FATE 23

16K 898 14
                                    

“Besok-besok boleh ya, Ser, kita-kita main lagi ke sini.” Milla memeluk Sera sebagai tanda perpisahan.

Sedangkan Jendra sangat enggan mengangkat bokongnya dan meninggalkan Sera dan Ardana di kosan ini hanya berdua. Andai saja dirinya bisa menunjukan sandiwara Ardana dan Sera saat ini, tentang kosan ini sebenarnya hanyalah kedok untuk menutupi Sera yang sebenarnya tinggal di rumahnya.

“Yang, kok masih duduk aja!” Viola yang sudah di luar kembali ke dalam dan merengek seperti anak kecil.

Dengan konyolnya Jendra malah menggeliat ogah-ogahan, yang Jendra inginkan sekarang itu menarik Sera dan membawanya pulang.

“Kamu pulang sama Rinka sama Milla bisa gak, Vi? Aku ada urusan dulu sama Ardana,” kilah Jendra yang spontan berbohong.

“Kenapa bawa-bawa gue?” timpal Ardana tak terima, ia juga tahu maksud Jendra itu apa.

Rahang Viola mengeras dan semakin kencang menarik tangan Jendra. “Gak usah alesan!” geramnya yang tidak bisa menghilangkan rasa cemburunya pada Sera.

“Ya udah ya udah kamu tunggu di luar aku mau ngomong dulu sama Ardana.” Jendra memaksakan senyum manis dan merapikan rambut Viola lalu mengusap pipinya yang merengut itu. Tak ayal gadis itu langsung luluh meski dengan raut muka masih kusut.

“Sepenurut itu ya lo sama Viola?” Ardana tertawa kecil.

Jendra ingin berkata kasar dan memaki Ardana, namun ia menahannya karena di depan Sera. Jendra harus belajar sabar untuk mendapatkan hati Sera kembali.

“Cepet lo mau ngomong apa sama gue? Cewek lo udah nunggu tuh!” Ardana dengan sengaja merangkul bahu Sera dan mengusap-usap lengan perempuan itu.

Jendra semakin geram dibuatnya, panas dan sangat benci melihat Ardana seberani ini.

“Ser, cepet pulang! Gak lupa ‘kan kalo Joe lagi demam?” ujar Jendra dengan pelan. Tanpa melirik Ardana sedikitpun, Jendra langsung keluar.

“Joe keponakan Jendra yang waktu itu?” Ardana melirik Sera.

Sera mengangguk dan senyum tipis. “Iya, aku harus cepet pulang.”

Ardana menahan Sera yang hendak berdiri itu. “Kan ada orang tuanya, Ser. Neneknya juga. Kamu gak harus repot ngurusin dia.”

Sera yang berdiri membelakangi Ardana itu memejamkan matanya kuat. Karena aku orang tuanya Joe.

“Aku udah sayang banget sama Joe, Joe juga maunya sama aku terus,” jawab Sera pelan, menunduk memunguti sampah snack dan membereskan beberapa kekacauan yang sudah dibuat teman-temannya.

Ardana lagi-lagi mencekal pergelangan tangan Sera. “Kamu udah kayak istri beneran Jendra kalo gini.”

“Gak ada hubungannya sama Jendra, aku sayang sama Joe bukan karena dia keponakan Jendra.” Nada bicara Sera masih tenang, walaupun sebenarnya emosinya mulai naik.

“Tetep aja, aku gak suka, aku cemburu.” Ardana mendengkus di akhir kalimatnya.

Sera tertawa kecil. “Cemburu? Sama anak bayi?”

“Ini bukan masalah bayinya, tapi tentang fakta dia keponakan Jendra. Aku gak suka.”

Sera melirik heran. “Kenapa kamu tiba-tiba jadi kekanakan gini, sih?”

“Tetap di sini. Jangan ke mana-mana. Joe bukan tanggung jawab kamu.” Tatapan Ardana hari ini lain dari biasanya.

Sera benci dipaksa-paksa, dia hanya diam dan fokus membersihkan dan merapikan kosan sandiwaranya itu, tak mempedulikan Ardana yang duduk bersantai di atas sofa.

Fate and PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang