46. Teman lama

92 2 0
                                    

Sebuah bibir tipis berbalut lipstik berwarna peach itu terbuka memanggil pelayan cafe.

Seorang waiter mendekatinya menawarkan beberapa menu spesial yang sering dipesan, namun gadis itu sama sekali tidak tertarik, dia malah meminta sesuatu yang membuat orang itu mengernyitkan dahinya.

"Bisa tolong panggil Naumi?" tanyanya sambil tersenyum manis.

"Hah? Naumi? Maaf mbak, disini tidak ada yang namanya Naumi," balas waiter itu.

Gadis itu berdecak, "Ada yang namanya Amelya Daisy Naumira? Saya ingin bicara dengan dia," jelasnya.

Waiter itu menatapnya sebal, dia pikir gadis ini akan memesan sesuatu setelah sekian lama duduk disana tanpa memesan apapun.

"Hei, kamu tuli ya? Kamu denger apa yang saya bilang gak?"

Waiter itu berdecak, "Ck iya, akan saya panggilkan."

Pada akhirnya dia pasrah dan memilih untuk memanggil seseorang yang dipinta gadis aneh itu. Sedangkan gadis berbibir tipis itu sedang menggerutu, "Jadi pelayan kok gak ada sopan-sopannya, gak tau apa kalo gue ini orang kaya!"

Beralih pada waiter tadi, dia dengan kesal memanggil Melya yang sedang berjongkok sambil memainkan ponselnya disebelah cucian piring kotor.

"Heh Mel! Jangan main hp terus napa, tuh ada orang yang nyariin lo, gue kesel banget, gue kira tuh cewek mau mesen eh taunya minta dipanggilin doang," jelasnya merasa dongkol karena dipermainkan oleh tamu.

Melya mendelik menatapnya, "Nyariin gue? Cewek?"

Dia mengangguk, "iya, cewek bukan cowok!"

"Siapa? Emangnya gue kenal?"

"Kok jadi nanya ke gue?  mana gue taulah gila kali lo!" Dia berkacak pinggang sambil menatap gadis itu galak. "Udah sana samperin, jangan kerja males-malesan, gue pukul nih!"

Melya berdecak sebal, "iya, iya, bawel banget mulut lo kayak cewek!"

Akhirnya gadis itu pasrah dan memasukkan ponselnya kedalam saku celananya.

Dengan malas dia berjalan menuju meja yang dimaksud temannya, dia menyipitkan matanya menatap seorang gadis berkacamata hitam, berambut panjang, dengan tubuh yang dibalut sebuah dress putih selutut bermotif bunga daisy. Dia rasa pernah melihat gadis itu, tapi dimana?

"Selamat siang nona, anda memanggil saya?" tanya Melya ramah.

Gadis itu melepaskan kacamatanya membuat Melya membuka mulutnya.

"Clarissa!"

"Yes, this me! How are you baby?"

Melya memeluk sahabat lamanya dengan senang, rasanya seperti mimpi bisa kembali memeluk teman sdnya.

Setelah beberapa waktu berlalu mereka melepaskan pelukannya, kini Melya duduk  dihadapan gadis itu sambil tersenyum.

"Sumpah ini lo Ris?" tanya Melya masih tidak percaya.

Gadis itu mengangguk, "Ya, seperti yang lo lihat, gue ada disini."

"Wah, udah gak betah lo tinggal dirumah nenek lo?"

Clarissa terkekeh mendengar pertanyaan teman lamanya, "Iya, gue bosen banget tau disana, gue gak punya temen yang asik kayak lo soalnya."

"Gue yakin lo boong, soalnya gue lihat instastory lo tuh ngemall bareng temen baru lo terus," balas Melya.

"Ya, lo juga pasti punya lah temen baru iyakan?"

Melya mengangguk, "Yap, gue seneng walaupun cuma punya satu temen."

Clarissa tersenyum manis, tidak ada tanda-tanda dia akan membalas ucapannya hingga pada akhirnya gadis itu harus kembali bersuara.

"Eh, kok lo bisa tahu kalo gue kerja disini?" tanya Melya penasaran.

"Lo lupa? Gue pemilik restoran ini."

Dia menganga lebar, selama ini Melya tidak tahu kalau pemilik aslinya adalah sahabatnya sendiri, pantas saja dia tidak dipecat meskipun beberapa kali melakukan kesalahan.

"Iya, gue yang nyuruh nyonya Keila buat gak pecat lo dan juga temen lo si waiter tengil itu," ujar Clarissa membuat Melya semakin terkejut.

"Kok lo bisa tahu kalo dia temen gue?"

"Gue tahu segala hal tentang lo Mel, lo lupa kalo mata gue banyak hmm?"

Benar, Melya lupa sesuatu. Clarissa adalah seorang anak tunggal kaya raya, apapun yang diinginkannya pasti akan tercapai bahkan jika dia meminta bulan sekalipun. Entah apa yang membuat gadis itu kembali ke tanah kelahirannya, entah apa yang diinginkannya, Melya tidak tahu.

"Kok lo bengong?"

"Ha-hah? Enggak, gue cuma banyak pikiran aja," balas Melya kikuk.

Dia sedikit malu sebenarnya bersahabat dengan gadis ini, namun mau bagaimana lagi hanya Melya yang tahu sifat asli dibalik wajah manisnya itu.

"Gue tahu kok apa yang lo pikirin Mel, dan ya pikiran lo itu benar."

Melya menaikan alisnya, "Apa? Lo mau ngapain sekarang?"

"Gue butuh bantuan lo, gampang kok." Clarissa tersenyum manis sambil melipat kedua tangannya dimeja. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan kemudian berbisik, "Gue mau ambil apa yang emang harusnya milik gue, dan lo pasti tahu itu."

Gadis itu ikut tersenyum, sepertinya kini hidupnya tidak akan terlalu menyedihkan karena Clarissa datang kembali padanya. Dia tak apa menjadi seorang babu untuk gadis itu, asalkan apa yang diinginkannya terkabulkan.

"Gue paham, sangat paham," ujar Melya.

Clarissa mengetuk meja kayu dengan jarinya, "Jadi hal besar apa yang akan kita lakukan terlebih dulu?"

"Sebelum kita masuk memainkan drama ini, sepertinya kita harus menulis kerangkanya terlebih dulu agar endingnya sesuai dengan apa yang kita inginkan," ujar Melya sambil tersenyum.

"Tapi Mel, gue lebih suka alur yang mengalir tanpa berpatokan dengan kerangka cerita."

"Tapi dengan keluar jalur cerita itu juga bakal ngerusak endingnya Ris."

"No, gue gak bakalan tetap bikin ending yang sama namun dengan perjalanan yang berbeda."

Harus Melya akui dalam hal berpikir Clarissa memang sangat jago dan liar, dia bahkan bisa mengetahui seluk beluk tentangnya dan juga Angga, padahal gadis itu tidak ada dikota yang sama.

Mungkin Clarissa ingin membuat dirinya dan Angga menjadi bidak dalam permainannya, mau bagaimanapun dirinya tidak akan bisa berjalan mundur jika sudah berurusan dengan Clarissa. Saat ini Melya hanya harus pasrah dengan jalan hidupnya.

"Jadi apa kita akan mulai dengan prolog yang halus atau kasar?" tanyanya dengan seringai tipis diwajahnya.

"Lo selalu bermain halus Clarissa, dan segala tujuan lo itu pasti akan tercapai," jawab Melya.

Gadis itu kembali terkekeh, Melya ini sangat lucu baginya. Clarissa tidak menyangka sahabatnya ini masih tetap sama seperti dulu, penakut dan bodoh. Ya, Melya itu bodoh, gadis menyedihkan yang dia rangkul ketika kecil. Clarissa harap gadis itu berguna untuknya, jangan lupakan waiter sialan itu, Clarissa juga membutuhkannya.

"Clarissa, kita akan mulai kapan?" tanya Melya yang tak sabar ingin segera membuat keributan.

"Hmm, tunggu waktunya aja, nanti gue kasih tahu."

Melya mengangguk, "Oke, kalo gitu lo mau pesen apa Ris? Biar gue yang siapin spesial buat lo," ujarnya.

Clarissa tersenyum manis. "Gue gak mau apa-apa, gue juga mau pulang kok, gue cuma butuh lo."

You My Bucin [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang