09. Khawatir

266 12 0
                                    

Sejak kejadian dua hari lalu Alya selalu diam saat menemuinya, entah kepala gadis itu terbentur atau mendapatkan hidayah, yang jelas Ilham sangat bersyukur bisa terbebas dari gadis seperti Alya. Namun dia terlalu bingung dengan sikapnya yang sekarang, tidak lagi ada keributan dan sorot matanya seperti tidak bersemangat.

"Ilham, lo ngelamunin apa sih?" tanya Gery yang sedari tadi memperhatikan cowok itu.

"Udah 2 hari lo kayak gini, bengong terus." Erik menimpali.

"Wah, jangan-jangan karena si Alya yang udah gak ngejar-ngejar lo ya?" celetuk Irgi.

Ilham langsung menatap tajam Irgi, benar-benar menyebalkan! cowok itu selalu saja bisa menebak keadaannya, apa dia cenayang?

"Kayaknya tebakan gue bener."

"Salah! mana ada gue kesepian cuma gara-gara cewek gila itu!" Ilham menyangkal ucapan Irgi.

"Mana ada gue bilang lo kesepian." Irgi semakin mendesak Ilham, ada kepuasan tersendiri dihatinya ketika melihat wajah kesal sahabatnya.

"Udah dong Gi, Ilham kan sukanya sama si Melya bukan si Alya, lagian si Alya gak jelas keluarganya," ucap Erik menengahi perdebatan keduanya.

Alis Gery terangkat. "Emang lo tau orang tuanya si Melya?"

Suara bising para murid yang sedang menikmati waktu istirahat di kantin membuat keberuntungan berada dipihak keempat cowok itu, kalau saja tidak, mungkin sudah terdengar oleh manusia yang sedang mereka bicarakan.

"Yang gue tau Melya tinggal sama ibunya, dan gue denger orang tuanya udah meninggal."

Ketiganya menatap bingung pada Irgi.

"Maksud lo gimana? otak gue gak nyampe," tanya Gery yang tidak paham.

"Dia punya ibu dan orang tuanya meninggal?" tambah Erik.

"Ibu angkat?"

Irgi mengangguki perkataan Ilham. "Ya betul apa yang lo bilang Ham, dia cuma tinggal sama ibu angkatnya. Lo liat kan pas pengambilan rapor? "

Ilham memang selalu melihat ibu Melya yang selalu hadir disaat pembagian rapor, tapi dia tidak menyangka bahwa itu adalah ibu angkatnya.

"Kenapa cewek yang deket sama si Ilham pada gak jelas orang tuanya sih?" tanya Erik.

"Takdir!"

"Takdir yang disengaja." Irgi menimpali ucapan Gery.

Ilham menatap Irgi, entah mengapa cowok itu selalu tahu seluk-beluk para siswa disekolah ini, terkecuali Alya dan perasaannya pada Melya.

"Jujur sama gue Ir, lo pasti tau sesuatu tentang Alya sama Melya kan?" tanya Ilham dengan tatapan serius.

*****

Resta menatap sahabatnya aneh. Ini sudah 2 hari dan dia tidak melihat tindak kriminal yang dilakukan oleh sahabatnya itu, eh maksudnya membuat masalah. Sebagai seseorang yang dekat dengan Alya rasanya aneh dengan perubahan sikapnya, tidak mungkin kan jika dia kehilangan ingatannya?

"Kenapa lo natap gue horor kayak begitu?" tanya Alya.

"Eh, gakpapa. Gue cuma aneh aja sama lo, kenapa  sekarang gak gangguin si ketos?"

Gadis yang ditanya memutar bola matanya. "Emang harus banget gue rusuhin si Ilham? dih, kayak gak ada kerjaan aja."

Fiks, ini harus segera dirukiyah.

"Jujur sama gue, siapa lo?!"

Alya mengerutkan keningnya. "Lo kenapa sih?" tanya Alya balik.

Resta berdecak. "Lo bukan Alya kan? pasti lo--"

"Ngomong apa sih? suka ngelantur kalo ngomong!" potong Alya

Jujur saja Resta lebih suka Alya yang dulu meskipun merepotkan. Tapi melihat wajahnya yang datar lebih merepotkan bagi Resta, tidak ada candaan yang keluar dari mulut gadis itu, sorot matanya pun layu. Sebenarnya anak ini ada masalah apa?

"Al, kalo lo ada masalah bilang sama gue, kita sahabat kan?" tanya Resta dengan nada sendu.

Dia seperti sahabat yang gagal sekarang, lihatlah Alya tidak mau berbicara apapun, gadis itu malah asyik dengan siomaynya.

"Gue cuma ada problem dikit."

Akhirnya dia mau berbicara!!

"Problem apa? cerita aja siapa tau gue bisa bantu."

Alya meneguk es jeruknya lalu menghela napasnya pelan. "Sebenarnya gue lagi bingung, khawatir, akh!! banyak pokoknya!"

Resta tersenyum. "Cerita, lo khawatir kenapa?"

"Gue khawatir kalo Ilham gak bales perasaan gue, gue takut kalo Melya balik ngehancurin kebahagiaan gue lagi, gue capek."

Dia tahu bahwa Melya adalah orang yang menghancurkan kehidupan sahabatnya, padahal Alya begitu baik pada gadis itu tapi mengapa dia begitu tega menyakiti Alya sampai seperti ini?

"Lo gak boleh nyerah Al karena itu malah bikin dia lebih bahagia, lo harus tunjukin bahwa lo bisa bahagia dan dia gak bisa hancurin kebahagiaan lo dengan mudah, lo gak boleh pesimis kayak gini dong, bukan Alya banget tau!"

Alya tersenyum, sepertinya tidak ada salahnya bercerita pada sahabatnya yang satu ini, memang benar-benar bisa diandalkan.

"Makasih Res," ucapnya, Resta hanya mengangguk sambil tersenyum.

Alya sepertinya tau apa yang harus dia lakukan terlebih dahulu. "Gue boleh izin ke meja si ketos gak?"

Resta sudah diberitahu kalau dia menyukai Ilham, ya meskipun sebenarnya Resta tidak suka karena pasti Alya akan jadi omongan orang tapi walaupun gak ngejar Ilham juga dia udah jadi topik seantero sekolah. Jadi pasrah aja. "Oke."

Alya dengan senang hati menuju ke bangku yang berisi empat orang cowok yang sedang ngobrol. Namun dia terhenti ketika dia mendengar namanya menjadi topik pembicaraan.

"Jujur sama gue Ir, lo pasti tau sesuatu tentang Alya sama Melya kan?"

Woahh, rupanya Ilham sekepo itu sama Alya, eh atau sama Melya?

"Hallo gantengnya Alya, lagi makan?" tanya Alya yang tanpa Permisi duduk disebelah Ilham.

"Nah, nih nongol juga cewek lo Ham," celetuk Irgi yang langsung disambut tatapan tajam dari sang ketos.

"Udah sehat Al?" tanya Erik.

Alya menaikan alisnya. "Sehat? gue gak sakit perasaan."

"Maksudnya lo udah deketin Ilham lagi berarti lo udah waras!" jawab Gery.

Ilham menatap sebal teman-temannya, bisa-bisanya mereka berbicara seperti itu padahal Ilham begitu tenang jika Alya tidak mengganggunya.

"Mau ngapain lo?" tanya Ilham ketus.

Alya tersenyum lalu menyenderkan kepalanya dibahu cowok itu. "Alya kangen Ilham tau, maaf ya kemaren Alya lagi banyak fikiran jadi gak bisa gangguin Ilham, pasti kangen kan?"

"Sejujurnya, hari-hari tanpa lo itu menyenangkan aman, damai, suasana hati gue jadi membaik," balasnya. Cowok itu menyingkirkan kepala Alya dari bahunya dan menatapnya tajam. "Sekarang suasana hati gue jadi memburuk gara-gara lo deket sama gue lagi!"

Entah mengapa ada sedikit sakit dihati Alya ketika mendengar perkataan Ilham, padahal biasanya juga dia sering dimarahi seperti ini namun kali ini sakitnya berbeda. Apakah jika dia terus berusaha Ilham akan luluh padanya?

"Gue pergi, gue mau cari Melya buat balikin mood gue," ujar Ilham lantas meninggalkan Alya dan ketiga temannya.

Apa jika seperti ini Alya masih bisa menang?

Alya menatap sendu punggung Ilham yang mulai menjauh, meskipun rasanya mustahil dia harus tetap memperjuangkan cintanya, lagipula hatinya sudah terlanjur sakit yang artinya dia benar-benar suka pada cowok itu. "Gue pasti bisa kan?"

You My Bucin [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang