekatan Glen dan Mathea. "Kapan sih gue bisa full time sama Glen!"

Glen dengan sengaja mengegas motornya tiba-tiba hingga Mathea tersentak kaget dan langsung memeluknya sangat erat. Ia hanya tertawa melihat wajah Mathea yang ketakutan di balik kaca spion. "Kalau mau peluk bilang aja kali. Gausah pura-pura kaget gue ajak ngebut."

"Idih ngarep lo Kak!" Mathea mendorong helm Glen. "Udah buruan pegel nih. Mana ngilu nanget bekas jahitan."

Glen mangacungkan jempolnya lalu menyalip kemacetan sampailah di depan rumah besar yang tampak kosong dan sunyi itu. "Dah nyampe. Buruan turun."

ALTHEA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang