76. Sadar diri

127 3 0
                                    

"Ilham?"

Alya dikejutkan dengan dirinya yang berada di rumah sakit dengan Ilham yang tertidur sambil memegang tangannya.

"Dia nolongin Alya? Dia bolos sekolah?"

Alya mengalihkan pandangannya pada jam dinding yang ada diruangan, jarumnya menunjuk ke angka empat itu artinya dia pingsan kurang lebih selama satu jam.

Dia menarik pelan tangan yang digenggam oleh Ilham namun rupanya pergerakannya membuat cowok itu terbangun.

"Al, kamu udah sadar? Akhirnya," ucap Ilham senang.

"Ada yang sakit gak? Atau kamu mau makan? Mau minum? Mau-"

Alya terkekeh dengan sikap berlebihan Ilham, rasanya sudah lama dia tidak diperhatikan oleh cowok ini.

"Kok ketawa sih? Aku lagi khawatir ini bukan ngelawak,"

"Kebiasaan deh suka banyak nanya padahal aku baru sadar," balas Alya.

Ilham menatap gadis itu kesal, "wajar dong kalo aku khawatir sama calon istri, gak suka banget kayaknya dikhawatirin aku."

Alya semakin gemas dengan tingkah Ilham yang seperti anak kecil, dia jadi yakin sekarang bahwa dirinya masih menyukai pria ini.

"Ilham, bantu aku duduk," pinta Alya.

Dengan sabar cowok itu membantu Alya untuk duduk dan menyandarkan punggungnya dengan bantal sebagai penyangganya.

"Kamu mau makan Al?"

Gadis itu mengangguk. "Mau!"

"Yaudah aku beli dulu sebentar ya, mau bubur atau-"

"Aku mau sup ayam boleh?" selanya.

Ilham mengusap pelan puncak kepala Alya. "Boleh dong, apapun buat tuan putri. Tunggu sebentar ya."

Alya tersenyum menatap punggung Ilham yang menjauh dari ruangannya.

Sekitar sepuluh menit akhirnya cowok itu kembali dengan menenteng kresek putih berisi mangkuk yang terbuat dari styrofoam.

"Yeay akhirnya dateng, aku lapar banget," seru Alya dengan senyum mengembang.

"Makannya pake nasi ya." Ilham mengambil mangkuk itu kemudian membuka tutupnya. "Mau aku suapin?"

"Iya dong disuapin ayang, aku kan lagi sakit,"

Cowok itu terkekeh pelan kemudian memulai menyuapi Alya.

Dibalik kemesraan keduanya ada seorang cowok yang terdiam di ambang pintu sambil menenteng sebuah kantung kresek. Dia mengepalkan tangannya, rasanya saat ini dia ingin memukul wajah Ilham tapi dia urungkan karena dia kembali berkaca.

"Sadar Di, sadar, lo bukan siapa-siapanya Alya, dia gak bakalan pernah suka sama manusia kayak lo."

Dia memutar tubuhnya, hatinya kembali runtuh melihat kemesraan yang dibangun kembali oleh kedua manusia itu. Mungkin beginilah rasanya mencintai tanpa ada ancang-ancang, jujur saja perasaan ini muncul secara tiba-tiba karena becandaannya.

Seandainya waktu itu dia tidak terlalu perasa, mungkin dia tidak perlu kembali merasakan sakit.

"Loh Di, abis darimana?" tanya Devan yang tiba-tiba menepuk pundaknya.

"Ha-ah, gue abis dari ruangan Alya," jawabnya terkejut.

Dania menatap aneh pada cowok itu, "lo kenapa Di? Kayaknya lo lagi sedih gitu."

Aldian melirik ke samping Devan, gadis yang dulu pernah singgah di hatinya, luka pertamanya, dia tidak tahu harus menjawab apa karena sampai detik ini dia masih belum bisa mengungkapkan perasaannya sendiri. Dia terlalu takut.

"Woy bro-"

"Gue titip ini ya, bilang bukan dari gue takut gak dimakan soalnya." Aldian memberikan kresek itu pada Devan kemudian melenggang pergi.

Devan menatap bingung pada sahabatnya, entah apa yang terjadi pada orang itu, yang jelas dia akan menanyakannya nanti setelah menjenguk adiknya.

"Van, lo kenapa ikutan aneh kayak Aldian?"

Cowok itu memutar kepalanya menatap sang kekasih. "Hehe enggak dong, masa iya pacarnya seorang Dania ikutan gila," sahutnya.

"Kumat Alaynya!"

*****

Devan benar-benar datang ke rumah Aldian untuk menanyakan sikapnya tadi saat di rumah sakit. Cowok itu menatap sahabatnya dengan serius.

"Lo kenapa Di? Ada masalah apa lo sama Alya?" tanyanya to the point.

Aldian menaikan alisnya, "Hah? Lo kenapa random gini sih, apa urusannya gue sama Alya?"

"Udah deh lo terbuka aja sama gue, gini-gini gue kan sahabat lo dari kecil,"

"Gak, nanti lo malah nonjok gue, malu nanti tiba-tiba muka gue yang ganteng jadi jelek,"

Devan berdecak kesal, "ck, gue kesini beneran mau ngomong serius bukan mau becanda. Bisa gak lo serius dikit?"

Pada akhirnya Aldian menghembuskan napasnya pasrah, mau bagaimanapun nantinya Devan akan tahu tentang perasaannya pada adiknya.

"Janji lo gak bakal marah?" tanyanya memastikan.

"Janji,"

"Oke jadi sebenarnya gue suka Alya adek lo,"

"Anjing!!" umpat Devan dengan mata yang menajam. "Udah gue bilang lo-"

"Santailah, lo bilang gak bakalan marah," ucap Aldian takut.

Akhirnya cowok itu menghela napas untuk meredakan emosinya. "Oke, lanjut,"

"Gue suka Alya dan gue gak tau sejak kapan perasaan itu muncul. Gue tahu lo gak mau punya adek ipar kayak gue dan gue  juga gak mau punya kakak ipar galak kayak lo,"

Devan semakin ingin menonjok wajah sahabatnya namun seketika dia mengurungkan niatnya karena lanjutan cerita Aldian.

"Setiap gue deket sama Alya gue merasa dekat dengan nyokap gue, lo tahu sendiri kan? Nyokap gue udah gak ada dan yang paling gue sesali adalah ketika saat terakhirnya gue gak ada bareng dia," ungkap Aldian sambil menunduk.

"Tapi gue gak bakalan pernah mau memaksakan perasaan gue, ya walaupun mungkin yang disini," Dia memegang dada sebelah kanannya. "Ada hati gue yang merasa remuk karena ngeliat kedekatan Alya sama Ilham."

"Sesuka itu lo sama adek gue?" tanya Devan.

Aldian mengangguk mantap, "sangat Van, gue gak pernah main-main sama perasaan karena gue tau gimana rasanya dipermainkan."

"Kenapa lo gak coba kejar aja adek gue?" tanyanya lagi.

"Sekeras apapun gue berusaha mengejar seseorang yang udah melabuhkan hatinya sama orang lain, semuanya itu bakalan percuma, yang ada nantinya lo bakal makin sakit karena perasaan lo gak terbalaskan dan itu move-onnya lama banget."

Aldian menepuk pundak sahabatnya sambil tersenyum, "gue titip Alya ya, jangan sampai dia salah milih pasangan."

Devan hanya mengangguk sebagai balasan.

"Gue berencana buat kuliah di luar negeri, sekalian lupain perasaan gue ke Alya," ungkap Aldian membuat Devan membuka matanya lebar.

"Lo mau ninggalin gue? Bukannya kita udah janji bakalan kuliah bareng-bareng? Lo jahat Di," balas Devan kecewa.

"Apa lo juga tega biarin hati gue sakit terus karena inget sama adek lo?"

Devan terdiam, melupakan itu memang sulit tidak ada cara instan untuk melupakan seseorang yang dicintai secara tiba-tiba, dia tidak boleh menyiksa batin sahabatnya.

"Maafin gue Di, gue seharusnya terima keputusan lo karena itu hak lo, gue harap lo segera lupain Alya, gue mau yang terbaik buat lo," ucap Devan mendukung keputusan sahabatnya.

"Thanks banget ya Van, lo-"

"Assalamu'alaikum!! Pah! Aku pulang!! Angga pulang!"

You My Bucin [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang