Menjadi kakak kelas yang berurusan dengan adik kelasnya membuat Devan menjadi pusat perhatian. Sejak kejadian itu dia selalu merasa risi ketika keluar kelas, semua ini gara-gara Alya si gadis gila yang membuat dirinya berakhir diam di rooftop menyembunyikan diri.
"Sampai kapan lo diem di situ?" tanya seorang gadis berambut sebahu.
Gadis itu duduk di sebelah Devan yang sedang mendengus kesal, sepertinya dia sedang mengumpat dalam hatinya.
"Ngapain?" Devan balik bertanya.
"Nemenin lo!" jawabnya.
"Gue gak perlu lo temenin Dania," ucap Devan tanpa melihat sang lawan bicara.
Mata Devan menatap langit cerah yang dihiasi oleh burung-burung yang berkelompok untuk mencari makan. Ngomong-ngomong soal makan, Devan lebih memilih untuk tidak jajan di kantin karena tempat itu membuat telinganya sakit, suara bising selalu membuat kepalanya pusing, benar dia tidak berbohong.
Gadis bernama Dania itu tersenyum sambil melihat pahatan indah yang Tuhan ciptakan. "Lo males dengerin ocehan bocah?" tanyanya.
"Gue males liat orang."
"Ternyata lo takut sama omongan orang ya?"
Devan lagi-lagi mendengus lalu menatap Dania dingin. "Gue males diliatin sama lo!"
Bukannya takut Dania malah tertawa. "Lo tuh lucu Van, lo selalu aja kayak anak kecil."
"Gue bukan bocah 5 tahun."
"Itu lo tau, terus kenapa lo bersikap kayak mereka?"
Devan menaikan alisnya. "Maksud lo?"
"Lo selalu lari dari masalah lo kayak bocah! Pertama lo lari dari kisah lo sama si Alya, terus sekarang lo lari dari perbuatan bodoh yang udah lo lakuin, kayak bocah banget gak sih?"
Devan diam, sebagai sahabat, Dania memang selalu bisa membuatnya sadar. Entah mengapa dia sedikit bersyukur memiliki sahabat bawel seperti Dania.
"Ya, gue bocah dan lo kakaknya," ujar Devan disambut kekehan oleh gadis disampingnya.
"Ogah gue punya adek kayak lo!"
"Kalo gitu jadi pacar lo gimana?"
Blush. Pipi Dania memerah seperti tomat, matanya tak berkedip sama sekali, jantungnya ini sangat laknat sekali karena berdetak begitu cepat. Dalam hati, Dania mengutuk perasaannya yang sulit dikendalikan.
Ya, Dania memiliki perasaan pada Devan. Bersahabat selama hampir 6 tahun lamanya membuat perasaan tumbuh di hatinya. Tepatnya perasaan itu muncul ketika Alya menjadi pacar Devan, waktu itu Dania ingin mengungkapkan perasaannya namun dia urungkan ketika Devan malah mengenalkan Alya padanya. Mulai saat itu Dania tidak berani untuk mengatakan perasaannya, dia selalu mengubur rasa dan harapannya ini. Namun semakin dipendam malah semakin bertambah. Sial!
"Kenapa lo diem? muka lo juga merah, lo sakit ya?" tanya Devan panik melihat wajah sahabatnya yang semakin merah.
Dania memalingkan wajahnya gadis itu mengipasi wajahnya dengan tangan. "H-hah? sakit? gila lo?! gue cuma kepanasan kali."
Devan menghembuskan napasnya, dia bersyukur karena sahabatnya baik-baik saja.
"Bagus deh kalo gitu, gue sayang sama lo makanya gue khawatir," ucap Devan sambil mengelus puncak kepalanya.
Sial! Sial! Devan bisa-bisanya dengan gampang bilang sayang! Dania tahu sayang yang Devan maksud adalah sebagai sahabat, tapi kalau begini terus yang ada Dania malah tambah baper terus jatuh karena Devan tidak membalas cintanya. Ini tidak bisa dibiarkan!
Dania menggeser tempat duduknya membuat tangan Devan berhenti mengusap rambutnya.
"Jangan sentuh gue!"
Devan kadang bingung dengan sikap Dania akhir-akhir ini, gadis itu kadang selalu ingin duduk berjauhan dengannya padahal dulu gadis itu selalu menempel padanya bahkan sering memukul kepalanya.
"Lo kenapa? muka lo kenapa merah lagi?!"
"Gue gakpapa Devan!" teriak Dania kesal.
Seorang cowok yang melihat kedua anak manusia itu berdecak. "Ck, males turun tangan, tapi kalo enggak kisah romance-nya gak bakal maju-maju."
*****
Teman sekelasnya hari ini sedang sibuk menghafal untuk ulangan harian, namun Alya malah sibuk melihat karya Tuhan yang begitu sempurna, siapa lagi kalau bukan Ilham. Meskipun diacuhkan, dia tetap bersikeras mengejar pangerannya mau jatuh dan sakit Alya akan tetap mengejar Ilham.
Laki-laki itu merasa ada yang memperhatikan dan benar saja disampingnya Alya sedang menatap dengan kepala yang ditaruh dimeja.
"Lo ngapain liatin gue?" tanya Ilham.
Alya mengembangkan senyumnya. "Lagi liatin orang yang Alya sayang."
"Lo gak ada kerjaan?"
"Gak ada."
Ilham memutar bola matanya malas. "Lo ngehafalin kek, atau apa kek, pokoknya jangan liatin gue, gue gak suka."
Baiklah Alya menyerah, lagi pula sebentar lagi guru akan masuk dan sebaiknya Alya tidak membuat mood Ilham semakin buruk.
Ilham bernapas lega setelah melihat gadis itu berkutat dengan bukunya. Kadang Ilham heran dengan Alya, mengapa dia tidak memanfaatkan isi otaknya yang pintar dan mengapa dia memilih untuk berada diperingkat bawah.
"Alya," panggil Ilham membuat gadis itu menoleh.
"Apa Ilham? katanya tadi gak boleh gangguin Ilham, sekarang Ilham gangguin aku," gerutu Alya.
Cowok itu berdecak. "Sorry. Gue cuma mau bilang, lo harus kalahin gue diulangan harian ini," ujar Ilham.
"Kalo aku kalahin Ilham emang bakal dapet apa?"
"Lo dapet hal yang lo mau,"
Wajah Alya langsung cerah mendengar jawaban Ilham. "Kalo Alya jadi pacar Ilham boleh?"
Ilham menimang-nimang sebentar lalu berkata, "gak termasuk yang itu."
Gadis itu mengerucutkan bibirnya. "Yaudah ngapain ngalahin Ilham males!"
"Ya, iya, terserah mau lo, yang penting lo gunain otak lo itu jangan bikin otak lo berdebu karena gak dipake!"
Ilham akhirnya pasrah, daripada membiarkan kepintaran Alya punah lebih baik mengikuti apa yang diinginkan gadis itu. Lagi pula cuma jadi pacar kan? bukan jadi istri.
Sedangkan Alya saat ini sedang mengigit bibir bawahnya. Ingin rasanya dia berteriak saking senangnya, hanya dengan mengalahkan Ilham dia bisa menjadi pacarnya. Ini adalah suatu keberuntungan yang harus Alya gunakan sebaik-baiknya jangan sampai dia kehilangan kesempatan emas ini.
Resta yang duduk disamping Alya menatap heran, karena biasanya gadis itu hanya akan diam ataupun memejamkan matanya lalu tertidur sampai guru masuk dan memberikan tugas, sekarang gadis itu malah membaca buku dan sepertinya sedang menghafal. Jangan katakan kalau Alya kesurupan lagi!
"Tumben banget lo belajar sebelum ulangan, biasanya juga lo bodo amat," cibir Resta.
"Diem Res, gue lagi berjuang."
Bibir Resta melengkung sempurna. "Akhirnya lo berjuang buat nilai lo membaik Al."
Fiks, ini harus dirayakan karena Alya sudah mulai peduli dengan nilainya yang selalu ngepas dirata-rata.
"Berjuang buat dapet nilai sempurna karena dengan itu gue bisa jadi pacar Ilham."
Bibir itu kini ditekuk, dan matanya menyipit. Ia kira Alya benar-benar tobat, ternyata cuma karena kebucinannya sama Ilham. Resta cuma bisa tepuk jidat melihat kelakuan sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
You My Bucin [End]
Roman pour Adolescents"Ilhamm...." "Ngomong apa? Cepetan!!" Gadis itu tersenyum lebar lalu mendekat lagi kearahnya. "Gue kayaknya suka deh sama lo, gue boleh ngejar lo gak Ham? " Sesaat dia terdiam menatap maniknya yang seakan terhipnotis. Namun beberapa detik kemudian d...