18. Berubah

295 11 0
                                    

"Ilham, boleh anterin Alya pulang gak?" tanya Alya dengan nada manja.

"Gak!"

Ilham menaiki motornya lalu menghidupkan mesinnya, tanpa banyak bicara gadis di depannya malah ikut naik ke jok belakang dengan wajah tersenyum.

"Makasih Ilham."

Cowok itu mendengus. "Lo tuli? gue bilang, gue gak mau anterin lo pulang!" sarkasnya.

Alya masih mempertahankan senyumnya. "Kenapa kamu galak banget sih?"

"Ilham jadi nganterin aku?"

Atensi kedua anak manusia itu teralihkan pada seorang gadis yang sedang tersenyum manis sambil membawa beberapa buku di dadanya.

Wajah Ilham berseri melihat gadis itu. "Jadi kok, ayok!"

"Loh kamu kan mau anter aku Ilham," ujar Alya tak terima.

"Lo gak denger gue bilang apa tadi? atau perlu gue sered lo dari motor gue?"

Entah mengapa Ilham jadi sejahat ini pada Alya padahal kemarin-kemarin Ilham tidak terlalu begitu kasar padanya.

"Aku gak bakalan turun."

Ilham turun dari motornya lalu dia menarik lengan  Alya dengan kuat dan menghempaskannya dengan kasar membuat gadis itu jatuh mengenai tanah.

"Aww." Alya meringis menahan sakit.

Mengapa dia berubah dalam waktu sehari? apa karena Alya saudara tiri Devan? atau mungkin karena Ilham mendengar bahwa Alya ini anak haram?

Alya memandangi kedua sejoli yang sudah mulai hilang dari pandangannya, mengapa sesakit ini ditinggal tanpa penjelasan? mengapa dia selalu kalah dari Melya, kenapa?

"Lo kenapa suka banget sama si Ilham sih?" tanya Irgi sambil membantu gadis itu bangun.

Cowok itu baru ingin mengambil motornya namun perhatiannya teralihkan karena melihat perdebatan teman sekelasnya dan Melya. Dia tahu tadi Ilham sudah membuat janji untuk mengantarkan wanita yang dia suka, tapi tak disangka Ilham akan berbuat jahat seperti barusan.

Alya menepuk rok dan tangannya yang kotor lalu menatap Irgi kemudian menjawab "karena Ilham baik dan perhatian."

"Gue gak puas sama jawaban lo."

"Pokoknya gue punya alasan dan lo gak perlu tau! "

"Gue bisa bantuin lo."

Alya menatapnya tajam. "Gue gak perlu bantuan lo! gue bisa sendiri."

Gadis itu berjalan menjauh dari Irgi namun langkahnya terhenti ketika cowok itu berteriak.

"Lo harus tahu kalo Ilham juga suka sama lo cuma dia gak sadar!"

Jujur saja Irgi sedikit kasihan pada Alya karena perlakuan tidak pantas seperti barusan. Dia bisa lihat rasa ingin tahu Ilham mengenai kehidupan Alya, namun dia tidak tahu penasaran itu karena ada rasa suka atau hanya ingin tahu, tapi ia yakin bahwa temannya itu memiliki rasa suka pada Alya meskipun sedikit.

"Bro, lama banget ambil motornya."

Irgi menatap Erik sebal. "Tunggulah ini gue juga mau ambil motornya."

"Lo abis ngapain dah lama banget perasaan."

"Abis liat drama!"

Irgi menaiki motornya lalu menyalakan mesinnya. "Ayok," ujarnya.

Erik menaiki motornya kemudian dia kembali bertanya, "drama apa sih? kok gue gak tau."

Irgi melajukan motornya menjauhi halaman sekolah, selama 5 menit cowok itu tidak menggubris pertanyaan Erik membuatnya kesal sendiri.

"Lo kenapa gak jawab pertanyaan gue sih?" kesal Erik.

"Hah? pertanyaan yang mana?" tanya Irgi dengan sedikit berteriak.

"Lo liat drama apaan tadi?"

Irgi mengangguk. "Oh, itu drama ketos kita sama buronannya."

"Lah, bukannya tuh anak mau anterin si Melya ya?"

"Emang, tapi si Alya duluan duduk dimotornya."

Erik menepuk pundak Irgi membuat sang empu merutuk dalam hatinya.

"Kok lo gak ngabarin gue sih? kan gue bisa tuh anterin si Alya pulang kasian."

Semenjak dia tahu bahwa Alya sepupunya, Erik jadi membuka fikirannya untuk melindungi gadis itu, jujur dia sangat senang mempunyai sepupu perempuan karena di keluarganya hanya terdapat sepupu laki-laki.

"Dih lo aja nebeng sama gue sok mau anterin si Alya," cibirnya.

Erik menepuk kembali pundak Irgi. "Gue terpaksa numpang karena motor gue lagi diservis sama bokap gue!"

"Bisa gak lo jangan pukul gue terus? mau gue turunin ditengah jalan lo!?"

"Hehe, jangan dong masa lo tega sama sahabat lo yang ganteng baik hati dan juga tajir ini."

*****

Rumah. Alya selalu bertanya apa definisi rumah itu, karena setiap harinya yang dia rasa seperti ada di neraka bahkan sebelum ayahnya membawa wanita lain masuk ke rumahnya. Ibunya terkadang selalu memarahinya, atau bahkan memukulnya.

Dulu, ayah bilang bahwa ibunya memiliki kelainan jiwa dan dia dibawa ke psikiater esok harinya setelah memukuli Alya. Namun, dokter tidak mengatakan apa-apa tentang penyakit yang diderita ibunya, dokter hanya menyarankan agar ayah lebih menyayangi ibu dan selalu ada dirumah.

Alya yang waktu itu masih berumur 10 tahun hanya bisa diam, dia tidak tahu apa yang terjadi dengan kedua orang tuanya, hingga dia tahu sekarang bahwa keduanya tidak saling mencintai sejak dulu. Entah apa alasannya Alya tidak tahu. Tapi mereka berdua selalu berusaha untuk membuat Alya bahagia sampai dia duduk dibangku SMP.

Setelahnya semuanya menjadi asing baginya, rumahnya yang hidup kini mati, kebahagiaan dalam hidupnya pun redup, dia tidak tahu harus menjalani hidupnya seperti apa, apa mungkin dia harus selamanya seperti ini? seperti robot?

Setidaknya Devan masih mau meminjamkan kosannya, sepulang sekolah juga Devan membawakan koper berisi baju Alya yang sudah disiapkan oleh pembantunya, Alya yang menyuruhnya. Entah mengapa cowok itu sekarang nurut dengan Alya, bahkan dia juga yang meminta izin pada ayahnya untuk membiarkan Alya menenangkan dirinya dikosan milik Devan.

Ingatkan Alya bahwa dia saat ini dan sampai kapanpun akan membenci cowok itu. Dia tidak akan memaafkan bagaimanapun dia memohon untuk berbaikan dengannya.

"Lo lagi ngelamunin apa?"

Astaga Alya lupa jika Devan masih ada disini duduk sambil memainkan gitarnya.

"Gue lagi mikirin ulangan besok," kilahnya.

"Sejak kapan lo mentingin nilai?"

"Sejak lo masuk ke rumah gue dan menetap didalamnya, gue ambil ancang-ancanglah, gak sudi gue kalo harta kekayaan bokap gue jatuh ke tangan lo semua."

Devan terkikik geli mendengar jawaban dari adik tirinya, memang Alya ini sangat menggemaskan ingin rasanya dia mencubit pipinya yang gembul itu.

"Heh! mau apa lo?" tanya Alya ketika menyadari tangan Devan hendak memegang pipinya.

"Gue pengen nyubit lo."

"Enak aja cubit-cubit, inget! gue itu belum maafin lo, kita ini musuhan."

Ruangan kecil ini terdengar nyaring akibat perdebatan dua saudara itu, tanpa mereka sadari ruangan itu terasa hidup dan hangat dibandingkan rumah besar yang biasa mereka tinggali.

"Ayolah Al gue pengen cubit pipi lo, gue iri sama Aldian yang suka nyubitin pipi adeknya," rengek Devan sambil mengerucutkan bibirnya.

"Kak Aldian itu adeknya masih umur 5 tahun, yakali mau disamain kek gue! lagian gue itu bukan adek lo Devan."

Menyebalkan. Devan langsung saja mencubit pipi Alya dengan kuat lantas tersenyum senang.

"Devan! Sakit bangsat!"

You My Bucin [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang