12. Beban

231 13 0
                                    

Malam ini hujan turun dengan sangat deras, untungnya Alya sudah sampai di rumah meski seragamnya sedikit basah karena berlari ketika memasuki rumah. Gadis itu langsung membaringkan tubuhnya dikasur setelah mengganti pakaiannya, matanya menatap langit-langit kamar yang terdapat lukisan bintang dengan latar biru tua. Alya sendiri yang melukisnya, eh tidak, maksudnya Alya dan kedua orang tuanya yang menghias langit kamar itu menjadi sangat indah.

Tanpa terasa air mata mengalir mengikuti derasnya air hujan yang entah sampai kapan ia akan reda. Ingatan indah yang direkam oleh otaknya terputar dengan sendirinya, membuat perasaan rindu singgah dihati gadis yang saat ini sedang mencari letak kebahagiaannya.

"Kenapa Alya mau suasana kamarnya seperti langit malam?" tanya Nirmala ibunya.

Gadis berusia 6 tahun itu tersenyum. "Karena langit malam itu sangat indah!"

"Tapi Ayah pegel nih bikin bintangnya, kita pake tukang aja ya buat terusin lukisannya," ujar Aryan.

Alya menggeleng kuat. "Gak mau! ini tuh buat kenang-kenangan tau! biar aku selalu rindu kamar, ataupun ketika Ayah sama Ibu gak ada dirumah Alya bisa tetep ngerasa kalau Ibu sama Ayah disini bareng Alya."

Nirmala menghela napasnya pelan. "Kita lanjut pake tukang aja ya, lagian Ibu takut kamu jatuh sayang, menurut Ibu ini udah setengahnya selesai, jadi gakpapa kan kalo setengahnya diselesain sama tukang?"

Alya pasrah akhirnya dia menurut pada keduanya. Aryan turun dari tangga, sedangkan Alya sedang melipat kedua tangannya didada sambil mengerucutkan bibirnya.

"Kenapa? anak Ayah marah?"

Alya menatap datar. "Gak!"

Nirmala tersenyum melihat anak gadisnya merajuk. "Udah marahannya mending kita beli ice cream, gimana?"

Alya menatap Ibunya kesal. Jika ditawari ice cream mana mungkin dia menolak, lagi pula dia juga memang lelah melukis kamarnya, kepalanya pusing karena terus melihat keatas sambil membuat bintang yang banyak. Ibunya juga pasti lelah karena menjaga tangga yang dia naiki agar tidak kehilangan keseimbangan. Ya, memang permintaan ulang tahunnya kali ini aneh, tapi setidaknya ulang tahunnya kali ini dia bisa bersenang-senang dengan kedua orang tuanya yang sangat jarang dilakukan.

"3 rasa ice cream, atau gak sama sekali," tawar Alya.

Aryan sumringah lalu membawa Alya kepangkuannya. "Ayok kita beli ice cream!"

Gadis itu sedang mengingat-ngingat dosa apa yang dilakukannya sehingga ibunya memilih berpisah dari ayahnya dan meninggalkan putrinya bersama seorang ibu sambung dan ayah yang begitu mencintai istri barunya.

Alya menghela napasnya pelan, rasanya seperti mengambang dilaut lepas tanpa tujuan, mencari tepian namun yang terlihat hanya birunya lautan. Alya sedang mencari rumah untuk singgahnya dan dia menemukan Ilham. Dia tahu bahwa Ilham begitu tidak menyukainya tapi dia juga tidak bisa menghentikan niatnya untuk tidak mengejar Ilham, seperti sudah disetting untuk terus mengejar cowok itu.

Hati kecilnya berkata bahwa Ilham bisa membuat hidupnya lebih baik, dan itu benar. Alya sudah tidak membuat masalah sekarang, dia juga rajin belajar dan berjanji akan mengalahkan Ilham diulangan semester minggu depan. Apakah jika Alya mendapatkan peringkat ayahnya akan datang mengambil rapornya? ah, semoga saja ada suatu keajaiban nanti.

"Alya! makan malam dulu sayang!"

Gadis itu menghapus air matanya lalu bangun dan langsung membuka pintunya. Jangan salah paham, dia hanya tidak ingin ibu tirinya panik karena tidak ada sahutan yang keluar dari mulut Alya, kemudian dia masuk kedalam kamarnya karena saking paniknya dan Alya tidak suka jika ada orang yang masuk ke kamarnya kecuali pembantunya.

Cklek

Dinda tersenyum namun anak tirinya hanya menatap datar.

"Ayok makan, Bunda udah siapin makanan kesukaan kamu," ajaknya dengan senyum yang mengembang.

Alya hanya mengangguk lalu berjalan terlebih dulu menuju ruang makan. Tatapannya menajam ketika dia mendapati  seorang cowok duduk disamping ayahnya.

"Selamat malam adekku sayang," sapanya sambil tersenyum lebar.

Alya duduk berhadapan dengan cowok itu yang tak lain adalah kakak tirinya, anak ibu sambungnya.

"Ngapain lo dirumah gue?!" tanya Alya tak ramah.

"Gue juga bagian dari keluarga ini, kalo lo lupa gue itu anak-"

"Anak dari pelakor yang paling bokap gue sayang?"

Aryan menatap tak suka pada Alya yang selalu merendahkan Istrinya. "Kamu tidak diajari sopan santun disekolah Al? kenapa kamu selalu membenci ibu sambung kamu?"

Alya menaikan alisnya. "Apa ayah pernah minta persetujuan dulu saat nikah sama tante Dinda? apa itu yang disebut sopan? aku ini anak ayah, kenapa ayah gak pernah minta persetujuan aku dulu?"

Aryan menikah lagi tanpa bertanya pada Alya. Dia tiba-tiba membawa Dinda ke rumahnya dengan satu anak laki-laki, dan itu yang membuat Alya kecewa pada ayahnya sampai detik ini.

"Karena jika Ayah minta izin dari kamu, kamu pasti akan menolak Alya," jawab Aryan dengan menurunkan satu oktaf dari nada bicara sebelumnya.

Alya menghela napasnya pelan. "Kalo udah tau kenapa Ayah tetep kekeuh nikah lagi?"

"Karena nyokap gue-"

"Diam Devan! biar Ayah yang menjawab," potong Aryan cepat.

Devan diam dengan bibir yang terkatup rapat. Selama ini Devan tinggal dikosannya, namun beberapa hari ini Devan selalu mampir ke rumah Alya tanpa sepengetahuan gadis itu. Devan tahu ibunya tinggal disini saja sudah membuat gadis itu membencinya, apalagi jika dia tinggal disini, mungkin Alya akan semakin benci atau mungkin setiap hari dia akan membuat perang saudara yang bisa membuat ketenangan dirumah ini menjadi hilang selama-lamanya.

"Ibu lo pelakor!" tekan Alya. "Dan anaknya yang gak tahu diri ini malah ngemis makan dirumah gue!" cibir Alya dengan tatapan tajam.

Aryan yang sudah kesal langsung berdiri lalu menarik Alya kemudian menghempaskan tubuhnya hingga gadis itu jatuh ke lantai.

Devan dan Dinda membulatkan mata mereka terkejut.

"Kamu yang anak tidak tahu diri!!" Aryan mencengkram dagu gadis itu dengan sorot mata tajam. "Sudah saya sekolahkan mahal dan kamu terus-terusan merusak citra saya!!"

Alya menangis dalam diam, jujur pipinya begitu sakit saat ini. "S-sakit A-ayah!" lirihnya.

Aryan melepaskan cengkramannya kemudian dia berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Alya.

"Kenapa Al? kenapa kamu selalu membuat saya susah?!" bentaknya.

Alya menunduk dengan tubuh yang bergetar. "A-apa karena Alya yang selalu membuat Ayah beban jadi Ayah gak pernah mau mengakui Alya sebagai anak Ayah dipublik?"

"Iya."

Alya tersenyum, akhirnya dia tahu jawaban dari pertanyaannya selama ini. Mengapa ayahnya selalu malu mengambil rapornya dan berakhir Alya sendirian yang mengambilnya, alasan mengapa ayahnya tidak peduli dengan nilai sekolahnya karena Alya ini terlalu beban dan ayahnya tidak mungkin mau mengeluarkan uang les untuk anak beban sepertinya.

"Makasih, dengan semua ini aku sadar kalau aku emang bener bukan anak Ayah."

Aryan terdiam dengan sorot matanya berubah sendu, sial! dia selalu tidak bisa mengontrol emosinya hanya karena Dinda diolok-olok oleh putrinya sendiri. Katakan saja Aryan ayah yang bodoh, karena itu benar adanya.

"Al, Ayah minta maaf," ucapnya dengan kepala tertunduk.

"Aku bakal pergi kalo ayah-"

"Jangan! Ayah gak mau kamu pergi!" teriak Aryan membuat Alya menegakkan kepalanya.

Gadis itu menatap mata ayahnya yang berkaca-kaca. Sepertinya ayahnya takut kehilangan orang untuk dia marahi, karena tidak mungkin dia mempertahankan orang yang membentak istrinya yang dia sayangi dengan sepenuh jiwa raganya itu tinggal dirumah ini jika Alya tidak memiliki untung untuk Aryan.

"Aku bakal bertahan sampai Ayah puas membenci aku."

You My Bucin [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang