34. Pulang

177 5 0
                                    

Dadanya sesak ketika melihat senyum seorang gadis dengan bibir pucat dan selang infus yang dipasang ditangan kirinya. Dia menyesal dengan pemikirannya, kenapa dia seegois ini, padahal membuka hati untuknya itu bukan kesalahan harusnya itu suatu anugerah.

"Ilham kenapa mandang Alya kayak gitu?"

Gadis itu mencoba memegang tangan Ilham, namun rasanya tubuhnya masih lemas karena kejadian yang menimpanya.

"Lo mau pegang tangan gue?" tanya Ilham tiba-tiba.

Alya nyegir sambil menatapnya dengan puppy eyes. "Hehe, boleh ya Ham," pintanya.

Tanpa menjawab cowok itu menggenggam hangat tangan kanan Alya, dia menatap dalam manik mata hitam itu, dia sadar seharusnya dari dulu saja dia berikan perasaan ini pada Alya, berpura-pura tidak menyukainya adalah hal yang berat, apalagi mereka nantinya juga akan menikah sebaiknya Ilham manfaatkan waktu sebaik-baiknya mulai sekarang.

"Ilham kena-"

"Maafin gue, harusnya gue yang nolong lo tadi," potong Ilham cepat.

Gadis itu tersenyum lembut seperti biasanya. "Gapapa, aku ngerti Ilham."

"Gue bodoh banget ya Al? Lo itu calon istri gue, harusnya gue yang lindungin lo bukan Erik."

Alya sedikit terkejut dengan pengakuan Ilham, dengan santai cowok itu mengatakan bahwa dia adalah calon istrinya. Andai saja Alya sembuh sekarang, dia pasti sudah loncat-loncat kegirangan.

"Lo boleh marah sama gue Al," ujar Ilham membuyarkan lamunannya.

"Gimana bisa aku marah sama orang yang aku sayang, malah aku seneng kalo sekarang Ilham peduli sama Alya," balasnya.

Ilham tidak tahu mengapa saat ini dia ingin menangis, dia ingin meminta maaf untuk segala hal yang sudah dilakukannya selama ini. Ilham sudah jahat pada gadis itu, tapi bisa-bisanya dia masih tetap bisa tersenyum padanya.

"Gue minta maaf Alya, selama ini gue udah kasar sama lo, gue selalu menyangkal perasaan gue ke lo, gue sadar ternyata selama ini gue sayang sama lo."

Alya terkesiap dengan penuturannya, apakah Alya tidak bermimpi?

"Al, lo mau bangun hubungan sama gue dari awal? Gue janji bakal jagain lo, gue gak mau lo disentuh sama cowok manapun termasuk Erik sepupu lo," ujar Ilham dengan penuh kesungguhan dimatanya.

"Gak!"

"Alya, lo yak-"

"Gak bisa nolak maksudnya." Alya terkekeh melihat wajah sedih Ilham.

"Gak lucu ya!" Ilham mencubit hidung Alya singkat.

Alya menekuk wajahnya. "Sakit tau!"

"Siapa suruh ngeselin!" balas Ilham.

Cowok itu sekarang lebih terasa hangat, bahkan sekarang mereka berbicara santai tidak seperti sebelumnya.

"Sebenernya kamu sakit apa Al?"

Alya terkikik geli mendengar kata 'kamu' yang keluar dari mulut Ilham.

"Kok ketawa?" kesal cowok itu.

"Haha, habisnya tiba-tiba ganti panggilan jadi 'aku' 'kamu', berasa aneh banget tau!" jawab Alya.

Ilham mendengus. "Ya udah gak lagi!"

Alya semakin mengencangkan tawanya hingga tawa itu reda karena suara pintu yang nyaring.

Brakkk

"Alya kamu gapapa kan sayang?"

Alya memutar bola matanya malas, momen kebersamaan dengan Ilham jadi sirna karena kedatangan ayahnya.

Ilham terpaksa melepaskan genggamannya kemudian mundur ke belakang untuk mempersilakan Aryan melihat putrinya dari dekat.

"Alya gapapa kan? Ada yang sakit? Atau ada yang-"

Alya berdecak memotong ucapan Aryan. "Ck, Alya gapapa, nih lihat sehat-sehat aja kan?"

Heran, entah mengapa ayahnya jadi selebay ini, entah racun apa yang diberikan oleh ibu tirinya sehingga membuat ayahnya over dosis seperti ini.

Aryan mengusap pucuk kepala putrinya. "Ayah takut kamu kenapa-kenapa Alya."

Alya tersenyum pada Aryan. "Alya gapapa Yah, beneran deh. Dokter aja udah bolehin Alya pulang sore ini."

"Syukur kalo kamu gapapa, Ayah takut banget kehilangan kamu Alya."

Tatapan itu adalah tatapan yang persis seperti satu tahun yang lalu ketika ayahnya memutuskan untuk bercerai dengan ibunya. Tatapan sebelum seorang Dinda dan Devan masuk ke dalam hidupnya.

"Alya akan tinggal sama Ayah, karena kamu adalah putri Ayah satu-satunya," ujar Aryan sambil mengusap pelan kepala putrinya.

Alya yang baru pulang dari sekolahnya menatap bingung, karena sedari pagi ibu dan ayahnya baik-baik saja, tapi kenapa tiba-tiba mereka mengatakan akan berpisah.

"Kenapa Alya gak boleh ikut Ibu?" tanya Alya sambil menatap ke arah Nirmala yang sudah berdiri di depan pintu dengan dua buah koper besar.

Nirmala menatap datar putrinya, tidak ada senyum seperti tadi pagi. "Saya sudah lelah berpura-pura menjadi Ibu yang baik untuk kamu."

"Nirmala! kamu gila? kenapa kamu bilang seperti itu? Alya ini anak kandung kamu!" sentak Aryan tak terima dengan perkataan yang bisa menyakiti putrinya.

Alya yang duduk di bangku tiga smp hanya mematung dengan air mata yang sudah turun. Menyadari satu hal yang menyakitkan karena selama ini dia hanya menjadi beban untuk ibunya.

"Seandainya waktu bisa diulang, aku gak pernah mau punya anak dari kamu Aryan! Aku nyesel nikah sama kamu!" bentak Nirmala.

Wanita itu melenggang pergi meninggalkan halaman rumah Alya, tanpa penjelasan ataupun kecupan singkat perpisahan untuk putrinya yang sedang menangis tanpa suara.

"Alya kamu gapapa? maafin Ayah yah, gak bisa buat sebuah keluarga yang indah seperti teman-teman kamu di sekolah," ujar Aryan sambil menunduk menatap putrinya yang masih menangis sambil melihat jejak bayangan ibunya.

Setelah sekian lama terdiam akhirnya Alya bersuara dengan mata yang masih terfokus ke arah gerbang rumahnya, berharap Ibunya tidak benar-benar pergi. "Alya udah jadi anak nakal ya? makanya Ibu ninggalin Alya?" tanyanya.

Aryan menggeleng. "Enggak, kamu anak yang baik makanya Ayah sayang sama Alya. Ibu cuma udah capek sama Ayah makanya dia pergi."

Aryan memeluk tubuh Alya yang masih diam tanpa isakan apapun padahal air matanya sedang mengalir deras. "Ayah sayang banget sama Alya, jangan pernah tinggalin Ayah walaupun suatu saat nanti Ayah bikin kesalahan yang besar buat kamu," bisik Aryan di telinga putrinya.

Tes...

Satu tetes air turun mengenai pipinya kemudian diikuti oleh tetesan lainnya.

"Alya kamu kenapa?" tanya Aryan panik melihat putrinya tiba-tiba menangis.

Ilham pun segera mendekat pada Alya, dia ikutan panik. "Alya ada yang sakit? atau kamu lapar? haus? mau-"

"Alya mau pulang."

Aryan mengelus pucuk kepala putrinya lalu mengecupnya singkat. "Ya sudah, Ayah urus dulu kepulangan kamu ya, biar kamu bisa istirahat di rumah. Udah jangan nangis," ujar Aryan.

Setelah itu Aryan pergi menyisakan Ilham yang kembali menggenggam tangan Alya.

"Kamu beneran gapapa Al?" tanya Ilham lembut.

Alya menatap lurus ke depan, dia mengabaikan tatapan khawatir dari Ilham. "Aku mau pulang."

"Iya bentar lagi kita pul-"

"Pulang ke rumah yang katanya adalah tempat pulang."

You My Bucin [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang