39. minus

125 2 0
                                    

Malam ini harusnya Ilham menemani Alya yang sedang terbaring sakit, tapi dengan bodohnya dia malah menuruti permintaan si gadis sinting yang memaksa menjadi pacarnya tadi siang.

Saat ini Ilham sedang duduk di sofa sambil berhadapan dengan seorang wanita berumur 40an yang sedang tersenyum ramah padanya.

"Kamu pacarnya Amel?" tanya wanita itu.

Cowok itu terpaksa menganggukkan kepalanya. Melya atau Amelya, nama itu sama-sama merepotkannya, bisa-bisanya gadis itu meminta Ilham datang ke rumahnya untuk menemui ibu dari gadis itu. Dia bilang ibunya sangat ingin kalau putrinya itu mempunyai pacar.

Sebenarnya dia malas menuruti permintaannya yang sangat tidak masuk akal, namun sangat jelas jika gadis itu pasti akan mengancamnya. Ilham tidak bisa melakukan apa-apa.

"Rasanya saya pernah lihat kamu, tapi dimana ya?"

"Di televisi Bu, dia anak ceo terkenal itu loh," sahut Melya yang duduk disamping ibunya.

Wanita itu terlihat sedang mengingat-ingat nama ceo yang dimaksud putrinya, hingga satu nama muncul dibenaknya. "Kamu anak Zayn?"

Melya merengut kesal, ibunya sangat tidak sopan padahal tadi dia sudah mengajari ibunya agar memakai kata 'tuan' terlebih dulu. "Bu, ayahnya itu ceo besar, ibu gak boleh panggil nama langsung kayak gitu," peringatnya.

Ilham berdecih, mengapa gadis itu begitu menghargai orang lain tapi dia tidak menghargai orang tuanya sendiri. Mungkin karena wanita ini hanya ibu angkat? Tapi harusnya Melya bersyukur karena masih ada manusia baik yang mau merawat gadis aneh sepertinya.

Cowok itu menyanggah perkataan Melya."Papa saya sama seperti Tante jadi tidak apa kalau misalnya Tante nyaman panggil Papa saya dengan namanya langsung."

Wanita itu tersenyum. "Ya, lagipula Zayn itu kakak kelas saya dulu, dia sangat pintar pantas saat ini dia menjadi ceo yang sukses."

Ilham terkejut, dia baru tahu kalau ibunya Melya ternyata pernah satu sekolah dengan papanya.

"Ibu beneran pernah satu sekolah sama tuan Zayn?" tanya Melya tak percaya.

"Iya, kalau tidak salah dulu Zayn punya sahabat namanya Rayna."

"Dia ibu saya Tan," ujar Ilham.

Wajah wanita itu berubah sendu, namun sedetik kemudian dia kembali memasang wajah seperti sebelumnya."Ah, ternyata dia bahagia dengan teman masa kecilnya ya, baguslah, Tante ikut bahagia."

Ilham memperhatikan wanita yang mulai beruban itu, dia merasa pernah melihat senyum itu sebelumnya tapi entah dimana dan kapan.

"Amel itu sebenarnya punya adik," celetuk wanita itu tiba-tiba membuat Melya membuka matanya lebar.

Gadis itu mengusap bahu ibunya dengan wajah yang dibuat sedih. "Ibu jangan inget dia lagi, dia udah gak ad-"

"Dia masih hidup Amel! kenapa kamu selalu menganggap dia sudah meninggal?" bentaknya.

Melya menatap ibunya sebal namun dia masih mempertahankan wajah sedihnya agar Ilham tidak curiga padanya.

Dia menggenggam tangan ibunya erat. "Udah Bu, aku tahu Ibu sayang sama dia, tapi tolong ikhlasin dia, dia sudah tenang disana Bu."

Wanita itu mendelik tajam lalu berteriak, "Tidak Amel! Saudaramu itu masih hidup! Ibu ingin bertemu dia!"

*****

"Udah enakan Al?"

Aryan mengusap pelan pucuk kepala putrinya, saat ini Alya sudah mulai bisa duduk santai disofa ruang keluarga. Siang tadi demamnya turun dan sore hari dia sudah mulai bisa makan dengan lahap, apalagi makan dengan rendang kesukaannya.

Entah Dinda bertanya pada Aryan mengenai makanan kesukaannya, atau memang ayahnya sendiri yang memberitahu pada ibu tirinya agar dia bisa lebih dekat dengan Alya. Sebenarnya dia tidak peduli, Alya masih seperti biasanya, namun tidak secuek dulu. Mungkin Ilham benar, dia pelan-pelan harus berdamai dengan takdirnya.

"Alya, kamu udah mendingan?" ulang Aryan.

"Pasti udahlah Yah, masa iya orang sakit makan sampe nambah dua piring," sahut Devan yang duduk dikarpet dekat ayahnya.

Alya mendelik tajam. "Diem lo! Kek gak suka aja liat orang sembuh."

"Lagian lo sakit bukannya berkurang napsu makan, malah menambah napsu makan, mending lo sembuh-sembuh aja deh daripada sakit yang ada nanti keluarga kita jadi miskin," jelas Devan panjang lebar.

Aryan yang merasa hawa panas mulai masuk ke rumahnya segera menengahi pertengkaran kedua anaknya itu.

"Gapapa dong Van, lagian harta Ayah ini gak bakalan habis cuma karena Alya makan nasi sebakul sama daging sekilo sendiri."

Ini namanya bukan menengahi, tapi menambah penistaan terhadap Alya.

Gadis itu menjauhkan dirinya dari Aryan. Dia kesal, entah mengapa makin hari makin menyebalkan saja dua orang itu.

"Ada yang ngambek tuh Yah," cibir Devan.

"Loh kok jadi Ayah? Bukannya kamu duluan Van?" belanya.

Alya beranjak dari sofa, gadis itu memilih untuk duduk di teras rumahnya saja sambil melihat bintang-bintang sambil nunggu Ilham. Siapa tahu kan? Cowok itu mau menjengul Alya, walaupun dia tahu ini sudah jam sembilan malam, mana mungkin cowok itu mau kerumahnya malam begini.

Bicara soal Ilham, sejak tadi sore cowok itu belum juga menghubungi Alya, bahkan pesan terakhirnya belum dibaca ataupun dibalas. Entah kemana, tapi hati Alya merasa tidak tenang.

Gadis itu mendongak menatap hamparan bintang dilangit, seakan dia mencari jawaban atas pertanyaan yang memenuhi benaknya. "Bintang, kalian lihat Ilham pacar Alya gak? kemana ya? kalau kalian tahu, kasih tahu Alya dong."

Dia mendesah pelan lalu kembali berkata, "Langit, kira-kira besok Alya masih bisa peluk orang yang Alya sayang gak? apa besok Alya masih bisa makan rendang buatan Bunda?"

Alya terkekeh kemudian menunduk. "Gue drama banget ya? kek orang yang mau mati deket aja." Dia bermonolog.

Setetes cairan bening jatuh mengenai telapak tangannya. "Gue cengeng banget sih, gimana coba kalo si Devan sialan itu liat gue mewek."

Entah mengapa akhir-akhir ini dia jadi lebih sensitif, dia tidak suka dengan dirinya yang sekarang. Terlalu terlihat lemah, dan dia jadi lebih merasa takut.

Dia menyedot ingusnya lalu menyeka air matanya, dia tersenyum menyemangati dirinya. "Ayo Alya, jangan lemah, kalau lemah nanti nenek sihir Melya bakal dengan mudah jatuhin lo."

Dia kembali terkekeh dengan air mata yang masih menetes, malah terasa semakin sesak rasanya ketika menyebutkan nama tadi. Sebaiknya Alya sekarang jangan memikirkan hal-hal yang bisa membuatnya sedih, cukup sampai disini kesedihan.

Tringgg...

Alya langsung menghapus jejak air matanya lalu tangannya bergerak mengambil ponsel yang bergetar disaku piyamanya.

Dahinya berkerut saat membukanya, pesan itu berisi sebuah foto wajah yang dipotret setengah, Alya tahu persis siapa orang yang ada didalam foto itu, tapi bagaimana bisa? apa dia harus percaya?

Melyanjing

Picture

Ayang lo gue ambil bentar ya. Gak lecet kok, tapi minus dikit.

You My Bucin [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang