48. Marah

110 5 0
                                    

"Udah gue bilang, lo jangan biarin pacar lo deket sama tuh cewek."

Alya berdiri sejauh lima meter dari keberadaan Ilham dan gadis bernama Nara itu. Dia sedikit kesal melihat kedekatan keduanya apalagi Resta dari tadi terus mengomporinya.

"Al, masa lo biarin aja sih?" Resta berdecak melihat sahabatnya yang hanya diam tanpa mengambil tindakan apapun. "Apa harus gue yang jambak rambut tuh cewek?"

"Gak usah ikut campur Res, biarin aja," ujar Alya.

"Lo kenapa sih?"

Alya menggeleng lalu menuntun Resta menuju gerbang sekolah. Dia tidak mau berlama-lama memandangi sepasang sahabat itu, lebih baik dia membiarkannya saja.

"Alya, kenapa malah pulang? Kenapa lo gak labrak si Nara sih?" Resta gemas sekali dengan sikap sahabatnya yang sekarang.

"Gue capek, mau pulang."

Keberuntungan berpihak pada kedua gadis itu, baru saja sampai di depan halte sebuah bus berhenti didepan mereka, tanpa pikir panjang keduanya memasuki bus.

Alya memilih duduk dekat dengan jendela karena dia senang melihat kegiatan yang dilakukan warga kota di sore hari.

Sedangkan Resta saat ini sedang menatap kearahnya kesal. Gadis itu menyandarkan punggungnya lantas menutup matanya. "Gue bingung sama lo Al, pas sama Nara lo gak ngelakuin apapun, sedangkan pas si Melya deketin Ilham lo malah ngibarin bendera perang."

Resta mengucapkan itu kepalang kesal, seumur-umur bersahabat dengan Alya baru kali ini gadis itu tidak melawan. Bahkan dia membiarkan Ilham bersama dengan anak baru itu selama tiga hari.

Ya, tiga hari berlalu, semenjak gadis itu datang Ilham sudah tidak lagi mengantar jemput Alya, bahkan katanya Ilham tidak mengubungi Alya meski hanya sebatas menanyakan kabar. Itulah alasan mengapa Resta terus mendorong Alya agar melabrak anak baru itu.

"Alya, kok lo gak nyahut sih?" Dia membuka matanya. "Alya! Lo denger-"

"Pak berhenti disini aja ya," ujar Alya sedikit berteriak.

Resta mengerutkan keningnya. "Lo mau kemana?"

"Gue mau ke minimarket dulu, baru inget tadi bunda nitip sesuatu," ujar Alya berbohong.

Gadis itu tersenyum meyakinkan sahabatnya. "Udah ya gue duluan, bye Res, hati-hati lo di culik om-om,"  ucap Alya sambil berlalu pergi keluar dari dalam bus.

Resta benar-benar dibuat kesal hari ini, entah harus bagaimana lagi agar dia mau terbuka padanya. Resta merasa sahabatnya menyembunyikan sesuatu yang besar darinya, senyum itu seperti sebuah topeng dan dia ingin segera membukanya.

*****

Langkah kakinya membawa ke sebuah tempat dimana orang-orang sakit dirawat. Sebenarnya dia tidak mau singgah ke tempat ini namun karena obatnya habis mau tak mau dia harus datang dan menemui dokter menyebalkan, siapa lagi kalau bukan Vian sepupunya.

Alya berjalan tanpa bertanya, semua ini bukti bahwa dirinya sudah tidak asing dengan tempat ini, dia sudah tidak bingung dengan belokan rumah sakit yang dulu sempat membuatnya pusing, bahkan keadaan Vian pun dia sekarang tahu betul, dokter itu pasti sedang istirahat diruangannya karena ini sudah jam lima sore.

Brakk

Alya membuka pintu bercat coklat itu dengan keras, sang pemilik ruangan sepertinya sudah terbiasa dengan tindakan barusan terlihat dari wajahnya yang biasa-biasa saja.

"Tidak bisa sopan sedikit?" tanya Vian dengan wajah datar.

Tanpa menjawab Alya duduk di depannya kemudian berkata, "Obatnya abis, mau minta lagi."

"Obat sudah tidak mempan buat kamu Al."

"Terus? Gue harus ngapain? Gali kuburan mulai hari ini?"

Vian menghela napasnya, dia menatap sepupunya dengan serius. "Kita harus lakukan operasi Al, itu satu-satunya cara agar penyakit kamu sembuh."

Alya terkekeh mendengar ucapan Vian, "Sekaya apa emangnya gue? Yakali ngelakuin operasi, buat kemoterapi aja uang tabungan gue mau abis!"

Selama ini Alya membayar pengobatannya dengan uang tabungannya sendiri. Dia mengumpulkan sisa uang jajan serta uang pemberian dari saudara-saudaranya, Alya melakukan itu untuk berjaga-jaga takut ayahnya jatuh miskin. Namun ternyata sebelum itu terjadi uangnya sudah habis duluan.

"Saya akan bilang sama om Aryan, jadi kamu tidak perlu khawatir."

Alya melotot, sepupunya benar-benar manusia paling menyebalkan yang ada di dunia. "Dokter jangan macem-macem ya! Ini Alya udah tutupin semuanya malah mau dibongkat begitu aja, tega banget!"

"Kamu yang tega Al, gimana perasaan mereka kalo kamu-"

"Kalo gue meninggal?"

Vian terdiam, bahunya merosot turun mendengar ucapannya.

"Kalo gue meninggal mereka gak bakal kehilangan kok, lagian ayah punya Devan, dia bakalan lanjutin perusahaannya," ucap Alya, dia menghela napasnya sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. "Ibu, dia juga gak bakalan kehilangan karena pada awalnya juga gue ini bukan anak yang diinginkan."

Vian menatap tak suka dengan ucapan terakhir yang dikatakan Alya, "Itu gak benar, tante Nirma bersyukur-"

"Bersyukur sampai buat dia jadi hilang akal?" Alya memotong ucapannya.

"Al, bukan begitu," ucap Vian dengan wajah sendu.

Alya menundukkan kepalanya, ucapan itu menghantuinya seakan menekankan bahwa hidupnya itu adalah suatu kesalahan dan sebuah penderitaan untuk orang lain.

Padahal Alya tidak pernah meminta untuk dilahirkan, dia bahkan tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi diantara orang tuanya.

"Alya, kamu gapapa?" tanya Vian khawatir.

Alya menggeleng pelan, "Alya gapapa, cuma ngerasa jadi orang jahat aja." Dia menegakkan tubuhnya kemudian tersenyum. "Ibu pernah bilang kalo Alya itu bikin hidupnya menderita, gak pantes banget kan orang kayak gue hidup?"

Vian berdiri, dia hendak memeluk sepupunya untuk memberikan sebuah ketenangan namun Alya refleks memundurkan tubuhnya. "Kenapa?" tanya Vian.

"Gak usah peluk gue, gue udah punya pacar!" ketus Alya.

"Kamu ini masih sma, gak usah pacaran!" Vian kembali duduk dengan perasaan kesal.

"Kimi ini misih isimi, bilang aja dokter suka sama sepupu sendiri!"

Vian melotot galak pada Alya, "Heh! Saya ini walaupun jomblo gak mungkin saya suka sama sepupu sendiri, apalagi modelan kayak kamu!"

"Dih malah curhat."

Karena kesal, Vian pada akhirnya berdiri dan berjalan keluar dari ruangannya.

"Oy! Dokter ngeselin! Ini obat gue gimana?" teriak Alya.

Brakkk
Alya terlonjak kaget akibat suara pintu yang dibanting oleh sepupu laknatnya itu.

Dia mengusap dadanya pelan. "Huh, untung gue gak sakit jantung."

Beberapa detik berlalu, Alya kemudian tertawa melihat wajah marah sepupunya. Baru kali ini dia melihat seorang Vian marah padanya, biasanya cowok itu hanya akan berwajah datar atau tersenyum ramah dan jangan lupakan wajah ibanya.

Namun saat ini Alya begitu senang melihat kekesalan yang tercetak jelas diwajahnya, dia menyunggingkan senyum. "Gue seneng lihat lo marah kak Vian, kalaupun besok gue gak ada, gue gak nyesel karena udah lihat gimana wajah lo kalo marah"

You My Bucin [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang