51. Bodyguard

190 5 0
                                        

Dinda memandangi putrinya yang sedari tadi hanya mengacak-acak makanannya tanpa mau menyuapkan kedalam mulut. "Masakan Bunda gak enak ya?" tanyanya.

Tidak ada respon dari gadis itu, dia sepertinya sedang melamun. Devan yang duduk disebelahnya menyenggol tangan gadis itu membuatnya seketika tersadar dan menatap kearah kakaknya penuh tanya.

"Itu Bunda nanya," balas Devan.

Alya mengalihkan matanya pada Dinda, wanita itu menatap khawatir padanya. Dia tersenyum sebagai tanda bahwa dia baik-baik saja. "Alya gapapa Bunda, masakannya enak kok cuma lagi gak mau makan aja."

"Alya berangkat duluan ya," ujarnya yang kemudian berdiri meninggalkan meja makan.

Devan juga menghentikan kegiatannya dan langsung menyusul Alya. Sedangkan sepasang suami itu saling berpandangan saling bertanya-tanya apa yang sedang terjadi diantara anak mereka.

Beralih kembali pada Alya yang sedang duduk di halte bus sendirian. Pandangannya kosong seakan tidak ada semangat hidup lagi dalam dirinya. Alya sama sekali tidak terusik dengan suara nyaring yang berasal dari motor sport Devan. Cowok itu turun dan ikut duduk di samping Alya.

"Lo kenapa ngelamun terus?" tanya Devan sambil memandanginya. "Gak usah mikirin soal kita Al, anggap aja gue kakak tiri lo dan-"

"Gue gak ngerti kenapa gue bisa ada di dunia ini," ujar Alya. Dia masih menatap kosong ke jalan dengan wajah datar. "Kenapa Tuhan kasih gue kehidupan kalau pada akhirnya kehadiran gue cuma nyakitin nyokap gue doang."

"Alya, lo gak boleh mikir-"

"Gue harusnya udah gak ada dari awal Van, mungkin kalo gue gak ada hidup lo dan bunda gak bakalan susah."

Devan menatap Alya sendu, dia tidak tahu sepedas apa ucapan yang keluar dari mulut ibunya hingga menorehkan luka yang begitu dalam di hati gadis itu.

"Kata Ibu, gue gak bawa keberuntungan, ayah tetap gak peduli sama dia dan tetap sayang sama bunda. Gue bukan anak yang bisa menyatukan-"

"Alya!" bentak Devan. Dia memegang bahu Alya membuat gadis itu menatapnya. "Denger gue Al. Perasaan itu gak bisa dipaksakan bahkan dengan alasan apapun, lagian ini udah takdir mereka lo gak boleh bilang hal buruk, gak baik."

Alya terkekeh kemudian membalas, "Takdir bisa berubah Van, selagi manusia itu mau memilih takdir yang mereka inginkan."

Devan terdiam, hatinya semakin berdenyut nyeri ketika gadis itu tersenyum dengan bibir pucat. Ucapan yang keluar dari mulut Alya tempo lalu terputar di otaknya. Tidak! dia tidak ingin kehilangan adiknya, dia tidak siap berpisah dari gadis itu.

"Lo udah minum obat Al?" tanya Devan yang mendapatkan gelengan dari Alya. "Lo makan dulu ya, terus minum obat. Inget Al, lo gak boleh berhenti minum obat nanti lo-"

"Kata Vian obat udah gak mempan buat gue," potong Alya. "Vian bilang, gue harus operasi," lanjutnya sambil tersenyum.

"Kalo gitu kita ikutin kata dokter Vian! lo harus operasi secepatnya."

Alya menggeleng, "Gue gak mau, uang satu miliyar dapet darimana? biaya gue dari nol bulan sampe tujuh belas tahun aja gak nyampe kayaknya."

"Bokap lo kaya Al! gak mungkin dia gak punya uang sebanyak itu."

Alya bangkit lalu menarik tangan Devan. "Udah gak usah ngelantur! mending berangkat sekolah udah siang."

"Ck, lo tuh cewek ngeselin yang pernah gue temui!" rutuk Devan.

"Gak denger!"

*****

Alya menatap cowok itu datar, bibirnya cemberut dengan tangan yang dilipat di dada.

"Gue gak mau Devan! yakali kak Aldian jadi bodyguard gue!" teriak Alya kesal.

"Masa lo gak mau punya bodyguard ganteng kayak gue," ucap Aldian dengan pedenya.

Devan mendelik tajam pada sahabatnya, mau tak mau dia harus meminta bantuan Aldian karena dia tidak bisa menjaga Alya di sekolah, semua itu karena Dania. Bisa-bisa kalau Devan membuntuti Alya, nanti akan ada perang besar diantara keduanya. Tidak, Devan tidak mau.

"Ogah gue diikutin sama lo!"

Beruntung saat ini mereka sedang berada di rooftop, jadilah Alya bisa bebas berteriak dihadapan kakak kelasnya itu.

"Pokoknya gue gak mau!" ujar Alya sambil berkacak pinggang. "Lagian gue udah punya pacar yang bisa jagain gue," lanjutnya.

"Ptttt."

Alya menatap Aldian galak, bisa-bisanya cowok itu menertawakan dirinya.

"Cowok lo? jagain lo? ptttt" Aldian meledakkan tawanya. "Haha, mimpi Al? liat noh!" Cowok itu menunjuk ke bawah dimana ada Ilham yang sedang berjalan digandeng oleh seorang cewek siapa lagi kalau bukan Nara. "Itu manusia yang mau jagain lo? haduh, kemaren aja lo hampir mati gara-gara tuh cowok sialan!"

Alya mengepalkan tangannya menatap kemesraan dua manusia yang mengaku sebagai sahabat itu. Semakin hari memang rasanya mereka semakin jauh, ucapan Ilham malam itu nyatanya seperti angin lalu yang dimana hanya sekejap kemudian menghilang.

"Jadi mau abang Aldi jagain gak nih?" goda cowok itu.

Devan menatap Aldian tajam. "Gue gunting bibir lo! gak usah godain adek gue setan!" ujarnya.

"Galak banget lo kayak kucing pms."

Devan semakin kesal dibuatnya, dia menghela napas agar bisa meredam emosinya. Dia tersenyum dan menepuk hahu Alya. "Jadi gimana Al? lo mau dijagain sama manusia stres ini kan?"

Alya nampak berpikir, dia menatap Aldian yang sedang merapikan jambulnya kemudian dia beralih melihat kemesraan Ilham dan Nara. Jika Ilham saja bisa berduaan dengan gadis lain, jadi tidak salah dong kalo Alya juga melakukan hal yang sama.

"Mau kan? mau dong masa gak mau sama Aldian ganteng, romantis dan jago menggambar ini." Cowok itu menaik turunkan alisnya. "Awww! sakit satt!"

Devan sudah geram dan tanpa aba-aba memukul belakang kepala cowok itu.

Aldian mengusap kepalanya, "Gila lo! gimana kalo gue geger otak atau hilang ingatan!"

"Bagus! biar otak lo bener."

"Ih abang jahat akutuh cinta berat, sini-"

Plak!
Devan kembali menggeplak kepala Aldian.

"Cukup keabsurd-an lo!"

Aldian merengut kesal, pukulan kali ini benar-benar sakit sampai dia harus berulang kali mengelus kepalanya.

"Alya, lo gapapa?" Devan menepuk pundak Alya membuat gadis itu terlonjak kaget.

"Apa sih? gak usah kagetin gue juga kali!" rutuk Alya.

Devan memutar bola matanya malas. "Ngapain liatin mereka terus? yang ada nanti hati lo sakit."

"Hati punya gue, mata punya gue, kok ribet!"

"Mantap dek Alya, kamu memang pintar," sahut Aldian.

"Bang Aldi juga gak usah ikutan, lo gak diajak."

Pada akhirnya Aldian diam dan memilih untuk menyimak saja.

"Jadi lo mau kan Al?" tanya Devan untuk yang kesekian kalinya.

Alya menghela napasnya sambil melihat ke arah Ilham. "Iya, gue mau. Asal bang Aldian jangan nyusahin."

You My Bucin [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang