37. Demam

167 3 0
                                    

Dinda melangkahkan kakinya ke arah kamar putrinya, tangannya tergerak untuk mengetuk pintu kamarnya karena hari sudah siang. Memang sangat jarang sekali Alya bangun kesiangan apalagi Dinda sampai harus membangunnya seperti ini.

tok... tok... tok...
Tidak ada sahutan. Biasanya saat Dinda mengetuk pintu, putri tirinya akan langsung membuka pintu karena takut jika dia masuk ke kamarnya.

"Apa aku masuk aja ya?" Dinda bergumam.

Pada akhirnya setelah beberapa menit terdiam wanita itu memberanikan diri memutar knop pintu dan dilihatnya seorang gadis cantik sedang terbaring dengan badan yang mengigigil dibalut selimut bermotif bebek.

Dinda langsung berlari mengecek suhu tubuh putrinya,  panas. "Alya, kamu demam sayang?"

Alya tidak merespon, gadis itu masih menutup matanya namun telinganya mendengar dengan jelas betapa khawatirnya ibu sambungnya saat ini.

"Bunda bawa kamu ke rumah sakit ya," tawar Dinda yang langsung dibalas gelengan oleh Alya.

Mata Dinda berkaca-kaca, dia takut terjadi sesuatu yang buruk pada putrinya. "Ya sudah biar Bunda rawat kamu di rumah saja ya, sebentar bunda ambilkan dulu air hangat."

Dinda keluar dari kamar Alya tanpa menutup pintunya. Gadis itu menatap kepergian ibu sambungnya dengan senyum simpul.

"I-ibu, Alya kangen."

Beralih pada Dinda yang sedang panik, gerak gerik wanita itu tak luput dari dua orang laki-laki yang duduk anteng di meja makan.

"Bunda kenapa? kok panik begitu?" tanya Devan yang melihat ibunya membawa sebuah baskom berisi air dan juga handuk kecil.

"Siapa yang demam?" tambah Aryan.

"Alya demam makanya aku panik banget, ini aku mau kompres dia dulu," jawab Dinda lantas pergi meninggalkan kedua laki-laki itu.

Selepas kepergian Dinda, pria berumur 40an itu bangkit dan menyusul istrinya begitu pula dengan Devan yang langsung menghentikan acara sarapannya dan ikut dengan Aryan.

Kedua laki-laki itu diam diambang pintu memperhatikan Dinda yang telaten mengompres Alya. Tidak ada penolakan seperti biasa dari gadis itu, dia hanya pasrah dengan perlakuan yang diberikan oleh ibu sambungnya.

"Pagi ini adem banget ya Yah," bisik Devan.

"Iya, kayaknya ini mimpi deh," balas Aryan tanpa memindahkan atensinya pada yang lain. Dia fokus melihat kejadian yang sangat langka di rumahnya.

"Tumben ya, Alya gak nolak kehadiran Bunda." Devan tersenyum tipis melihat kejadian di depannya. "Semoga aja setelah sembuh Alya, dia bisa menerima kehadiran Bunda sama seperti saat ini."

Aryan mengangguk sambil tersenyum, semoga Tuhan mengabulkan keinginan mereka untuk menjadi keluarga yang bahagia, meski dia tahu Alya akan sangat keberatan karena seharusnya Nirmala lah yang ada disampingnya bukan Dinda.

Tapi, semoga saja ada suatu keajaiban yang membuat Alya menerima tulisan takdirnya.

"Kamu gak sekolah Van?" tanya Aryan tiba-tiba membuat Devan panik.

"Astaga Devan lupa Yah!" Devan mencium punggung tangan Aryan. "Devan sekolah dulu ya, assalamu'alaikum."

Cowok itu berlari menjauh dari kamar Alya, Aryan hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah putranya yang pelupa.

Dibalik keributan itu ada Alya yang sedang menyimak dengan pendengarannya yang tajam, seandainya gadis itu sedang sembuh mungkin dia akan mencibir ayah dan kakak tirinya itu.

"Kamu tunggu sebentar ya, bunda buatkan bubur dulu untuk kamu," ujar Dinda lembut seraya mengusap puncak kepala Alya.

Setelah itu Dinda benar-benar pergi dari kamarnya dengan Aryan yang sudah duluan kabur takut ketahuan oleh istrinya.

Perlahan Alya membuka matanya, tubuhnya terasa jauh lebih baik dari sebelumnya meski masih merasakan dingin dan lemas, tapi rasa sakit dikepalanya mulai menghilang. Alya harus berterimakasih nanti pada Dinda, hmm atau mungkin tidak.

"Kenapa dia baik? harusnya ibu tiri itu jahat," gumam Alya.

Matanya melihat ke dinding langit kamarnya, suasana ini mengingatkannya pada Nirmala. Dia ingin memeluk ibunya, bercerita bagaimana dia tumbuh, juga dia ingin membicarakan tentang Ilham. Tapi semua harapannya itu seperti sebuah fiksi yang tidak mungkin terjadi, Nirmala begitu membencinya seolah dia tidak pernah memperlakukan Alya sebagai putri yang dia sayang.

"Alya, makan dulu yuk. Bunda suapin," ujar Dinda yang sudah kembali dengan semangkuk bubur dan segelas air putih hangat.

Dinda membantu Alya untuk duduk dan gadis itu tidak mengatakan apapun, dia hanya menurut ketika Dinda memberikan sendok berisi bubur dengan taburan bawang goreng di atasnya.

"Alya pinter banget mau habisin buburnya." Dinda tersenyum senang ketika mangkuk yang penuh itu kosong.

Sekarang Dinda memberikan sebutir obat dan juga air putih pada Alya, namun gadis itu hanya menerima airnya saja tidak dengan obatnya.

"Kenapa?" tanya Dinda.

"Di laci," jawab Alya.

Dinda mengerutkan keningnya tidak mengerti.

"Obatnya ada di laci," ujarnya diperjelas.

Dia menurut lalu membuka laci nakas yang membuat Dinda membelalakan matanya. Begitu banyak jenis obat disana, entah obat apa itu yang jelas pasti Alya sudah sering mengkonsumsinya.

"Jangan kepo, itu cuma persiapan takut sakit," ujar Alya ketus ketika melihat wajah kaget ibu sambungnya. "Sini biar Alya yang liat, Bunda gak bakalan tau obatnya."

Dinda terkesiap ketika Alya menyebutnya dengan panggilan 'bunda', ada perasaan senang yang menjalar dihatinya, sepertinya dia berhasil menyentuh hati Alya meskipun sedikit.

"Alya kamu cuma demam kenapa kamu sampai minum lima jenis obat?" tanya Dinda syok melihat sekumpulan obat putih di telapak tangan Alya.

Tidak menjawab, Alya langsung menelan habis semua obat itu sekali minum hingga air digelas itu tandas. "Bunda jangan bilang apapun sama Ayah, dan Bunda juga gak usah mau tahu obat apa yang Alya minum," tuturnya.

"Kenapa Bunda gak boleh tahu obat apa yang kamu minum?" tanyanya sedih.

"Karena Alya gak mau kalian tau!"

Dinda mengambil gelas yang ada di tangan Alya kemudian meletakannya dinakas, wanita itu menggenggam tangan Alya lantas menatap netranya dengan lembut berharap gadis itu mau jujur padanya.

"Alya, Bunda itu sayang sama kamu, Bunda gak mau sampai kamu kenapa-kenapa, jangan ada hal yang kamu rahasiakan dari Bunda dan Ayah apalagi menyangkut kesehatan kamu."

Mata Alya memanas, dia menangis dalam diam.

"Ada yang sakit Al, atau-"

"Kenapa? kenapa harus baik sama Alya?" Gadis itu terisak, menatap Dinda dengan mata berair. "Jangan baik sama Alya, jangan sayang sama Alya, a-aku takut."

Dinda membawa tubuh putrinya dalam dekapannya, dia mengelus punggung Alya berusaha untuk menenangkan. "Kamu jangan takut, Bunda akan selalu sama Alya."

"Enggak! jangan bilang kayak gitu, Alya gak mau, Alya makin takut!" jeritnya, tanpa melepaskan pelukannya.

Tak apa, hanya untuk hari ini saja Alya ingin merasakan pelukan seorang ibu, meskipun dia masih membenci Dinda, ibu sambungnya.

You My Bucin [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang