Sera menatap bayangan wajahnya di cermin dan tersenyum menyemangati diri.
“Makasih, Sera. Lo udah sekuat ini,” gumamnya sambil menepuk-nepuk pelan pipinya memakai bedak.
“Mulai detik ini lo bisa mengganggap bahwa yang sudah terjadi hanyalah mimpi,” lanjutnya lagi kini mengoleskan liptint di bibirnya.
Tidak menor, tapi berhias itu perlu. Terlebih lagi bagi Sera itu salah satu melupakan masalah dan bentuk mengekspresikan diri agar tidak stres.
Setelah memastikan semuanya rapi ia keluar, dan berjalan untuk kembali ke kelasnya. Namun, ia dikejutkan karena harus berpapasan dengan Jendra.
Padahal masih di kejauhan, tapi Sera merasa deg-degan. Ia tidak mengerti kenapa harus seperti ini, tapi tatapan sayu Jendra benar-benar mampu menyentuh hatinya, apalagi di saat pemuda itu tersenyum.
Wajah Jendra benar-benar persis dengan Joe, Sera seperti melihat Joe versi dewasanya. Tanpa sadar Sera juga tersenyum karena mengingat anaknya.
“Hai,” sapa Jendra.
Sera tidak mengerti kenapa dirinya harus berhenti sampai mereka berhadapan seperti ini, padahal harusnya lanjut jalan aja.
“Aku seneng akhirnya kamu sekolah, dan lihat kamu baik-baik aja,” ujar Jendra setenang mungkin.
Padahal hatinya begitu ribut, ingin bertanya banyak hal. Kamu tinggal di mana, apa tempatnya nyaman, apa kamu makan dengan teratur dan lain sebagainya. Tapi, Jendra menahannya. Ia harus bisa membatasi diri.
“Ya, kayak yang lo lihat,” balas Sera tersenyum lebar.
Senyuman Sera benar-benar menghujam jantung Jendra, begitu cantik, apalagi Sera mengenakan sedikit blush on di wajahnya hingga tampak wajahnya merona. Jendra harus mengatakan, dia jatuh cinta lagi dan lagi pada perempuan di depannya itu.
“Gue duluan, ya?” Sera kembali tersenyum dan melangkah lebih dulu.
“Ser!” Namun Jendra dengan cepat memanggil membuat langkah Sera kembali terhenti.
“Kamu gak mau nanya kabar tentang Joe?” tanyanya pelan.
Sera mengangkat kedua alis seolah tidak peduli. “Gue percaya Kak Alma pasti melakukan yang terbaik,” balasnya datar, padahal dalam hatinya memekik karena ngilu.
Setelah itu Sera berbalik lagi dan melanjutkan langkahnya dengan setetes cairan bening mengalir di sudut mata indahnya. Ia harus menjadi orang munafik untuk melindungi dirinya sendiri dan juga Joe. Karena Sera tahu jika ia tidak bisa menentang hatinya itu sama saja dengan menyiksanya berkali lipat.
“Padahal kemarin Joe demam tinggi sampe kejang, Ser,” gumam Jendra begitu lirih memandangi punggung Sera yang semakin menjauh.
Jendra menunduk dan tersenyum tipis, apalagi ia merasa hari ini Sera terlihat lebih bahagia, lebih cantik dan senyumnya begitu lebar. Itu pasti karena Sera terlepas darinya, Jendra membatin miris.
Mungkin inilah yang selalu orang katakan dan terjadi padanya, bahwa puncak mencintai adalah melepaskan.
“Asal kamu bahagia, Ser,” gumam Jendra lagi kini mengangkat wajahnya dan tersenyum dengan luka yang menganga di dalam.
Di sisi lain Ardana langsung tersenyum begitu tak sengaja bertemu sang kekasih.
“Mau ke mana?” tanya Ardana dengan binar bahagia di matanya, dan Sera langsung tersenyum dengan manis. Ardana juga merasa bahwa aura Sera sekarang berbeda dari biasanya, sepertinya vibrasi Sera hari ini benar-benar meningkat.
“Mau gabung sama Milla Rinka sih sebenarnya ngegibah di pojokan kelas,” jawab Sera sedikit terkekeh.
Ardana berdecak dan menatap penuh damba sang tambatan hati dari samping. “Mending pacaran aja sama aku yuk daripada gibah?” ajaknya sambil menaik turunkan kedua alisnya dengan narsis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate and Pain
Teen FictionHamil dan menjadi orang tua di bangku sekolah. 🔞 Menguras emosi ⚠️ *** Satu tahun menghilang, tidak ada yang tahu bahwa siswi yang kembali ke sekolah yang sama itu kenyataannya telah mengandung dan melahirkan anak dari Jendra Adisaka Bumi, pemuda p...