64. Mentari Terakhir

119 4 0
                                    

"Resta," panggil Alya dengan napas yang tersengal-sengal.

Setelah menemui Nadira tadi Alya langsung berlari ke halaman sekolah untuk mencari keberadaan sahabatnya. Meskipun dia tahu Resta pasti akan menolaknya, namun Alya tidak akan menyerah untuk mencoba, semoga saja hari ini Resta mau menerimanya.

"Resta! Gue-"

"Ngapain? Lo gak ada kerjaan hah?" tanya Resta ketus.

Alya menegakkan tubuhnya lantas mengambil sesuatu dari tasnya, diambilnya sebuah kotak kardus berwarna coklat polos sekitar 20 × 20 cm dengan tinggi 5cm itu lantas diberikan pada Resta yang menatapnya bertanya.

"Apa?" tanya Resta tanpa ada niatan mengambil alih kotak itu.

"Buat lo Res, tolong terima karena ini hari ulang tahun gue," balas Alya dengan senyum di wajahnya.

Resta terpaksa mengambilnya agar dia bisa segera berjauhan dengan mantan sahabatnya.

"Udah gue terima kan? Sekarang lo pergi," ucap Resta.

"Kita bareng-"

"Pergi!" bentak Resta.

Alya pasrah lantas membalikkan badannya dan kembali berjalan masuk untuk menuju kelas.

Kembali pada Resta yang kini malah membuang kotak itu ke tong sampah di dekatnya.

"Dia pikir gue bakal sebaik itu nerima kotak busuk ini? Sampe bulan jatoh pun gue gak sudi nerima sesuatu dari mantan sahabat gue yang udah berkhianat." Resta bermonolog sambil menatap kotak itu.

Setelah puas menghina kado pemberian Alya lantas Resta pergi menjauh dan menyusul masuk ke kelas.

Tanpa sengaja ada seorang cowok yang sedari tadi menyimak kejadian barusan membuat darah cowok itu mendidih, dia langsung mengambil kotak tadi tanpa merasa jijik lantas dia masukan ke dalam tas gendongnya.

"Gue gak nyangka ternyata sekarang lo sejahat ini," gumamnya. "Semoga suatu saat lo gak menyesal Res."

****

Dia menggigit bibir bawahnya gugup, antara ingin dan tidak untuk mengatakan inti dari pertemuan mereka, jika ditunda pun rasanya sia-sia karena waktu tidak akan bisa di putar dan kini dia harus berjalan ke depan tanpa harus melihat ke belakang.

"Kamu mau bicara apa Alya?" tanya Zayn untuk kesekian kalinya.

Laki-laki berjas hitam itu sudah menghabiskan secangkir kopi namun gadis di depannya masih belum bersuara apapun, entah apa yang sedang dipikirkannya tapi dia ingin segera mengakhiri pertemuan yang tidak berguna ini.

"Kalau kamu tidak mau berkata apapun sebaiknya-"

"Alya mau batalin pertunangannya," ucap Alya pada akhirnya.

Zayn sedikit menaikan alisnya, "Kenapa tiba-tiba Alya? Kamu sama Ilham ada masalah?" tanyanya.

"Alya suka sama orang lain."

Zayn sedikit terkejut dengan jawaban gadis itu, setahunya Alya begitu menyukai anaknya dia tahu karena Aryan yang mengatakannya.

"Kamu benar-benar ingin memutuskan pertunangan ini? Apa ayah kamu tau?" tanya Zayn.

Alya mengangguk berbohong, tidak mungkin dia berkata jujur bisa-bisa ayahnya akan banyak tanya. "Iya ini udah keputusan Alya, tolong om ngerti perasaan remaja kayak Alya."

"Kamu benar-benar yakin dengan keputusan ini?"

"Iya om, aku yakin," tegas Alya.

Zayn menghela napasnya pelan, mau bagaimanapun remaja memang sering berubah-ubah hatinya, dia juga tidak bisa memaksakan, dia mengerti dan pernah merasakan.

"Gimana om? Boleh kan?" tanya Alya.

"Iya, kamu boleh memilih jalan kamu sendiri," jawab Zayn dengan terpaksa.

"Serius!" tanyanya lagi memastikan.

Zayn mengangguk. "Iya Alya."

Alya mengembangkan senyumnya, kemudian dia mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah amplop putih serta sebuah kotak merah berisi cincin yang diberikan Ilham waktu itu.

Rasanya berat untuk melepaskannya, namun mau sampai kapan lagi Alya menahannya? Dia tidak menjamin hidupnya akan baik-baik saja lantaran penyakitnya makin hari semakin bertambah parah.

"Tolong kasih ini ke Ilham ya om, jangan bilang apa-apa nanti dia juga bakalan tau sendiri," ucap Alya.

Zayn mengangguk kemudian menerimanya, "Yasudah om pulang duluan ya. Kamu mau sekalian om antar?" tanyanya.

"Gak usah, Alya pake bus aja," tolak Alya.

Zayn kembali mengangguk kemudian pergi meninggalkan Alya sendirian di dalam restoran.

Setelah kepergian Zayn, gadis itu langsung membuka ponselnya mencari-cari nomor seseorang.

"Akhirnya ketemu!" Alya segera menekannya berharap orang itu mau menerima panggilannya.

"Hallo Al, ada apa?"

Alya menekuk wajahnya mendengar suara itu, "Gapapa kak Dania, ehmm Devannya ada gak kak?" tanyanya sedikit tak enak.

"Devan ketiduran maaf Al kayaknya dia capek habis bimbel tadi," jawab Dania dengan suara lembutnya.

"Ya udah kak gapapa," ucap Alya.

Gadis itu menutup panggilannya kemudian beralih menelpon seseorang lagi.

"Ilham, boleh bantu aku?"

"Lo minta bantuan apa? Gue gak mau buang-buang waktu buat cewek murahan kaya lo!"

Tuttt
Panggilan dimatikan sepihak oleh cowok itu. Alya menunduk sedih sepertinya tidak mungkin Ilham mau kembali berurusan dengannya.

Bukan sengaja Alya menelpon kedua cowok itu, dia merasa badannya semakin lemas karena seharian kesana kemari, dia hanya ingin minta dijemput saja, hanya itu. Namun sepertinya keduanya sedang tidak bisa diganggu.

"Apa gue minta bantuan Aldian aja ya?" gumam Alya yang baru sadar dengan kehadiran cowok itu.

Alya tidak menelpon Aldian, dia hanya mengirim pesan lantas mengirimkan lokasinya saat ini.

Tringg
Tanpa menunggu lama cowok itu membalas bahwa dia akan segera datang. Alya tersenyum senang, ternyata cowok itu berguna juga.

"Mending nunggu diluar aja deh biar keliatan," gumam Alya.

Gadis itu segera memasukkan ponselnya kedalam saku bajunya kemudian berjalan keluar restoran.

Keadaan diluar sudah menggelap diiringi rintik hujan yang membasahi jalanan. Alya memutuskan untuk menyebrang agar nanti dia langsung terlihat oleh Aldian lantaran saat ini dia berada di arah yang berlawanan.

Alya melangkahkan kakinya setelah melihat ke kiri dan ke kanan, namun tanpa disangka setelah dia sampai di tengah-tengah jalan sebuah truk tiba-tiba menabrak tubuhnya hingga terpelanting jauh dari tempat asalnya.

Dia tidak merasakan apapun selain rasa syok yang membuat jantungnya berdetak cepat, perlahan pandangannya mengabur, yang terlihat sekarang adalah wajah-wajah orang yang dia sayang.

Ilham yang tersenyum manis, ayahnya yang berwajah marah, ada Melya juga yang menatapnya kesal, ada ibunya yang menatap penuh kasih sayang, ada Dinda yang selalu menatapnya khawatir, jangan lupakan juga Devan yang sedang menatapnya jahil.

Alya ingin berada diantara mereka, Alya ingin menggenggam tangan mereka, Alya takut dengan kegelapan yang kini singgah, Alya ingin mereka sekali lagi.

"Hari ini, mentari terakhir yang Alya lihat, indah dan juga hangat meskipun tanpa ada senyum diwajah Ilham, Resta dan Melya. Alya tetep sayang mereka," ucap Alya di alam bawah sadarnya.

Alya benar-benar terlelap dengan luka dihatinya, dia membiarkan orang lain membencinya, meski begitu dia tetap menyayangi orang itu dengan sepenuh hatinya.

You My Bucin [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang