FATE 04

32.9K 1.4K 27
                                    

Sera kelebihan ASI, ukuran buah dadanya yang lebih besar dari anak-anak seusianya membuat kesuburan ASI melimpah, tidak disedot bayinya pun ASInya terus keluar dan Sera harus terus memompa dan membuangnya karena jika dibiarkan terasa sakit.

“ASI kamu subur banget, biarin dedeknya asi eksklusif enam bulan ya, Ra. Kamu gak keberatan, kan?” tanya Alma ketika melihat keponakannya menyedot puting Sera dengan rakusnya.

“Keberatan kenapa, Kak? Dia kan anak aku,” balas Sera sedikit merasa tersinggung.

Alma tersenyum dan mengangguk saja mendengar jawaban Sera, menunggu si bayi terlelap dulu.

“Ra, ini kamu tanda tangan di sini, ya? Kamu boleh baca dulu semuanya.” Kak Alma menyerahkan beberapa lembar kertas pada Sera setelah Sera menidurkan bayinya di tempat tidur khusus bayi.

“Harus banget sekarang, Kak?” tanya Sera yang mendadak lemas membaca judul dari berkas tersebut.

Sebuah surat perjanjian tentang adopsi anak.

Isinya yang Sera baca pertama kali adalah; Sera tidak dalam paksaan memberikan anaknya, apapun yang terjadi Sera tidak boleh mengaku sebagai ibunya pada anaknya suatu hari nanti.

Baru dua poin saja Sera sudah sesak lebih dulu, tidak mampu melanjutkan bacaannya lebih banyak lagi.

“Kak, aku gak bisa,” lirih Sera menyerahkan kembali berkas itu.

Kak Alma menghela napas beratnya, cukup memahami apa yang dirasakan Sera.

“Ra, masa depan kamu masih panjang. Kamu harus lanjutin dan jangan berakhir cuma menjadi seorang ibu, kamu masih bisa nikmatin masa muda kamu dan tetep masih bisa ketemu dan main sama anak kamu kapanpun kamu mau,” lirih Kak Alma mencoba memberi pemahaman pada Sera.

“Ra, ini yang terbaik buat kamu juga buat anak kamu. Kamu mau, kan, memberikan yang terbaik buat anak kamu?” Sera masih diam dan hanya menunduk.

“Ra, Kakak sama Mas Bayu sama-sama gak bisa punya anak. Kakak pasti menyayangi anak kamu melebihi apapun.” Mendengar ucapan Alma malah membuat Sera semakin terisak, ia tidak mau dipisahkan dengan anaknya, itu saja.

“Ra, Kakak ngerti apa yang kamu rasa. Kamu gak akan pernah kehilangan anak kamu, kita urus sama-sama, sama Jendra juga.”

“Ra, kamu masih mau lanjut sekolah, kan? Jalan satu-satunya cuma ini, gak boleh ada yang tahu kalau kamu udah punya anak.”

“Kak,” isak Sera. “Bisa gak tanda tangannya jangan sekarang, bayi aku baru aja lahir.”

“Karena itu, secepatnya harus kamu tandatangani, anak kamu butuh kejelasan dan identitas. Kakak harus pura-pura abis lahiran kalau kamu lupa,” balas Alma tetap dengan nada tenang dan lembut.

Dan setelah semua bujukan akhirnya Sera menandatangi surat itu, ia enggan membaca semua poin karena itu menyakitkan untuknya.

“Makasih ya, Ra, kerja samanya. Kakak janji bakal bahagiain dia seperti anak kandung Kakak sendiri.” Sera tak membalas apapun, tangannya serasa gemetar setelah menandatanganinya dengan perasaan sesak dan sakit.

“Jendra juga bakal tanda tangan karena dia ayah biologisnya.”

“Oh iya, kamu kapan mau lanjut ke sekolah umum lagi? Secepatnya lebih baik ya biar kamu bisa happy sama temen-temen kamu lagi.”

“Terserah Kakak aja,” balas Sera pelan.

“Mau balik ke sekolah lama atau pindah ke sekolah baru aja?” tanya Alma antusias.

“Sekolah lama aja, Kak. Biar ada Jendra.”

“Oke, soal biaya sekolah dan uang saku kamu semuanya Kakak yang nanggung sampai kuliah kamu. Tempat tinggal juga kamu boleh tetep tinggal di sini kita sama-sama ngurusin anak kita, ya?” Mendengar ucapan terakhir Alma membuat Sera langsung mengangkat wajahnya dengan binar di mata.

Fate and PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang