Mathea berjalan gontai. Ia terus bolak balik seraya mengetuk-ngetuk dagunya. Memikirkan tentang Clara. Yang ternyata langsung meninggal dunia si tempat kejadian setelah tanpa sengaja ia tusuk kepalanya dengan pecahan kaca. "Gimana kalau polisi tau gue yang bunuh?"
Mathea berdecak kesal. "Gak. Gak mungkin ada CCTV di club malam itu."
Dia kembali berjalan ke sana kemari. Hari ini ia tidak sekolah karena izin. Bukan izin, tapi malas. "Dan rekaman soal rahasia gue?" Ia melotot karena kaget. Lalu menepuk pundaknya. "Ah bodoh lo Thea. Kemana rekaman itu!"
Mathea mengambil tansya dan mengeluarkan isi tasnya. Diam-diam Dahlia mengantip di balik pintu.
"Mana sih? Gue inget itu gue ambil dari tangan Clara." Mathea memijat kepalanya. "Gak. Jangan. Jangan sampai ke tangan seseorang yang salah. Gue bisa kadi buronan abis ini. Gak. Gue gak mau mati konyol. Gue harus pergi."
Dahi Dahlia mengkerut. "Buronan? Tahanan? Maksud anak itu apa?" batinnya. Bertanya-tanya. Saat Mathea berdiri ia segera pergi karena takut ketahuan. Ia tahu gadis itu bukan sembarangan di ajak lawan berkelahi karena egois.
"Euh bitch!" decak Mathea. "Bodoh banget sih lo. Dan kenapa Clara sampe mati segala sih! Lebay! Baperan amat lo, Ra."
Mathea frustasi. Ia akhirnya membuka jendela. Dan merasakan angin siang yang berhembus sangat sejuk. Namun saat ia memejamkan mata. Terbayang wajah Clara yang lebam dan penuh darah. Serta melototinya dan membawa benda yang membuatnya mati. Hingga ia langsung melotot dan menjerit. "ENGGAK!"
"Kamu kenapa teriak? Ada apa?" Dahlia datang dan memegang bahu Mathea.
Mathea gugup. Ia menggeleng. "Enggak, Ma. Akhir-akhir ini aku gak enak badan. Aku izin istirahat ya. Mama boleh keluar."
"Aneh," batin Dahlia.
Sejak itulah hidup Mathea semakin tidak tenang. Dan sejak siang itu ia terserang demam tinggi karena ketakutan di teror oleh hantu Clara yang memintanya jujur dan mengakui atas kejahatannya ke pihak berwajib dan meminta maaf.
"ENGGAK! ENGGAK MUNGKIN. JANGAN!"
Mathea terus menggeleng dalam tidurnya. Bahkan ia sudah di banjiri keringat. "ENGGAK CLARA! JANGAN!!!!" Matamya langsung terbuka lebar. Ia menatap langit-langit kamar. Lalu mengatur nafasnya.
"Ah untungnya cuman mimpi," gumam Mathea merasa lega. Ia kembali merebahkan dirinya. Dan saat ia tidur menyamping.
Sosok arwah Clara datang lagi dengan versi sangat menyeramkan. "Ma...theaa...." suara serak nan menyeramkan itu berhasil membuat Mathea ketakutan dan menjerit sekeras-kerasnya.
***
Semakin hari, akhirnya Althea terlihat semakin baik-baik saja. Berkat Wulan selalu menghiburnya. Berat badannya mulai bertambah seiring berjalannya waktu. Meski setiap sore ia berdiri di ambang pintu menunggu kepulangan Kenzo yang tak kunjung datang. Ia sangat merindukannya.
"Masuk, udah mau malem. Bahaya di luar banyak roh jahat yang bakalan ngincer bayi kamu."
Althea menoleh. Ia sesekali menoleh ke arah jalan. Ia tersenyum melihat bayangan Kenzo dalam halusinasinya datang membawa kabar baik. Namun, semuanya luntur ketika wajah Kenzo tiba-tiba berubah pucat, tatapannya dingin, dan penuh luka. Ia langsung merasa terpukul dan segera berlari menuju jalan. Ia menangis meraung-raung ketika bayangan Kenzo perlahan pergi dan hilang.
"Kenzo! Kenzo jangan pergi! Kenzo!"
Althea mengulurkan tangan kanannya. "KENZO! Ken denger aku, kan! Kenzo!"
Sosok yang menyerupai Kenzo berjalan ke arah hutan. Althea tidak bisa membiarkan Kenzo pergi. Ia tak peduli jika ini menjelang magrib maupun hujan deras bersamaan dengan halilintar akan datang. Ia hanya ingin memeluk Kenzo. Dan menangis dalam pelukannya. "Kenzo tunggu! KENZO!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTHEA [End]
Teen FictionAlthea dan Mathea itu kembar identik. Sulit sekali membedakan wajah 2 perempuan ini. Terkecuali sikap dan karakter mereka yang bertolak belakang. Althea sederhana sedangkan Mathea mewah. Hingga suatu hari, perceraian memisahkan keduanya. Althea ikut...