Sembilan bulan Sera mengandung dan tidak sekalipun Jendra berada di sisinya. Saat bayinya menendang Sera hanya bisa mengelus dan mengajak bayinya bicara sendiri, dan rasanya itu sangat menyedihkan bagi Sera.
Ia tahu setelah lahir nanti bayinya tidak bisa memanggilnya mama ataupun ibu, tapi hanya kakak atau tante. Sera tidak punya pilihan lain, perlakuan ibunya padanya membuatnya menyerah untuk semuanya.
Sera akan menyerahkan bayinya pada Kak Alma, toh Kak Alma orang baik dan masih ada darah Alma yang mengalir di tubuh bayinya, Alma adalah orang yang tepat untuk membesarkan bayinya. Pigur ayah ibu lengkap akan anak itu dapatkan, kehidupan berkecukupan akan membuat anak itu bahagia, begitu pikir Sera yang saat ini masihlah belum dewasa.
Sampai hari ini pun Sera bersiap melahirkan, perut mulas sudah ia rasakan sedari kemarin.
"Kak Alma, please. Aku cuma mau Jendra di samping aku nemenin aku lahiran," lirih Sera menghapus air matanya.
"Kakak sama Mama udah minta Jendra pulang dari kemarin, Ra. Kamu sabar, ya. Kamu harus kuat, di sini kita juga keluarga kamu." Kak Alma jelas tahu apa yang dirasakan orang yang mau melahirkan seperti Sera, ia seorang dokter kandungan dan sudah terbiasa menghadapi orang seperti Sera.
"Iya, Ra. Mama di sini, Mama ada buat kamu dan cucu Mama," ujar Farah mengelus surai Sera.
Sera tetap merasa hampa meskipun selama ini Kak Alma dan Mama Farah begitu baik padanya, Sera merasa ada yang kurang tanpa ada Jendra di sisinya. Setidaknya hari ini saja Jendra ada menemaninya untuk melahirkan anaknya.
"Jendra pulang!" Suara terdengar dari ruang tengah.
"Ma, ada penting apa sih?" teriaknya."Jendra, Sera mau lahiran. Jangan buat dia sedih, temenin dia cepet!" ujar Alma langsung menarik Jendra.
"Kakak apaan sih, kan udah janji aku gak bakal ikut-ikutan."
"Hari ini aja! Kamu tunjukkan kepedulian kamu sama Sera, dia butuh kamu di sisinya."
Senyum Sera langsung lebar begitu melihat Jendra di depannya. Ya, Sera tidak akan dibawa ke rumah sakit, Alma yang seorang dokter jauh hari sudah menyiapkan segala kebutuhan untuk hari ini.
"Jen, di samping Sera, ya? Sera butuh kamu," ujar Farah kini, jika itu permintaan Mamanya Jendra benar-benar tidak bisa membantah lagi.
Sampai beberapa jam kemudian, tibalah pada saatnya perut Sera benar-benar mulas pada puncaknya, dan Kak Alma memberitahu sekarang memang waktunya.
Rasanya sakit luar biasa Sera rasakan, rasa panas pun di sekujur tubuh turut ia rasa. Keringat dingin membanjiri pelipisnya, dan Jendra di sisinya spontan menggenggam tangan Sera dengan perasaan gelisah dan tidak tega melihat wajah kesakitan Sera. Sedangkan mamanya Jendra sedari tadi menangis mendampingi Sera, padahal sudah diwanti-wanti oleh Alma untuk tidak menangis di depan orang yang sedang berjuang melahirkan.
"Kamu tetap tenang, Sera. Tarik napas dan keluarkan pelan-pelan," ujar Kak Alma.
"Sakit, hks. Gak kuat lagi," lirih Sera seakan kehabisan tenaga, ia lirik Jendra di sampingnya wajahnya begitu pucat.
Jendra tersenyum dan perlahan mengelus rambut Sera. "Kamu pasti bisa, Ser. Ayo, semangat buat anak kita. Maafin aku, ya, selama ini," ujarnya dengan sungguh-sungguh. Sebrengsek-brengseknya seorang Jendra, ia tetap tidak tega melihat Sera yang tengah berjuang melahirkan anaknya sekarang ini.
Sera mengangguk dan seperti mendapat energi dari perkataan Jendra barusan, mungkin juga ikatan batin dengan anaknya. Seketika itu juga tangisan bayi terdengar memenuhi ruangan.
Jendra menangis karena rasa sedih menyelimuti hatinya, begitu juga rasa bersalah karena telah menyakiti Sera dan tidak pernah benar-benar menganggapnya.
"Ganteng banget, Jen. Mirip kamu lho. Gendong dulu, ya. Kakak mau urusin Sera," ujar Kak Alma menyerahkan bayi merah itu yang belum diapa-apakan, bayi mungil itu kini hanya terbungkus selimut.
Semuanya selesai, dan Sera tak bisa hentinya tersenyum karena haru. Sedari tadi pandangannya tak lepas dari bayinya dan juga Jendra. Jendra yang juga menatap penuh kagum si bayi.
Sepanjang dijahit pun rasanya Sera tak merasakan sakitnya, pandangannya hanya terfokus pada satu titik dan ia ingin segera mengambil alih buah hatinya itu.
"Kamu hebat, Ra. Kamu udah bertahan sejauh ini, makasih, ya?" ujar Kak Alma merasa lega semuanya berjalan lancar.
"Iya, makasih juga, Kak. Udah bantu aku lewatin semua ini."
"Nah liat kan perjuangan cewek kayak gimana?" Kak Alma kini menatap tajam adiknya itu. "Makanya jadi cowok jangan mau enaknya aja, kamu juga harus hormatin semua perempuan kayak gimanapun keadaannya!"
"Iya, iya," sahut Jendra pelan.
"Dari tadi Mama pengen gendong gak bolehin, udah lahir sayang kan sama bayinya?" ujar sang Mama yang sedari tadi hanya bisa mencubit pipi bayi mungil itu.
"Jen ...," panggil Sera lirih, semua pun menoleh.
"Udah kamu adzanin bayinya?" tanya Sera pelan.
"Adzan?" Jendra mengangkat sebelah alisnya.
"Iya, Jen. Kamu adzanin," sambung Kak Alma setuju.
"Telinga kanan apa kiri?" tanya Jendra bingung.
"Dua-duanya, kanan adzan, kiri iqomat," jawab Alma yang sudah sering mendampingi orang lahiran dan bayinya diadzani.
Akhirnya Jendra pun mengumandangkan adzan di telinga bayinya itu dengan suara rendahnya, membuat air mata Sera tak tertahankan lagi, ia bahagia dan terharu saat ini.
"Iya bener mirip kamu," lirih Sera memandang bayinya yang kini dalam gendongannya.
"Maafin perlakuanku selama ini, ya?" ujar Jendra memandang dalam mata Sera yang sedari tadi tak hentinya berkaca-kaca.
"Kenapa baru minta maaf sekarang?" tanya Sera pelan.
"Jujur, lihat perjuangan kamu lahirin anak kita ... semuanya ... rasanya ... bikin aku sadar semua kesalahanku sama kamu, selama ini aku cuma nyakitin kamu."
Air mata Sera langsung menetes, luka yang diberikan Jendra padanya memang terlalu banyak.
"Untungnya aku gak ngerasain ngidam itu kayak gimana," decak Sera pelan.
"Bayangin kalo aku ngidam pengen ini itu tengah malam, mau ngandelin siapa?" lanjutnya tertawa kecil.
"Untungnya baby kita ngerti, dia gak rewel dan gak banyak maunya sedari dalam kandungan, ya. Gak banyak ngerepotin orang-orang, dia tahu mamanya gak sanggup, kasihan dia sama mamanya." Sera mengusap air matanya dengan kasar.
"Ser," lirih Jendra menggenggam tangan Sera.
"Tentang anak kita ini ... kamu setuju mau serahin ke kakak aku?"
Sera menunduk dan langsung diam menatap wajah damai anaknya itu. "Kalo aku boleh milih, aku mau sama-sama sama anak ini terus sampai akhir," jawabnya pasti.
"Aku yakin semua ibu di muka bumi ini yang udah ninggalin anaknya pasti karena terpaksa, termasuk ibuku yang udah ngusir aku."
"Ser, apapun yang kamu pikirin, kita ini masih terlalu muda. Kita masih SMA, terlalu dini untuk menjadi orang tua. Karena menjadi orang tua itu bukan sebatas mampu memberi uang jajan dan segala kebutuhan. Kita serahin aja ya ke Kak Alma? Anak kita semuanya terjamin kalau sama Kak Alma, kita juga masih bisa ketemu anak kita kapanpun kita mau."
"Kamu enteng ngomong gitu karena bukan kamu yang ngandung dan ngelahirin dia." tutup Sera memeluk erat bayinya dan menangis tersedu.
tbc
Gimana bab ini, guys? 😢
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate and Pain
Teen FictionHamil dan menjadi orang tua di bangku sekolah. 🔞 Menguras emosi ⚠️ *** Satu tahun menghilang, tidak ada yang tahu bahwa siswi yang kembali ke sekolah yang sama itu kenyataannya telah mengandung dan melahirkan anak dari Jendra Adisaka Bumi, pemuda p...