35. Bucin

190 4 0
                                    

Pagi-pagi Alya dikejutkan dengan kedatangan seorang Ilham yang sedang ditatap intens oleh kakak tirinya.

"Ngapain lo disini?" tanya Devan tak bersahabat.

Ilham berusaha untuk bersikap tenang, padahal dirinya ingin sekali mengatai cowok di depannya. Tapi, mau bagaimanapun dia itu adalah kakak Alya, yang tentunya Ilham harus bersikap baik padanya.

"Gue tanya, lo ngapain disini?" ulangnya.

"Mau jenguk Alya," jawab Ilham.

Devan bersedekap dada. "Setelah lo fitnah adek gue pura-pura tenggelam, sekarang lo mau jengukin dia?" geramnya.

Ilham mengumpat dalam hatinya, pasti Erik yang memberitahunya. "Awas lo Rik, gue tonjok lagi kalo ketemu lo!"

"Ilham!" panggil Alya yang dari tadi hanya menyimak dari jauh.

Gadis itu menyeret Ilham masuk ke dalam rumah menghiraukan tatapan tajam dari kakak tirinya.

Devan merutuk dalam hati. "Dasar bucin akut! padahal dia hampir mati kemarin gara-gara tuh cowok!"

Alya mengajak Ilham duduk di ruang tamu, Devan ikut duduk di depan mereka berdua. Cowok itu sekarang persis seperti seorang kakak yang posesif terhadap adiknya.

Alya menatap Devan sebal. "Ngapain ngikutin sih? Kek gak punya kegiatan aja."

"Gue mau ngawasin kalian!" ujar Devan.

"Dih, gue bukan bocah ingusan ya! Gue udah 18 tahun."

"Masih dua bulan lagi buat ke februari, berarti lo masih bocil 17 tahun," jelas Devan yang benar-benar membuat Alya kesal.

"Ayolah Devan, ajak kak Dania jalan keluar kek jangan gangguin gue terus," bujuk Alya.

Devan menggeleng kuat. "Gak bakal gue biarin lo berdua sama cowok yang bikin nyawa lo melayang."

Kedua saudara itu saling menatap tajam mengibarkan bendera perang. Syukurlah Dinda datang tepat waktu sebelum Alya mencakar wajah putranya yang tampan.

"Devan jangan gangguin adek kamu!" ujar Dinda yang baru pulang dari warung.

Wanita itu tersenyum ramah pada Ilham. "Maafin anak Tante ya."

Ilham balas tersenyum. "Gak apa-apa Tan."

Dinda langsung membawa Devan menjauh dari ruang tamu meskipun cowok itu sempat menolak, tapi pada akhirnya dia pasrah karena tidak mau membantah bundanya.

"Bunda kamu?" tanya Ilham setelah kepergian Dinda dan Devan.

Alya menatapnya lalu menggeleng. "Bukan, dia cuma orang asing yang numpang di rumah Alya."

Ilham paham bagaimana perasaan Alya, tidak akan mudah baginya menerima orang asing yang menggantikan ibunya tiba-tiba.

"Kamu harus menerimanya pelan-pelan Alya, gak mungkin selamanya kamu menolak orang yang akan terus disamping kamu." Ilham berujar lembut sambil mengelus punggung tangan Alya.

"Gak bisa Ilham, dia it-"

"Aku pernah bilang gitu, aku gak bisa nerima kamu awalnya, tapi aku pikir lagi suatu hari nanti juga pada akhirnya kita akan tinggal berdampingan, jadi untuk apa aku terus hidup dengan membenci kamu," potongnya.

Alya mengerucutkan bibirnya, dia menarik tangan yang dipegang cowok itu. Dia sedang mode ngambek sekarang. "Kita sama dia itu beda Ilham, kenapa kamu kekeh banget sih buat aku nerima wanita itu!"

Ilham mengelus pelan pucuk kepala Alya, gadis itu tidak menolak tapi wajahnya tetap ditekuk. "Mau sampai kapan kamu benci ibu sambung kamu hmm?"

"Sampai Alya udah gak ada di dunia!"

Pletak.
Ilham menyentil mulut Alya.

"Sakit Ilham! Kok kamu galak sih!"

"Mulutnya dijaga Alya, gak boleh ngomong kayak gitu," balas Ilham.

Sedikit aneh bagi Alya melihat sikap lembut Ilham, tapi tak apa dia senang.

"Lagian kamu nyuruh aku buat akur sama ibu tiri, aneh."

Ilham menatap Alya, dia mencoba untuk menjernihkan pikiran gadis itu. "Kamu tahu? Hidup tanpa dendam itu lebih menyenangkan daripada kamu terus-terusan dendam sama orang. Kamu gak perlu anggap tante Dinda ibu kandung kamu, cukup hargai dia saja Al, kalau kamu berdamai pasti hidup kamu lebih tenang."

Alya menghembuskan napas pasrah, mau menolak bagaimanapun Ilham pasti akan terus-terusan memaksanya. "Oke, aku coba."

Cowok itu tersenyum lalu mengelus kembali pucuk kepala Alya. "Pinter banget calon istrinya Ilham."

"Aku udah bilang kan, dia bisa bikin Alya luluh," bisik Aryan.

Sepasang suami istri itu mengintip dari dapur, melihat bagaimana cara Ilham memberi pengertian pada putri mereka.

"Semoga saja Alya mau mencoba menerima aku ya," lirih Dinda.

Aryan mengusap punggung istrinya. "Pasti, dia akan segera menerima kamu dan Devan."

Sedangkan si kakak tiri hanya mendengus melihat interaksi kedua remaja itu dari lantai atas. "Sialan lo Ilham!"

*****

Tuhan memang baik memberikan kebahagiaan disaat kesedihan bertahta. Mungkin inilah waktunya Alya untuk berbahagia, menikmati kebersamaan dengan orang yang dia sayang.

Meski hanya duduk di taman belakang rumahnya, dia sudah senang. Sebenarnya Alya ingin keluar bersama Ilham, namun Aryan tidak mengizinkannya karena keadaan Alya yang masih lemah. Menyebalkan.

"Kamu kesel ya gak bisa main ke luar?" tanya Ilham yang sedari tadi memandangi wajah teduh milik Alya.

Gadis itu menggeleng. "Enggak kok, kan sama aja bareng Ilham. Alya seneng kok."

Ilham terkekeh, ternyata benar menerima perasaannya jauh lebih menyenangkan daripada menyangkal. "Kamu adalah anugerah yang Tuhan kirim ke aku Al," ungkapnya.

"Bukannya aku cewek gila? Ngeselin, suka bikin masalah, terus-"

"Itu dulu, pas aku gengsi sama perasaan aku sendiri." Ilham menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah Alya. "Sekarang aku sadar, ternyata aku yang malah bucin ke kamu, bukan kamu ke aku."

Alya menyandarkan kepalanya di pundak Ilham, tatapannya lurus memandangi taman bunga matahari milik ibunya yang masih terawat.

"Aku kangen Ibu," ujar Alya yang tiba-tiba teringat dengan ibunya.

Semenjak perpisahan itu Alya dan Nirmala memang tidak pernah bertemu, karena Nirmala selalu menolaknya.

"Kamu mau ketemu?" tanya Ilham.

"Mau, tapi Ibu selalu nolak kehadiran aku."

Ilham menggenggam tangan kanan Alya, mencoba untuk memberinya kekuatan. "Kamu mau coba lagi gak? Nanti kita temui Ibu kamu bareng aku."

Alya menegakkan tubuh, dia menatap cowok itu dengan sedih lalu menggeleng. "Jangan ikut Ilham, nanti aku sendiri aja ke rumah Ibu."

Ilham mengerutkan dahinya. "Kok gak boleh ikut? Itu kan calon  ibu mertua, sekalian aku mau minta restu," ujarnya.

Alya cemberut. "Nggak pokoknya gak boleh!"

"Dih, nanti kalo gak direstuin gimana? Gak bisa nikah dong kita Al."

"Kok sekarang jadi Ilham yang ngebet nikah sama Alya?!"

"Biar bisa lihat kamu tiap waktu, terus jagain kamu, terus-"

Alya menempelkan jari telunjuknya di bibir cowok itu. Pusing juga ternyata jika Ilham sudah bucin seperti ini, bawel dan sangat menyebalkan. "Diem! Berisik bucin!"

"Ayung kok gitu, udah gak sayang sama Iyung ya?" tanya Ilham sedih.

Alya merutuk dalam hati, kenapa bisa-bisanya dia membuat nama panggilan alay seperti itu.

"Ay-"

"Diem!!"

You My Bucin [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang