Althea Zalina Artawizana namanya. Eh maksudnya Althea Zalina. Dia selalu lupa kalau marga keluarganya di lepas paksa sepihak oleh orang tuanya. Dia hanya gadis lemah penuh penderitaan, penyiksaan dan luka. Dia juga hanya gadis biasa, hobinya hanyalah memasak, menulis dan membaca buku bahkan semua itu sudah ia jadikan teman selama ini untuk menemani kesepiannya. Penderitaannya di mulai begitu cepat dan semakin bertambah setelah orang tuanya memilih cerai. Dan merebutkan hak asuh saudari kembarnya di banding memikirkan hati kecil dan perasaannya. Kekerasan fisik maupun mental selalu Althea dapatkan. Tak kenal waktu, tempat dan situasi.
Althea sendiri tidak tahu apa alasannya kenapa orang tuanya jadi membencinya tanpa alasan sejak usianya berumur 7 tahun. Ia selalu tidak di pedulikan dan di jadikan babu. Masih ingat jelas di memori gadis itu. Saat papa-nya menalak kepada mama nya di hadapannya.
“MULAI SEKARANG! KAMU! IMADEA SARASWATI binti Ahmad Jalaludin Mahmud! Saya talak!”
Kata itu berhasil membuat hati Althea seperti tertusuk pedang berkali-kali. Air mata langsung bercucuran. Gadis yang masih duduk di bangku kelas 2 SMP itu bahkan baru pulang dari sekolah, masih berseragam putih biru dengan bau keringat di sekujur tubuhnya langsung duduk bersimpuh tak berdaya.
Berbeda dengan Mathea Zarra Artawizana yang terlihat biasa saja saat orang tuanya akan bercerai.
Althea menangis tanpa suara saat itu juga. Ia sangat terpukul. Rasa sakitnya tak bisa di jelaskan sama sekali. Ia hanya mampu menjelaskannya dengan tangisan yang begitu menyakitkan. Sebelumnya Althea terus sabar mengikuti alur kisah dari takdir kehidupannya. Membantu agar orang tuanya kembali baikan. Menyaksikan pertengkaran yang hingga akhirnya berakhir di sidang perceraian.
Imadea tak mampu berkata lagi. Ia sudah tidak bisa apa-apa. Hanya menangis yang bisa ia lakukan sekarang. Dengan tangan terkepal. Rahang mengeras. Gigi yang bergemelatuk. Jiwa yang di penuhi amarah dan emosi sehingga dadanya naik turun. Nafasnya memburu. Tatapan tajam nan lurus ke arah depan. “Kalian mau ikut Mama atau Papa?” Lantas semuanya terdiam tak bisa berkata.
Althea mendongak kaget. “Aku harus pilih siapa?” batinnya. “Ini pilihan terberat.”
Hingga Arta kembali bersuara. “Yaudah Mathea ikut Papa!”
Mathea yang semula duduk tak peduli atas masalah yang terjadi, malah memainkan kukunya. Kini mendongak dengan antusias. “Beneran, Pah?”
“Gabisa! Mathea harus ikut Mama!” sarkas Imadea sambil ingin merangkul Mathea.
Tapi Mathea keburu melangkah maju. Hingga Imadea hanya menyentuh angin. “Yes! Thea ikut Papa!” seru Mathea bahagia. Bagaimana tidak? Bersamanya akan membuat semuanya terpenuhi.
Dengan segera Althea berlari memeluk ibunya. Namun, balasan Imadea itu sangatlah tidak ramah. Ia mendorong gadis itu sampai kepalanya terbentur tembok. Sampai membuat dahinya memar.
“Pergi kamu! Ikut sama Papa kamu!” teriak Imadea pada Althea. “Mathea sayang Mama mohon ayo ikut Mama ya sayang ya?” lirihnya dengan tangan terulur.
Mathea menggeleng. Lalu merangkul Papanya dengan penuh bahagia. “Enggak ah. Mening sama Papa. Udah pasti semua kebutuhan Thea bakalan terpenuhi. Lah kalau sama Mama yang bakalan jadi miskin kalau cerai sama Papa, pasti aku malah terbebani. Kucel, dekil, bau, dakian. Ih ogah, ble,” ungkapnya begitu menghina. Lalu ia menoleh kepada Papa-nya dengan senyum sombong. “Iyakan, Pah?”
Arta mengangguk setuju. “Iya sayang, biarin Althea yang ikut Mama kamu. Dia, kan anaknya tangguh. Bisalah beradaptasi sama lingkungan miskin. Gak kaya kamu---“ ia menyelipkan beberapa helai rambut Mathea di telinganya. "Kalau kamu cocoknya jadi my princess in my life yakan sayang?"
Mathea langsung mengangguk dan mencium pipi Papa-nya. “Iya, Pah. Makasih.”
“Enggak! Mas! Kamu boleh ambil harta kamu setelah kita bercerai. Tapi jangan ambil Mathea my little princess.” Imadea terus memohon.
Padahal anak mereka ada 2. Kenapa gak 1 orang bawa 1 anak. Kenapa harus merebutkan Mathea? Atau lebih baik mereka rujuk.
Meski penglihatan yang kabur, Althea tetap mencoba kembali berdiri. “Mah! Pah! Aku mohon demi kami anak-anak kalian. Buah hati kalian. Jangan cerai.... Aku mohon. Jangan hancurkan begitu saja impian yang sudah kami rancang begitu indah bersama kalian.” Butiran derai air mata terus menetes membasahi pipinya. Namun, tak satupun yang mendengarkan. Semuanya acuh padanya.
“DIAM KAMU ANAK PEMBAWA SIAL!” teriak Imadea begitu murka. Matanya seperti akan copot saat melototi Althea sampai tubuh gadis itu tersentak kaget hinga bergetar hebat.
“Thea sayang... kemas barang yang penting. Biarin sisanya yang gak penting buat Al. Nanti kamu bisa beli lagi ya,” ucap Arta menyuruh. Sangat lembut sekali tutur katanya. Mathea pun dengan senang hati menurut.
Arta dan Mathea mengemas barang penting saja. Soal pakaian dan lainnya bisa beli lagi nanti. Kecuali berkas penting dan sertifikat tanah dan rumah.
“Sudah sayang? Ayo kita pulang ke rumah baru,” ajak Arta. Mathea mengangguk cepat. “Biarkan mereka mencari tempat tinggal baru dengan kehidupannya yang baru.”
Imadea yang sejak tadi duduk bersimpuh dan menangis meraung-raung pun bangkit. "Jangan tinggalin Mama sayang! Mama mohon! Apa kamu gak sayang sama Mama?"
“Ayo, Pah!” ajak Mathea yang merangkul Papanya tanpa mengubris sedikitpun kepada ibunya. Mereka melangkah keluar rumah sama-sama membawa koper. Saat Arta dan Mathea akan pergi. Imadea menangis kesakitan dan mencoba menahan mereka untuk tidak pergi.
Sedangkan Althea sama sekali tak di pedulikan. Dia tak tahu apa salahnya selama ini, hingga mereka selalu pilih kasih padanya. Althea segera menarik tangan Mama nya agar tenang, juga menahan Papanya. Tapi Mama nya malah menepis tangan Althea hingga tangannya terbentur gagang pintu sampai lecet. Dan Papa-nya mendorong Althea sampai kepalanya terbentur pagar. Dengan cepat ia lupakan sakit itu. Lalu memanggil Arta. “Papa!” Lelaki itu menoleh. “Papa....” Ia melangkah lebar.
“Kenapa? Butuh uang? HEH kamu sudah bukan tanggung jawab saya lagi, kamu sudah bukan anak saya lagi! Kamu anaknya Imadea dan tanggung jawabnya dia. Kamu! Althea Zaina bukan anak saya lagi! Anak saya mulai sekarang hanya Mathea Zarra!” ungkap Arta yang membuat hati Althea sakit. Seketika air matanya mengalir deras. Kenapa sesakit ini? Kenapa ini begitu menyakitkan hati kecilnya? Bahkan Althea hanyalah gadis yang beranjak remaja yang butuh cinta dan kasih sayang orang tua. Dan tidak tahu apa itu perceraian.
“Kamu hanya mantan anak saya!” lanjut Papanya membuat Althea semakin terpukul. Ibaratkan sakit tanpa di sentuh.
Althea yang sejak tadi jatuh, ia meremas batu. Lalu di hempaskan. “PAPA!” jeritnya tak bisa menerima kenyataan kalau orang tuanya telah bercerai. Althea bangun dan berlari tanpa alas kaki mengejar mobil Papanya yang melaju pelan. Sempat ia melihat Mathea tersenyum licik penuh kemenangsn padanya sebelum naik ke dalam mobil. Althea terus berlari. Tetap saja tak bisa ia kejar. Meski ia berkali-kali jatuh bangun sampai rasanya lututnya lecet dan memar terbentur aspal dan batu. Tapi semuanya tetap percuma.
Althea berdiri mematung. Tangan kanannya terulur berharap bisa menghentikan mereka pergi. “PAPA JANGAN PERGI TINGGALIN AKU SAMA MAMA!” teriaknya bersamaan dengan adanya suara petir menggelegar.
Hingga tak lama kemudian hujan turun sangat deras menguyur perkotaan saat ini. Remaja SMP itu tetap berdiri di sana dengan keadaan basah kuyup. Ia masih sedih meratapi nasib keluarganya yang terpecah belah.
“Papa jangan tinggalin aku sama mama,” lirih Althea. Ia bersimpuh di atas jalan aspal itu. Lalu ia menunduk dan memukul permukaan aspal. Kemudian menjerit sekencang-kencangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTHEA [End]
Ficção AdolescenteAlthea dan Mathea itu kembar identik. Sulit sekali membedakan wajah 2 perempuan ini. Terkecuali sikap dan karakter mereka yang bertolak belakang. Althea sederhana sedangkan Mathea mewah. Hingga suatu hari, perceraian memisahkan keduanya. Althea ikut...