28. Pucat

363 9 0
                                        

"Mau kemana kamu Ilham?"

Cowok itu menghentikan langkahnya lalu membalikkan tubuhnya menghadap pada sang mama yang sedang menatapnya tajam.

"Ilham mau ke rumah sakit," jawabnya.

"Gak ada keluar malam, kamu harus banyak belajar Ilham!" tolak Rayna.

"Ulangan udah selesai Ma, aku udah berusaha sebisa aku, aku capek belajar terus."

Mata Rayna semakin menajam, baru kali ini putranya membantah ucapannya.

"Kamu ngebantah Mama?" murka Rayna. "Kamu itu udah Mama sekolahin biar jadi anak yang nurut bukan seperti ini!"

Ilham tidak mengindahkan ucapan mamanya, cowok itu meneruskan langkahnya sampai di depan pintu.

"Kalau kamu berani keluar dari rumah ini, mama gak akan anggap kamu anak lagi!"

Rayna memang terlalu mengekang Ilham dan selalu menekannya untuk terus belajar dan belajar. Ilham harus memberikan alasan jika ingin menginap dirumah Irgi atau temannya yang lain, yaitu alasan untuk mengerjakan tugas kelompok. Hanya dengan alasan itu dia bisa keluar malam dan menghabiskan waktu dengan temannya, selain alasan mengerjakan tugas mamanya tidak akan mengizinkan Ilham untuk pergi dari rumah.

Rayna mendekati putranya lantas mengusap pundak Ilham dengan lembut. Dia menghela napasnya kemudian berkata, "kamu itu penerus Papa, jangan sampai mengecewakan Papamu itu Ilham. Mama sayang sama kamu dan Mama gak mau sampai kamu dibuang lagi ke panti tempat asalmu itu."

Ilham menunduk sedih, menjadi anak pancingan memang menyedihkan. Rayna bersikeras menjadikan Ilham sebagai penerus dari perusahaan Kusuma, semua itu karena Rayna begitu menyayangi Ilham seperti anak kandungnya sendiri. Sebagai gantinya Ilham harus menjadi anak yang pintar agar bisa menjalankan perusahaan besar papanya dengan baik.

Ilham bukan anak yang pintar dia sangat buruk memahami materi yang disampaikan oleh guru disekolah, namun karena ketekunannya akhirnya dia mendapatkan peringkat pertama setiap tahunnya. Namun tidak seperti orang tua pada umumnya ketika sang anak mendapat juara mereka menghadiahkan sesuatu untuk putra mereka, Ilham malah diberikan guru les privat oleh Rayna. Katanya agar Ilham lebih pintar.

"Ilham ngerti Mama takut Papa kecewa, tapi aku bukan robot Ma," ujarnya.

Rayna membelai lembut wajah sendu putranya. "Mama tahu kamu ingin bebas seperti orang lain tapi Mama juga khawatir sama masa depan kamu nanti, mengelola perusahaan Papa itu bukan pekerjaan yang mudah Ilham makanya kamu harus rajin-rajin belajar, tidak mungkin Zara yang meneruskan perusahaan Papa lagi pula dia masih kecil."

"Baik, Ilham bakalan nurut sama Mama. Maafin Ilham udah ngebentak Mama tadi," ucap Ilham sambil menatap wajah cantik Rayna.

"Sekarang kamu istirahat ya, udah jam 9 tuh, udah malem," titah Rayna.

Ilham mengangguk patuh, sepertinya dia memang ditakdirkan untuk menjalani kehidupan sesuai keinginan Rayna, bukan sesuai hatinya. Bagaimana dia bisa mencintai Alya sedangkan dia saja tidak bisa mencintai dirinya sendiri.

"Maaf Al, gue gak pantas buat lo cintai."

*****

Alya mengerjapkan matanya, kepalanya terasa pusing dan bau obat-obatan ini membuatnya ingin muntah. Lagi-lagi Alya pingsan hanya karena sebuah cairan merah, benar-benar payah! sepertinya dia harus melawan rasa takutnya ini jika tidak bisa-bisa dia pingsan terus setiap mimisan.

Jangan salah, Alya ini tidak takut dengan darah bulanannya kok, dia hanya takut pada darah yang keluar dari tangan, hidung dan sebagainya pokoknya selain darah haidnya.

"Alya kamu sudah sadar?" tanya dokter Vian.

"Dokter bisa lihat sendiri gak usah nanya," ketusnya.

Vian ini adalah sepupu dari ibunya Alya makanya dia bersikap santai dengannya.

"Kenapa kamu ngeyel gak mau berobat Al?" tanya Vian dengan tatapan sendu.

Alya berdecak. "Ck, aku gakpapa Dok buat apa berobat?"

"Mau sampai kapan kamu keras kepala seperti ini? tante Nirma pasti bakalan sedih banget kalo liat anaknya nak-"

"Gak usah bawa-bawa Ibu! dia aja gak sayang sama gue, ngapain harus peduli?" potong Alya.

"Setidaknya kamu jalani tes biar tahu penyakit kamu itu apa," usul Vian.

"Males malah nambah beban idup."

Dokter Vian menghela napasnya, sepupunya ini memang anak yang keras kepala padahal semua orang sangat mengkhawatirkannya, tidak bisakah gadis ini melihat perasaan orang-orang itu padanya? benar-benar kasihan.

"Alya saya rasa penyakit kamu ini serius, makanya kita harus jalani beberapa tes agar saya tidak terus menebak-nebak tanpa adanya bukti."

"Ngapain harus ditebak-tebak? lagian gue gak bakalan kasih hadiah," balas Alya acuh.

"Kamu sering bulak balik rumah sakit karena sering demam dan akhir-akhir ini kamu sering mimisan, saya takut kamu terkena-"

Alya menaikan alisnya. "Kenapa gak dilanjutin?"

"Saya takut kamu terkena leukemia."

"Pttttt." Alya menahan tawanya, leukemia? astaga penyakit darimana itu? mana mungkin tubuh sehat seperti Alya ini terkena penyakit berbahaya seperti itu. "Gak usah nebak kejauhan Dok astaga gue jadi pengen ketawa ngakak dengernya," ujarnya.

Dokter Vian menatap Alya datar, gadis ini memang benar-benar menyebalkan.

"Makanya ayo jalanin tes siapa tau penyakit kamu gak separah itu," ujar Vian.

"Ya, ya oke. Alya bakalan ikutin tesnya biar gak diomelin terus, capek denger dokter ngomel terus omelannya lebih dari Resta."

Astaga Vian jadi lupa dengan temannya Alya yang sedang menunggu diluar dengan khawatir.

"Saya panggil teman kamu dulu, kasian mereka khawatir banget sama kamu."

Dokter Vian meninggalkan Alya yang sedang tiduran menatap langit-langit ruangan serba putih ini, dia sejenak berfikir tentang apa yang dirasakannya akhir-akhir ini. Dia rasa mudah sekali lelah, dan bahkan bekas tamparan Ilham tempo lalu begitu membiru padahal rasanya tidak sesakit saat ditampar oleh Devan atau ayahnya. Dia jadi harus menutupi bekasnya dengan foundation, tapi untungnya bekas itu menghilang seiring berjalannya waktu.

Tidak mungkin Alya terkena leukemia kan?

"Alya, lo gakpapa kan?" pekik Resta yang buru-buru memeluk tubuh Alya.

"Astaga Res ini rumah sakit bukan hutan, mana udah malem, gila kali lo!" omel Alya.

Resta melepaskan pelukannya lalu menatap sahabatnya dengan raut khawatir. "Lo beneran gakpapa kan Al? muka lo pucet tau."

Alya menaikan alisnya, pucat? rasanya saat pergi ke rumah Resta dia baik-baik saja, wajahnya terlihat fresh. Apa mungkin karena dia pingsan dan mimisan ya?

"Gue kan lagi sakit jadi wajar kalo muka gue pucet," balas Alya.

"Tapi bibir lo kayak mayat idup," celetuk Gery yang dibalas tatapan tajam dari Alya.

"Gak like gue sama lo, gak jadi deh gue jodohin lo sama sahabat gue."

"Jangan gitu dong, baperan amat lo. Nanti gue beliin lo gincu deh biar bibir lo merah kayak buah duren," bujuk Gery.

Tak!
Resta memukul belakang kepala cowok itu.

"Mana ada buah duren merah!"

"Ada cantik! makanya search google!"

"Gue gak mau gincu, tapi gue mau Ilham!" teriak Alya.

You My Bucin [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang