"Van, lo harus kesini sekarang!"
Seorang disebrang telepon berdecak, "Ck, apaan sih? Gue baru aja nyampe rumah udah lo suruh keluar lagi."
"Pokoknya kesini kalo lo penasaran, gue sharelok sekarang."
Tut, panggilan diputuskan secara sepihak oleh Aldian. Cowok itu segera memberikan alamatnya pada Devan, kali ini dia benar-benar harus tahu yang sebenarnya tidak boleh ada kesalahan seperti tempo lalu.
Dia masih mengikuti Alya, sedari tadi dia memang membuntuti gadis itu. Dahinya mengkerut karena tiba-tiba Alya berhenti didepan rumah sakit, dia jadi curiga dan langsung Mengubungi Devan.
"Lah tuh anak ngapain masuk ruangan dokter bedah?" Dia bertanya pada tembok rumah sakit yang sama sekali tidak menjawab. "Haduh, mana bisa gue masuk, terus gimana gue tahu apa yang dibicarain si Alya sama tuh dokter?"
Aldian bersembunyi dibalik tembok, untuk sementara waktu dia akan mengamatinya dari kejauhan saja sambil menunggu kedatangan Devan. Siapa tahu cowok itu tahu sesuatu.
Beberapa menit berlalu, dia begitu kaget karena dokter yang terlihat kalem itu membanting pintu ruangannya.
"Wah, si Alya ngapain sampe bikin tuh dokter marah?" Dia bermonolog.
Plak!!
Aldian melompat saking terkejutnya karena sebuah tepukan dibahunya."Lo ngapain lompat kayak katak?" tanya Devan bingung.
"Mata lo katak! Gue kaget setan!" Aldian merutuk.
Devan hanya terkekeh kecil mendengar ucapan Aldian, "Haha, maaf deh." Dia menepuk bahu Aldian kemudian menatap sebuah pintu bercat coklat yang sedang ditatap sahabatnya. "Ngapain liatin pintu? Lo suka?" tanyanya.
"Udah gila kali gue, masa suka sama pintu!"
"Emang lo udah gila Di," sahut Devan tanpa dosa.
Aldian mengusap dadanya pelan, "Sabar Aldi, kalo gak sabar gak dapet adeknya."
Pletak
Devan menyentil dahinya. "Ngomong sekali lagi gue pukul lo sampe bonyok!"
"Padahal gue udah baik hati mau membuntuti adek lo itu, tapi ini balasan lo sama gue?" kesal Aldian sambil mengusap pelipisnya.
"Lagian lo ngelantur."
"Apa salahnya coba suka sama adek sahabat sendiri."
"Salah! Karena gue gak mau punya adek ipar model lo!"
Aldian pasrah, berdebat dengan Devan pasti akan sangat melelahkan, karena pada akhirnya cowok itu tidak akan mau melepaskan Alya untuknya. Huh, benar-benar kejam.
"Itu bukannya dokter Vian?" ucap Devan ketika melihat seorang pria berjas putih masuk ke ruangan yang sedang mereka amati itu.
"Lo kenal?" tanya Aldian.
Devan berdecak, "Ck, kenal lah! Dia itu sepupunya Alya."
Aldian hanya ber'oh ria.
"Eh, kok tuh dokter bawa obat banyak ya? Buat siapa?"
"Buat Alya," jawab Aldian asal.
Tuk!
Lagi-lagi Aldian mendapatkan kekerasan dikepalanya, pastinya itu adalah ulah Devan.
"Lo kenapa suka banget mukul kepala gue sih?" tanya Aldian kesal.
"Lo kalo ngomong suka gak disaring dulu!"
Cowok itu menaikan alisnya, "Emangnya salah? Lagian yang didalem itu kan si Alya, yakali tuh obat buat gue!"
Devan terkejut dengan penuturan Aldian. "Kok lo baru bilang?"
Aldian memutar bola matanya malas. "Yakali gue diem disini tanpa tujuan, udah gila, udah gila."
Devan tidak menjawab, pada akhirnya dia menunggu disana dengan harapan bukan Alya pemilik obat-obatan itu.
******
"Makasih dokter Vian," ujarnya sambil tersenyum.
Vian menatapnya datar kemudian berkata, "Kamu jangan pernah telat minum obat karena itu bisa memperburuk penyakitnya."
"Iya dokter bawel!"
Alya berjalan keluar dari ruangan Vian setelah dokter itu memberikan obat yang dia minta. Namun baru beberapa langkah keluar dari ruangan itu, dia langsung dikagetkan dengan kehadiran seorang Devan yang tiba-tiba.
"Lo habis ngapain dari ruangannya dokter Vian?" tanya Devan penuh selidik.
Alya menggeleng cepat sambil menyembunyikan sekantung obat dibelakangnya. "Gue gak ngapa-ngapain, cuma pengen ketemu sepupu gue aja," ujarnya berbohong.
Namun bukan Devan namanya jika langsung percaya, dengan cepat dia mengambil sesuatu yang Alya sembunyikan.
Devan begitu terkejut melihat isi dari kantung plastik itu, beberapa macam pil serta suntikan mengisi kantung itu. Dia menatap Alya bertanya. "Ini apa Al?"
"Obat," jawabannya singkat.
"Obat apa Al?" tanyanya lagi.
Alya tidak menjawab, dia malah mengambil kantung itu secara paksa dari tangan Devan. "Bukan urusan lo!" ketusnya.
Dia hendak pergi namun dia kalah cepat dengan Devan yang sudah menahan tangannya. "Urusan gue, gue abang lo!"
"Lo abang tiri, lo peduli apa sama gue?!" teriak Alya tepat diwajahnya.
Devan menutup matanya sejenak kemudian menatap Alya lembut, "Gak peduli gue abang kandung atau bukan, karena pada dasarnya lo adalah adek gue dan lo tanggung jawab gue Alya."
"Gak usah sok peduli sama gue!"
Gadis itu berusaha melepaskan cengkraman Devan, namun sama sekali tidak terlepas malah semakin kuat pergelangan tangannya digenggam.
"Gue peduli karena gue takut terjadi apa-apa sama lo Alya," ungkap Devan jujur.
Mau bagaimanapun mereka itu saudara, tidak mungkin Devan membiarkan Alya menanggung bebannya sendirian.
"Alya jawab gue, itu obat untuk apa?"
Alya bungkam, dia tidak mau mengatakan yang sebenarnya pada Devan.
"Alya, jaw-"
"Gue gak mau kasih tau! Jangan maksa!" sarkasnya.
Devan menatap manik hitam itu, dia memegang kedua bahu Alya kuat membuat gadis itu sedikit meringis.
"Kita itu saudara Alya! Kenapa lo gak ngerti kekhawatiran gue?!" Devan berteriak kesal. Tidak peduli jika nanti dia menjadi tontonan banyak orang.
"Kita cuma saudara tiri, gak lebih," balas Alya dengan wajah datar.
Devan semakin mengguncang tubuh Alya membuat gadis itu menatapnya kesal.
Netra mereka beradu, Alya menghentikan napasnya sejenak ketika Devan mendekatkan wajahnya dengan wajah Alya.
"Kita sedarah Alya, kita berasal dari ayah yang sama, itu alasannya gue khawatir sama lo, sama kesehatan dan kehidupan lo." Devan melepaskan cengkraman dibahu Alya kemudian memundurkan tubuhnya.
Gadis itu terdiam mendengar pernyataan yang selama ini tidak pernah terpikirkan olehnya. Saudara? Seayah? Tidak mungkin!
Alya menatap Devan, tidak ada kebohongan disana, dia benar-benar mengatakan kebenarannya saat ini.
"Ayah dan tante Dinda, mereka-"
"Nanti gue ceritain Al, sekarang gue pengen tahu obat apa yang lo ambil dari dokter Vian," potong Devan, suaranya kini kembali rendah.
Alya menundukkan kepalanya, dia syok dengan kebenaran yang keluar dari mulut Devan, dia juga bingung apa dia harus jujur pada Devan?
Apa dengan mengatakan yang sebenarnya pada cowok itu bebannya akan sedikit berkurang?
"Alya, jawab pertanyaan gue," ujar Devan.
Alya kembali mendongak menatap Devan, dia menghela napas sebentar kemudian berkata, "Gue sekarang cewek penyakitan Van."
"Sekarang gue harus mulai gali kuburan gue sendiri, karena kata dokter hidup gue tinggal sebentar lagi." Alya tersenyum, "Gue kena kanker darah stadium akhir."
KAMU SEDANG MEMBACA
You My Bucin [End]
Teen Fiction"Ilhamm...." "Ngomong apa? Cepetan!!" Gadis itu tersenyum lebar lalu mendekat lagi kearahnya. "Gue kayaknya suka deh sama lo, gue boleh ngejar lo gak Ham? " Sesaat dia terdiam menatap maniknya yang seakan terhipnotis. Namun beberapa detik kemudian d...