38. Ancaman

147 2 0
                                    

Kabar tentang Ilham yang berpacaran dengan Alya menyebar dengan cepat seantero sekolah, berita itu sampai ke telinga Melya, manusia yang paling membenci Alya.

"Mel, kayaknya lo kalah deh, si Ilham tuh udah beneran suka sama Alya mana kemaren sore tuh dia cubit hidungnya si Alya, ihhh beneran deh, so swe-"

"Diem! bisa gak sih lo sebagai sahabat hibur gue bukannya ngeledekin kayak gini," potong Melya kesal.

Nadira menutup mulutnya, dia adalah satu-satunya orang yang dekat dengan Melya, orang yang tahu bagaimana kepribadian asli yang dimiliki oleh gadis itu. Segala hal yang menjadi permasalahan dalam hidup Melya, dia tahu.

Melya mencoret buku kosong menggunakan pulpen lantas dia menyobeknya dan meremasnya hingga menjadi bentuk bola.

"Masih stress lo? udah deh jangan berambisi buat ngehancurin si Alya terus, hidup lo gak bakalan tenang sampai kapanpun," celetuk Nadira.

Gadis itu mendelik tajam. "Gampang lo ngomong kayak gitu, hidup gue menderita gara-gara gadis sialan itu!" bentaknya.

Untung saja hari ini kelas sepi karena semua murid sedang sibuk menyaksikan class meeting, terkecuali dua gadis itu. Sebenarnya Nadira ingin melihat pertandingan basket seperti yang lainnya, tapi dia tidak tega membiarkan sahabatnya sendirian apalagi dengan berita yang sedang hangat diperbincangkan.

"Lo gak capek terus dendam begini?" tanya Nadira.

"Gue? capek? gak ada kata capek untuk bikin hidup cewek sialan itu hancur! gue gak bakalan biarin dia bahagia sedikitpun." Melya melemparkan kertas itu kuat-kuat, seakan dia melemparkan Alya kelautan. "Setelah dia hancur, baru gue akan hidup tenang," lanjutnya.

Nadira menghela napasnya lantas dia memegang bahu Melya. "Gue sebagai sahabat lo cuma mau ngingetin, takut nanti hidup lo malah makin menderita Mel."

Nadira selalu berusaha untuk menjernihkan pikiran sahabatnya itu, namun semuanya sia-sia, Melya tetap bersikukuh untuk menghancurkan kebahagiaan Alya.

"Lo cukup diem dan dukung gue Dir, gue butuh lo buat temenin gue," balasnya.

Melya menggeser mejanya membuat Nadira mengerutkan keningnya. "Lo mau kemana?" tanya Nadira.

Gadis itu tersenyum miring lalu menjawab, "gue mau jalanin rencana buat menghancurkan makhluk yang bernama Alya Maheswari."

Setelah itu dia pergi meninggalkan Nadira yang duduk sendirian dengan wajah sendu.

*****

Ilham duduk termenung di taman sekolah sendirian, seperti ada yang kurang rasanya jika tidak ada Alya. Tidak ada yang mengoceh, tidak ada yang mengikutinya, dan juga tidak ada senyum yang menenangkan hatinya.

"Ilham."

Cowok itu memutar kepalanya, dia menemukan seorang gadis sedang tersenyum ke arahnya. Tanpa permisi gadis itu sekarang duduk disampingnya dengan mempertahankan senyumnya.

"Kenapa disini? kamu gak ikut main basket?" tanyanya membuka percakapan.

"Gue gak minat."

Senyumnya luntur ketika Ilham berkata tanpa memakai bahasa 'aku' 'kamu' padanya, itu menandakan bahwa Ilham memang sudah berpindah hati.

"Ilham kan suka basket, harusnya ikut dong nanti biar aku semangatin," ujarnya.

Cowok itu memutar bola matanya malas. "Bisa gak sih Mel jangan deketin gue, kita itu udah bukan siapa-siapa dan gue udah punya pacar!"

Gadis itu tersenyum. "Kita masih pacaran kok, aku belum bilang iya tentang putusnya kita waktu itu."

"Terserah."

Ilham malas berdebat, dia lebih baik mengakhiri percakapannya sekarang, mungkin sebaiknya dia bergabung dengan teman-temannya yang sedang diam di kantin.

Cowok itu berdiri hendak meninggalkan taman namun dengan cepat Melya menghalangi jalannya.

"Kamu mau kemana?" tanyanya sambil mendongak menatap Ilham.

Ilham berdecak. "Gue mau ke kantin."

"Aku ikut ya!" serunya.

Ilham tak mengindahkan perkataan Melya, dia berjalan melewatinya namun baru selangkah kakinya menjauh, dia menghentikan langkahnya karena teriakan gadis itu.

"Aku tau kamu jadian sama Alya karena terpaksa, iya kan?!" Melya berusaha untuk mempertahankan pertemuan mereka, karena memang sangat sulit untuk menemukan momen seperti ini.

"Kalo iya kenapa?" balas Ilham tanpa menatap sang lawan bicara.

Gadis itu tersenyum senang. "Jadi pengakuan kamu kemarin itu-"

"Itu beneran, karena ternyata gue beneran sayang sama Alya," potongnya.

Wajahnya berubah masam dan tangannya terkepal, namun beberapa detik kemudian wajahnya kembali cerah. Gadis itu berjalan kehadapan Ilham, kedua tangannya dilipat didada lalu menatap cowok jangkung itu dengan remeh.

"Kamu tau ga Ham? aku sebenarnya tahu tentang rahasia besar kamu loh," ujarnya membuat Ilham mengerutkan keningnya.

"Apa maksud lo?"

Gadis itu terkekeh sambil memutari tubuh Ilham. Beberapa hari ini dia memang tidak melakukan apapun untuk Alya, dia bahkan membiarkan gadis itu bahagia dengan pujaan hatinya. Namun, selama itu juga dia menemukan beberapa hal yang sepertinya bisa menghancurkan Alya menjadi berkeping-keping. Melya sangat ingin segera melihat wajah kecewa diwajah gadis itu.

"Hmmm, kamu mau denger cerita gak?" tanyanya.

Ilham diam menatap Melya yang sedang tersenyum didepannya.

Gadis itu terkekeh melihat wajah datar Ilham, dia bersedekap dada lalu melanjutkan perkataannya. "Baiklah, meskipun kamu gak jawab, aku akan tetep cerita."

"Dahulu kala ada sepasang suami istri yang begitu mendambakan seorang anak, namun sayangnya setelah dua tahun menikah mereka tidak juga nikaruniai anak. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk mengadopsi seorang putra-" Melya menggantung perkataannya sambil membaca raut wajah Ilham yang mengkeruh.

"Mereka menamai putra mereka Adiwijaya, dia selalu dituntut untuk menjadi anak yang pintar sampai-sampai anak itu rela berpacaran dengan seorang gadis agar nilainya tidak menurun," lanjutnya.

Melya tersenyum puas melihat reaksi Ilham, dia bersorak senang dalam hati karena bisa membuat cowok itu sadar akan dirinya.

"Lo tau darimana?!" bentak Ilham sambil menatapnya tajam.

"Aku cuma ngarang cerita, aku gak tahu kalau itu cerita tentang kamu eh-" Melya menutup mulutnya berlagak seperti orang yang keceplosan. "Ups, sorry Ilham."

Ilham diam, dia bertanya-tanya darimana gadis ini tahu tentang kebenaran dirinya, padahal hanya keluarganya yang tahu dan tidak mungkin sampai ke ruang publik.

"Ilham, kamu beneran anak adopsi?" tanyanya dengan wajah syok.

"Mau lo apa hah?"

"Jadi pacar kamu."

Ilham menggertakkan giginya kesal, dia merutuki kebodohannya karena dulu pernah suka pada gadis yang bernama Melya. Benar ternyata, dia tidak boleh melihat orang dari sampulnya karena ternyata gadis ini lebih buruk dari Alya.

"Gimana?" tanya Melya dengan menaikan alis. "Atau kamu mau aku bilang ke seluruh murid disekolah ini kalau Ilham itu-"

"Gue gak mau khianatin Alya!" ujar Ilham tegas.

Melya benar-benar dibuat tercengang, ternyata begini kalau cowok udah bucin. "Oke, gapapa kok, gampang aku tinggal bilang ke semua orang kalo Ilham ternyata bukan anak kan-"

"Oke, gue turutin kemauan lo!" putus Ilham pada akhirnya. " Tapi gue mohon, jangan sampai Alya tahu."

You My Bucin [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang