77. Kalian saudara?

145 5 0
                                    

Aldian berdiri menatap malas pada sosok yang dikenalinya tengah menyered sebuah koper besar.

"Heh, mau ngapain lo kesini?" tanya Aldian tak bersahabat.

"Lo nanya?" sahutnya tak kalah ketus.

"Gak sopan, gue lebih tua dari lo!"

"Apa gue terlihat peduli? Enggak kan?"

Keduanya saling mentap sengit, sedangkan Devan menatap bingung pemandangan di depannya.

"Angga," seru Afwan dengan wajah berbinar.

Pria itu dengan cepat menuruni tangga kemudian langsung memeluk putranya erat.

"Akhirnya kamu mau ikut tinggal disini juga," ujarnya senang.

"Hehe iya pah,"

Aldian menatap tak percaya mendengar penuturan keduanya. Pasalnya setelah kepergian ibu mereka Angga sangat begitu membenci dirinya juga Afwan terlebih lagi pada ibu tirinya, sangat jelas bahwa tidak mungkin yang di depannya ini adalah Angga adiknya.

Iya, mereka itu bersaudara, namun karena perceraian kedua orang tuanya jadinya mereka terpisah. Afwan menikah lagi dengan seorang wanita kaya raya, sedangkan Angga tinggal bersama ibunya dan hidup susah.

"Lo bukan adek gue kan?" celetuk Aldian.

Bukkk
Afwan memukul belakang kepala putra sulungnya.

"Kamu ini, dia adik kamu!" tegur papanya.

"Mana mungkin dia Angga pah, kalo dia asli mana mungkin mau tinggal bareng kita," ungkap Aldian.

"Gue capek tau, lagian gue masih punya keluarga yakali gue hidup sendiri kayak anak buangan," sahut Angga.

"Dih, lo yang gak mau nimbrung padahal papah udah beberapa kali ngajak lo pindah setelah kepergian mamah,"

"Iya karena gue masih sedih, emangnya lo yang gak peduli sama nyokap,"

Aldian terdiam, hatinya cukup ngilu ketika adiknya mengatakan itu. Benar, dia tidak ada di samping ibunya karena dulu dia merasa bahwa ibunya yang bersalah karena telah meminta bercerai.

Andai waktu bisa di ulang, ingin rasanya dia menghabiskan banyak waktu dengan ibunya, sayangnya itu semua hanya inginnya karena sang ibu tidak akan kembali.

"Loh ada tamu?" tanya Thea sambil menggendong Raela yang di dahinya ditempeli plester kompres.

"Pah, kakak ini siapa?" tanya Raela dengan wajah bingung.

"Ini kakaknya Rael, namanya Angga,"

Gadis kecil itu memiringkan kepalanya menatap sang kakak.

"Loh, kakaknya Rael kan kak Aldian, memangnya aku punya berapa kakak sih pah?"

"Itu namanya kak Angga," ucap Thea sambil menunjuk ke arah cowok yang tersenyum sambil melambaikan tangan. "Dia juga kakaknya Rael, adiknya kak Aldian."

Wajah Raela seketika berubah senang. "Jadi aku punya dua kakak ganteng mah?"

Thea mengangguk sebagai jawaban.

"Hore! Jadi aku bisa main putri-putrian dong, kak Angga jadi pangerannya, kak Aldian jadi penjahatnya," seru Raela dengan semangat, gadis itu melupakan tubuhnya yang sedang sakit.

"Mana bisa begitu, kakak kan yang duluan, mana boleh jadi penjahat," protes Aldian.

"Biarin dong, Rael kan mau deket sama kakak barunya Rael, kak Aldian kan udah sering jadi pangeran jadi gantian ya,"

Mereka sibuk dengan pembahasan mengenai keluarga baru mereka hingga melupakan Devan yang sedari tadi menyimak dengan wajah bengong.

"Kalian saudara?" celetuknya membuat kelima orang itu menatapnya.

"Astaga, gue lupa kalo disini masih ada lo," sahut Aldian.

"Devan? Kamu sejak kapan disini?" timpal Afwan.

"Sejak tadi om sebelum Angga datang. Eh, kok saya baru tahu ya kalau Angga ini saudaranya Aldian," ucap Devan sambil menggaruk tengkuknya.

"Emang gue gak kenalin lo sama Angga, males ngakuin guenya, soalnya tuh anak rada absurd gitu," jawab Aldian.

Angga mendelik menatap kakaknya. "Gak punya kaca, padahal lo yang lebih absurd daripada gue."

"Bener apa yang dibilang sama kak Angga, kak Aldian itu gak jelas orangnya," tambah Raela mendukung kakak barunya.

Aldian mengelus dadanya pelan, "sabar Di, hidup lo emang penuh penistaan."

*****

Seorang gadis sedang menatapnya khawatir dan itu membuatnya merasa senang.

"Gimana keadaan lo?"

"Gue baik-baik aja kok Mel," jawab Alya dengan senyuman di wajahnya.

"Kenapa lo gak mau ngelakuin operasi? Gue mau kok donorin sumsum tulang gue ke lo,"

Alya menggeleng, "Gue gak mau, pasti nanti sakit."

"Lebih sakit sekarang lo bolak balik kesini terus minum obat, udah deh Al mending kita lakuin operasi ya," ucap Melya berusaha membujuk kembarannya.

"Pokoknya gak mau,"

"Lo gak mau nurutin permintaan kakak lo?"

"Lo aja belum bilang sama ayah kalo lo itu anaknya."

Gadis itu terdiam, dia memang belum memiliki keberanian untuk kembali berbicara pada Aryan, dia takut dan ragu. Takut keberadaannya hanya akan menjadi sebuah masalah, ragu jika Aryan akan menerimanya dan menyayanginya seperti dia menyayangi Alya.

"Ayo Mel cobain dulu, gue yakin kok ayah pasti bakalan terima lo," ujar Alya.

"Tapi lo harus janji kalau gue udah bilang semuanya, lo bakalan mau di operasi." Melya memberikan jari kelingking.

Alya menautkan jarinya sambil tersenyum senang, "janji!"

Keduanya kini terlihat seperti sepasang saudara yang harmonis.

Seandainya dari dulu Melya berkata jujur pada Aryan, apakah kehidupan mereka akan berubah? Apakah saat ini ibunya tidak perlu sakit serta mereka tidak perlu berpisah.

"Al, gue pulang dulu ya," ucap Melya.

"Kok sebentar sih?"

"Gue harus balik udah malem. Oh ya, besok lo gak usah sekolah mending lo diem disini takut penyakit lo kambuh,"

Alya merengut kesal. "Bawel banget lo udah kayak Ilham aja."

"Eh iya, cowok lo kemana? Kok gak nemenin lo?" tanyanya yang baru sadar akan ketidakhadiran orang itu.

"Dia lagi ada urusan jadi gue gak ada yang nemenin," jawabnya.

"Ayah sama tante Dinda kemana? Devan?"

"Bentar lagi mereka kesini kok, tenang aja Mel tanpa ditemenin merekapun besok gue masih hidup,"

Pletakk
Melya menyentil dahi Alya pelan.

"Shhh, gue lagi sakit loh ini kok lo malah nambahin," rutuknya sambil mengusap dahinya.

"Lagian mulut lo tuh, gak boleh ngomong kayak barusan lagi,"

"Ciee yang takut kembarannya meninggoy-- Eh! Malah marah, huh dasar ngambekan."

Melya yang kesal segera meninggalkan ruangan Alya, gadis itu mempercepat langkahnya takut jika Aryan menemukan dirinya sedang menjenguk anak kesayangannya.

Akhirnya dia bisa bernapas lega setelah keluar dari rumah sakit. Kini matanya teralihkan pada pekikan orang di seberang jalan, sepertinya terjadi sebuah kecelakaan. Karena Melya ini orangnya penasaran maka dia berlari mendekati kerumunan itu.

Gadis itu berusaha masuk meski harus berdesakan dengan beberapa orang, dia ingin tahu siapa korban tabrakan itu. Karena kegigihannya akhir dia sampai di jajaran paling depan dan dia bisa melihat bahwa korbannya itu adalah wanita paruh baya.

Tunggu, rasanya dia pernah melihat pakaiannya ini. Gadis itu dengan cepat membalikkan wajah wanita itu dan benar saja itu dia.

"Ibu! Jangan tinggaalin aku sendirian bu!

You My Bucin [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang