4: Senyum Manis

630 69 6
                                    

3 tahun kemudian....

Semuanya telah berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin. Tapi sekarang usia Althea sudah 17 tahun. Ia tumbuh denga sebaik-baiknya menjadi gadis yang baik dan cantik juga pintar.

Puluhan kejuaraan gadis itu raih. Puluhan piagam dan piala ia dapatkan. Jutaan rupiah uang hadiah dari lomba ia dapatkan untuk di persembahkan pada sang mamah yang tidak pernah berubah sejak itu masih sama sampai sekarang.

Gadis gemuk kini berubah sangat kurus. Tanpa merubah kecantikannya. Bahkan ia menjadi gadis ramah dan penolong. Tapi herannya tak ada yang mau berteman dengannya. Alasannya dia terlalu cantik untuk di temani.

"Selamat sore, Bu, Pak!" sapa Althea begitu ramah saat memasuki komplek perumahan. Ia terus menebar senyuman. "Lagi apa Bu?"

"Jemur Neng. Baru pulang sekolah?" balasnya.

Althea menjawab tabpa menghentikan langkahnya. "Iya bu." Ia terus memeluk erat piagam penghargaan kejuaraan yang ia menangkan tadi. Dengan medali yang melingkar di lehernya. "Sore Pak."

"Eh Neng Al abis ikut lomba ya?"

"Iya, Pak alhamdulillah... doa Bapak di kabulkan. Al jadi juara lagi," balas Althea begitu senang. Entah saat sampai di rumah. Pasti beda cerita lagi. "Al permisi dulu ya."

"Iya neng silahkan."

Althea masih berjalan biasa. Sampai di belokan menuju jalan ke rumahnya. Langkahnya terhenti dengan detak jantung yang berdekup kencang. "Mamah...." Ia langsung berlari kencang.

Sampai terlalu kencangnya, rumah Althea sampai kelewatan.

Althea mendengar suara keributan dari dalam rumahnya. Ia panik, takut mamanya mengamuk tiba-tiba. "Mamah! Mah dimana?" Baru saja ia masuk langsung di kejutkan dengan pemandangan yang tak ia inginkan. "Mamah!"

"Stop Bu. Jangan desak mama saya. Dia gak tau apa-apa!" Althea berusaha melerai. "Ini Bu. Al punya uang buat bayar kontrakan bulan ini dan bulan lalu." Ia merogoh saku dan memberikan lembaran uang seratus ribuan hasil lomba. "Tapi lepasin dulu mama saya."

"Nah gitu dong. Kalau gini saya gak perlu debat sama orang gila ini," balas Ibu pemilik rumah.

"Mama saya gak gila. Dia hanya sakit." Althea mengangguk. "Yaudah Ibu bisa pulang. Maaf dan terima kasih."

"Sakit jiwa hahaha."

Althea menuntun sang mama untuk duduk tanpa memikirkan hinaan utu. Lalu menuangkan segelas air. "Minum dulu, Mah."

Imadea menghabiskan air minum itu. "Saya mau mati," gumamnya.

Althea langsung memeluk mamanya begitu erat. Tiba-tiba ia merasakan mamanya cekukan. "Mama kenapa?"

Mamanya memegangi dadanya yang terasa sangat sakit. Pasti jantungnya kumat lagi.

"Mama ayo kita ke dokter, Mah!" Althea buru-buru merangkul Imadea. Tapi Imadea tetaplah Imadea. Dia malah mendorong Althea sampai terjungkal lagi.

Puluhan luka di tubuh gadis itu sudah hilang seiring berjalannya waktu tanpa salep apapun.

Althea bangkit dengan keberanian. "Nah berenti marah. Aku sayang Mamah. Mamah tetep mama ku tersayang. Mama harta aku paling berharga. Apapun bakalan ku kasih asalkan jangan minta Mamah."

ALTHEA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang