2: Di Usir

840 85 4
                                    

Setelah kepergian Arta dan Mathea kemarin sore. Althea dan Imadea mulai kelaparan saat ini. Perut gadis itu keroncongan karena tak di beri sedikutpun makanan oleh mamanya.
“Mah... kenapa gak ada makanan? Semuanya kosong. Aku lapar....” tanya Althea sedih. Tangannya terus memegangi perutnya yang melilit. Bahkan tadi saat pergi ke sekolah, ia jalan kaki sejauh 3 kilometer lebih. Tanpa sarapan atau di beri uang jajan.

Hanya hembusan angin yang menerpa kulitnya hingga Althea merasa kenyang. Itupun tadi. Bibirnya sudah kering, wajahnya pucat, energi yang ia miliki bahkan terasa semakin berkurang tak kuat lagi untuk menahan keseimbangannya dan rasanya sebentar lagi ia akan ambruk.

Imadea hanya duduk di tepi ranjang membelakangi Althea yang duduk bersimpuh tak berdaya. Ia masih meratapi kesedihan saat ini. Sampai lupa makan dan mandi. Tatapannya lurus dan kosong. Masih ada sisa caira bening di matanya. Serta kepedihan di hatinya.

“Yasudah, maaf, Mah.” Althea berdiri lalu ke dapur mencari makanan. Yang ternyata stok semuanya sudah habis.

Tak ada mie instan, beras maupun telur. “Kenapa semuanya habis?” gumamnya setelah semua lemari kosong. Kulkas juga.

Althea melangkah menghampiri mamanya lagi. “Mah... apa Mama punya uang? Bolehkan aku minta buat beli makanan?”

Lagi dan lagi Imadea tak menjawab. Ia terus diam dengan isak tangisnya.

Althea serasa tak di anggap. Ia tahu mama nya sangat terpukul dengan ini. Lalu ia berniat memeluknya. “Gak ada salahnya aku peluk Mama. Biar Mama sedikit tenang.”

“Jangan dekati saya! Saya tak sudi dekat-dekat dengan anak sialan seperti kamu!” bentak Imadea membuat langkah Althea terhenti.

Jadi Althea melangkah mundur. Lalu turun ke lantai bawah. Sedang berada di ruang tamu, dan duduk di kursi panjang. Dan bengong memikirkan bagaimana kehidupannya kedepan? Bisakah ia hidup lagi?

Brak!

Pintu di buka dengan cara di tendang begitu keras.

“Angkut semua barang-barang yang terisi menghiasi setiap inci rumah ini!” Ini suara Arta yang begitu lantang.

7 lelaki bertubuh kekar dan tinggi melangkah masuk. Sepertinya orang suruhan Arta untuk mengangkut semua barang di rumah ini.

Tubuh Althea tersentak kaget. Lamunanya langsung buyar. Ia menoleh dengan mata yang membulat. “Papa!” Ia berdiri dengan sejuta harapan.

“Papa kembali!” seru Althea. Ia berlari kencang dan merentangkan tangan tuk memeluk lelaki itu. Ia menyeka air matanya. Senyum terbit di bibirnya, hingga kecantikannya terlihat sangat bertambah.

Sampailah Althea memeluk Arta. “Papa aku kangen. Alhamdulillah Papa mau kembali ke rumah ini.”

“Eh, Beni tolong angkut barang mewahnya dulu. Lalu yang lainnya. Jangan sampai ada yang rusak. Lusa pemilik baru rumah ini akan datang,” ucap Arta membuat Althea kaget.

Perlahan pelukan Althea merenggang. “Papa....” Ia mengusap air matanya lalu melihat mimik wajah lelaki itu. "Papa  jual ru-rumah ini?"

Arta tak menjawab. Ia menepis tangan Althea. “Saya sibuk, cepat kemas barang-barang kamu dan mama kamu. Kalau enggak yaudah, jangan salahkan saya kalau barang kalian saya buang.” Ia langsung melangkah pergi.

Mata Althea sama sekali tak berkedip. Hatinya terlalu sakit harus menerima kenyataan ini. Ini bagai mimpi di siang bolong. “Enggak ini cuman mimpi.” Althea menggeleng, lalu menampar kedua pipinya. Rasanya terasa sakit. “Ini sakit rasanya.”

Althea menoleh cepat sambil berlari. Dan langkahnya terhenti di dekat tangga saat ia mendongak. “Mama....”

Imadea di seret paksa oleh lelaki bertubuh kekar tadi. Mereka membawa tas besar. Sepertinya isinya hanya pakaiannya.

Bruk!

“Silahkan bawa ibu kamu pergi!” titahnya.

Althea menggeleng cepat. Lalu duduk memeluk Imadea. “Mama... yang tenang, Al bakalan ada buat Mama.”

“Huaaaa,” teriak Imadea.

Para lelaki itu berjalan berlalu lalang memanggul televisi, kulkas, lemari dan lainnya. Membuat Imadea dan Althea menangis. Percuma mencegah, semuanya tak ada gunanya.

“Enggak! Itu semua barang milikku!” teriak Imadea. Tak bisa menerima kalau ia jadi miskin.

Althea semakin mengeratkan pelukannya sambil menangis. “Mah... udah. Kita terima kenyataan kalau kita emang udah gini sekarang.”

“Diam! Kamu diam!” Imadea langsung mendorong Althea sampai tubuh gadis itu terdorong keras.

Hingga tangan Althea terbentur ujung meja kaca. Sampai terluka cukup dalam. “Aw.” Ia hanya memekik lalu memeluk mamanya lagi.

“Enggak! Jangan ambil semua barang-barang ku! Enggak!” Imadea terus memberontak.

Seorang lelaki bertubuh kekar satang membawa tas ungu. Lalu menggiring Imadea dan Althea keluar rumah. Awalnya mereka lembut tapi karena Imadea tak menurut. Jadi mereka di kasari. Dengan cara di dorong keluar secara paksa.

“PERGI! Mulai sekarang rumah ini bukan milik kalian!” ungkap Arta.

Althea memandangi rumah besar tempat ia tumbuh. Tidak menyangka akan berakhir tragis seperti ini. Padahal ia sudah merencanakan akan tinggal disini sampai akhir hayatnya. “Good bye my home,” gumamnya. “Mah... ayo kita pergi.”

Plak!

Satu tamparan begitu keras mendarat di pipi Althea dari Ikadea. “Diam kamu! Kamu hanya pintar bicara!” Ia berbicara dengan nada tinggi dan emosi sampai urat-uratnya menonjol. “Gara-gara kamu! Saya bercerai dengan suami saya! Kamu hanya anak sialan! Kalau tau begini, lebih baik Mathea yang ikut sama Mama. Bukan kamu!”

Althea semakin menangis. Padahal barusan air matanya baru saja kering.

Imadea kembali berteriak. “Sekarang! Saya tinggal sama kamu! Kamu yang membuat saya miskin! KAMU ANAK SIALAN! PEMBAWA SIAL!”

Tak mampu menjawab. Hanya menunduk dan menangis. Sambil merasakan sakitnya hatinya tergores belati berkali-kali.

“SEKARANG! KITA MAU TINGGAL DIMANA HAH!”

“Kita cari sama-sama, Mah... kita bisa ngontrak. Aku bisa bantu Mama kerja cari uang,” balas Althea sungguh benar dari hatinya.

Plak!

“Segampang itu kamu ngomong AL!?” Imadea kembali menampar Althea. Padahal apa salahnya dia mencoba meyakinkan dan menenangkan?

“Mama nyesel ngelahirin kamu! Mamakira cuman Mathea anak Mama satu-satunya! Mathea adik kamu!”

Harus apalagi sekarang Althea agar Mama nya tidak terus marah. Ia bisa melihat semua perhiasan yang biasanya menghiasi tubuh wanita itu kini sirna. Riasan wajah yang biasanya membuat wajah Imadea cantik kini luntur.

“Maafin aku, Mah....”

Imadea terlalu larut dalam amarah. Ia menjambak rambut Althea sekencang-kencangnya. “Mama  benci sama kamu! Benci!”

“Aw sakit, Mah... sakit!”

Bugh!

Imadea memukul kepala Althea begitu kerasnya. “Rasakan itu! Itu tak sebanding dengan rasa sakit yang saya rasakan!”

Tak cukup memukul Althea. Imadea kembalu menendang kedua kaki Althea dengan sadisnya. Hingga gadis itu terjungkal di atas aspal tanpa belas kasihan.

Di lantai atas. Arta melihat kejadian itu berhasil membuat perasaannya hancur. Putrinya yang manis kini terluka.

Tak kuat melihat dia di siksa. Arta membalikan tubuhnya dari kaca. Tapi ia tetap menoleh karena penasaran. Lalu pergi dengan menggelengkan kepalanya.

“SEKARANG! KAMU HANYA ANAK PEMBAWA SIAL!” teriak Imadea begitu kejam seperti monster.

Sekarang, di atas aspal panas. Althea terkujur tak berdaya. Ia hanya merem dan melek merasakan rasa sakit yang bertubi-tubi. Perlahan namun pasti. Akhirnya matanya terpejam tak sadarkan diri.

Merasa tak ada suara apapun dari Althea. Membuat Imadea heran. Ia menoleh dan mendapati gadis itu pingsan. “Althea!”

Imadea berjongkok menepuk pipi Althea. “Al bangun! Al bangun! Mama tau kamu bercanda, kan?”

“KAMU APAKAN ALTHEA!” teriak Arta yang berlari dari dalam rumah ke luar.

Arta hampir menyentuh pipi Althea. Namun ia urungkan niatnya. “Hm lanjutkan. Terserah kau mau apakan dia.”

“Mas... a-aku kira kamu----“

“Jangan geer. Saya ke sini cuman ingin memberitahu kalau saya akan menikah lagi bulan depan,” pungkas Arta membuat Imadea semakin sedih.

ALTHEA [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang