Bekerja setiap hari dari magrib sampai jam sebelas malam sudah terbiasa dilakukan olehnya. Tidak ada rasa malu dalam dirinya selama itu tidak diketahui oleh teman sekolahnya. Semua ini dia lakukan untuk membantu sang mama, karena semenjak kepergian papanya 3 tahun lalu hidupnya seperti dijungkirbalikkan, semuanya dibangun kembali dari awal.
Sisa kenangan dari mendiang papanya hanya sebuah rumah mewah yang masih berdiri kokoh lengkap dengan perabotan yang tidak pernah diganti, masih sama persis seperti saat papanya masih ada. Namun, perusahaan yang papanya bangun merosot turun karena tindakan gegabah dari sang paman yang waktu itu menggantikan posisi papanya ketika baru saja meninggal.
Tidak mungkin mamanya bekerja menggantikan papa karena dia tidak paham bagaimana cara bekerja seorang CEO, begitupun dengan seorang gadis remaja yang masih berumur 13 tahun, seumur hidupnya hanya dipenuhi barang mewah serta bermain bersama teman-temannya, tidak mungkin dia akan paham dan mau menggantikan posisi papanya waktu itu.
Semenjak saat itu dia benar-benar mengubah dirinya, dia selalu mengejar beasiswa meskipun itu akan membuat lingkaran hitam bersarang dimatanya. Dia selalu menyesali dirinya yang dulu, seandainya dia cukup pintar mungkin sekarang mamanya tidak akan kelelahan mengurus sebuah cafe yang dibangun dari sisa uang perusahaan mendiang ayahnya.
"Melamun terus Aul, kenapa?" tanya Zia.
Gadis yang tengah mengelap meja itu tersentak. "Ah, gak apa-apa kok cuma lagi mikirin sekolah aja."
"Kamu takut beasiswanya dicabut ya?"
Pertanyaan Zia benar-benar tepat sasaran.
"Iya, kalau aku gak dapet beasiswa takutnya ngebebanin Mama."
Zia mengusap surai hitam putrinya sambil tersenyum. "Aul gak pernah jadi beban buat Mama, rasanya Mama itu jadi orang paling beruntung karena punya putri seperti kamu."
"Maafin Aul ya Ma, seandainya-"
"Jangan ingat-ingat hal yang udah berlalu, lagi pula Mama lebih bahagia hidup seperti ini jadinya waktu sama putri kesayangan Mama lebih banyak, iya kan?" potongnya. Zia tidak mau melihat wajah sedih dari putri semata wayangnya, karena untuk sekarang Aul satu-satunya teman hidupnya.
"Aul bakal usahain biar nilainya gak turun, dan biar Mama gak ngomel lagi," ujarnya sambil terkekeh.
"Udah deh, sana kamu layanin pembeli," titah Zia.
Aulia cemberut. "Kenapa gak sama kak Zulfa aja sih?"
"Dia lagi sibuk Aul, lagi pula dia kan satu-satunya waitress yang kerja hari ini soalnya yang lainnya pada izin," jelasnya.
Dengan langkah berat dia meninggalkan Zia yang sedang merapikan kursi. Gadis itu menyimpan lapnya kemudian mengambil pulpen dan sebuah buku yang dipakai untuk mencatat pesanan pembeli. "Ayo semangatt!"
"Permisi, mau pesan apa Mas?" tanya Aulia ramah.
Aulia menatap buku daftar menu yang menutupi wajah sang pembeli, cowok berhoodie biru tua itu begitu sangat lama menentukan pesanannya membuat dia pegal berdiri.
"Mau saya rekomendasikan Mas? kalau memang Masnya bingung mau pesan ap-"
"Ck, sabarlah! gak sabaran banget ja-"
Tatapan keduanya beradu setelah cowok itu menutup daftar menunya.
"Resta?"
"Gery?"
Keduanya berteriak secara bersamaan membuat Zia yang sedang beres-beres mengalihkan atensinya pada kedua remaja yang terlihat sedang terkejut. Takut jika putrinya membuat kesalahan akhirnya dia mendekati meja yang dilayanin oleh gadis itu.
"Aul, kenapa teriak-teriak?" tanya Zia sambil mengusap bahu putrinya.
"Aul?" tanya Gery.
Zia menatap cowok itu sambil tersenyum. "Iya, ini anak tante yang sering tante ceritain sama kamu."
Resta membuka matanya lebar, mamanya mengenal Gery? bagaimana bisa?
"Kenalin, Resta Aulianti, anak satu-satunya tante yang bakal dijodohin sama kamu itu."
Deg
Dijodohkan dengan Gery? kenapa semesta sangat mendukung perasaan Gery sedangkan tidak mendukung perasaannya yang tidak mau dekat-dekat dengan seorang yang famous.
"Ayok kita duduk Aul," titah Zia sambil menggeser satu kursi untuk Resta duduk.
Dia nenurut saja, tidak baik juga jika tidak mendengarkan penjelasan mamanya.
Zia duduk berhadapan dengan Resta dan Gery. "Maafin mama ya Aul, sebenarnya ini belum waktunya kamu tahu tapi berhubung nak Gery ada disini jadi akan Mama jelaskan."
Resta menatap Zia serius, sedangkan cowok disampingnya sedang menatap Resta dari ekor matanya. "Kenapa semesta segila ini sama gue, gila!" batin Gery.
"Sebenarnya ini permintaan Papa, sebelum meninggal dia nitipin Aul sama Gery," ungkap Zia.
"Kenapa aku gak tau?"
Zia menatap lembut putrinya lalu menjawab, "Karena waktu itu kamu ngurung diri dikamar setelah kematian Papa, disaat Papa dirawat juga kamu sibuk main sama temen-temen kamu itu kan?"
Resta menunduk sedih, benar dulu dia tidak peduli dengan papanya yang sedang sakit, dia malah bersenang-senang bersama orang yang bahkan tidak menyukainya, mereka hanya ingin harta Resta dan sejak saat itu dia jadi pemilih untuk berteman. Hingga dia percaya pada Alya.
"M-maaf," ujar Resta diiringi isakan kecil.
Dia merutuki dirinya yang bodoh, seandainya waktu diputar kembali apa mungkin saat ini Papa akan berada diantara dia dan Zia? dan mereka tidak akan kesusahan seperti sekarang? apakah mungkin?
"Tante boleh izinin Gery ngobrol berdua sama Aul?" tanya Gery yang melihat Keadaan Resta semakin memburuk.
Zia pasrah kemudian meninggalkan mereka berdua.
"Kenapa lo gak bilang Ger?" tanya Resta dengan suara serak.
"Gimana gue kasih tau lo, sedangkan gue aja baru tau kalau lo itu suka dipanggil Aul sama nyokap, bokap lo."
"G-gue gak bisa, gak mungkin gue nikah sama lo."
Udara diparu-parunya terasa mengecil, padahal baru saja dia merasa bahagia karena gadis yang akan dia nikahi 2 tahun lagi adalah orang yang dia sayang. Tapi hanya dengan satu kalimat gadis itu meruntuhkan hatinya hingga jatuh berkeping-keping.
"Kenapa? lo gak suka banget ya sama gue?" tanya Gery sendu.
"Gue gak pantes buat lo, gue gak mau jadi omongan orang, gue-"
Ucapannya terhenti ketika sebuah kehangatan menjalar lewat kedua tangannya. Wajahnya mendongak dengan sisa air matanya yang masih mengalir, tatapannya kembali beradu, kini tidak ada jeritan atau penolakan dia hanya merasakan kenyamanan dari mata itu.
"Lo gak perlu khawatir, gue suka sama lo sejak SMP, lo tahu sendiri."
Iya, Resta tau cowok ini suka padanya dari dulu, tapi dia takut patah hati mengingat Gery sering menggoda cewek yang dia temui.
"Lo takut gue selingkuhin?"
Entah dorongan dari mana, Resta mengangguk.
"Lo tau gak alasan gue gak pernah nembak lo secara serius?"
Resta menggeleng pelan.
Gery menghela napasnya lantas tersenyum. "Karena gue takut gak bisa milikin lo, gue tahu kalau gue punya tanggung jawab buat nikahin anak orang, eh taunya cewek yang harus gue nikahin itu lo, cewe yang selama ini gue suka."
Perasaan hangat apa ini? mengapa hatinya jadi dagdigdug begini?
"By the way, Alya tahu tentang cafe lo ini?"
Resta kembali menunduk lantas menjawab. "Enggak, jangan kasih tahu dia biarin ini jadi rahasia gue, lo harus janji buat rahasiain semua hal yang terjadi hari ini."

KAMU SEDANG MEMBACA
You My Bucin [End]
Teen Fiction"Ilhamm...." "Ngomong apa? Cepetan!!" Gadis itu tersenyum lebar lalu mendekat lagi kearahnya. "Gue kayaknya suka deh sama lo, gue boleh ngejar lo gak Ham? " Sesaat dia terdiam menatap maniknya yang seakan terhipnotis. Namun beberapa detik kemudian d...