FATE 34

12.3K 748 13
                                    

Sera tersenyum namun lukanya begitu dalam menatap Joe yang tertidur pulas. Malam ini malam terakhir Joe di rumah itu, karena besok pagi Alma akan membawanya pindah.

Diusapnya rambut Joe penuh sayang, lalu mengecup keningnya dan kedua pipinya bergantian. Dan Joe sama sekali tak terganggu dengan yang dilakukan Sera itu.

“Mama bakal kangen terus, sehat-sehat terus ya sayang. Mama akan terus doakan Joe,” gumamnya sambil mengusap air matanya.

“Udah kuduga kamu gak tidur.” Jendra muncul dan menutup pintunya, menghampiri Sera dengan duduk di sampingnya.

Sera hanya diam dan tatapannya tak teralihkan dari anaknya itu.

“Ini juga berat buat aku, Ser,” gumamnya yang mengerti tatapan sendu perempuan itu.

“Jangan sedih terus, ya? Aku janji bakal sering-sering ajak kamu main ke rumah Kak Alma.” Jendra mengusap lembut surai Sera.

Sera menunduk dengan suara bergetar, “Aku gak pernah benar-benar mau aborsi dia waktu itu, aku putus asa, Jen,” lirihnya dengan sesak karena mengingat ucapan Alma bahwa dirinya bersikeras mempertahankan kandungan Joe waktu itu, hingga yang paling berhak atas Joe saat ini adalah Alma.

Jendra menggenggam tangan Sera dan mengangguk. “Aku ngerti, Ser,” balasnya mengeratkan genggaman tangannya.

“Apa suatu saat nanti Joe akan membenci kita setelah tahu kita berdua pernah berencana mengaborsinya?” tanya Sera lirih dan terdengar jelas nada ketakutannya.

Jendra menggeleng. “Nggak, Ser. Kalaupun itu terjadi, Joe pasti tahu dan mengerti apa yang kita rasakan saat dulu.”

“Jangan pikirkan apapun lagi, yang terpenting untuk kita sekarang ini kebahagiaan Joe yang utama.” Jendra menarik Sera ke dalam pelukannya dan perempuan itu langsung membenamkan wajahnya di dada bidang Jendra.

“Maaf aku gagal mempertahankan Joe buat kamu di sini.” Tanpa sadar Jendra mengecup pucuk kepala Sera berkali-kali, rasa penyesalan benar-benar menggerogotinya dengan penuh sesak.

“Kita berikan kesempatan Kak Alma untuk bisa merasakan menjadi orang tua yang sesungguhnya.” Sera semakin mengeratkan pelukannya pada punggung Jendra, ia masih belum bisa ikhlas untuk melakukannya.

“Janji, ya, Jen. Sering-sering ketemuin aku sama Joe,” bisiknya pelan.

Jendra langsung mengangguk dan menjawab, “Iya, Sayang.”

Entahlah Sera hanya diam ketika Jendra memanggilnya sayang dan melupakan Ardana yang sudah ada di hidupnya dan harus ia jaga perasaannya. Ia hanya membiarkan Jendra terus memeluknya erat dan membuatnya merasa tenang.

Tiba-tiba mata Jendra melirik ponsel Sera yang menyala di atas kasur tanpa dering dan getar, dilihatnya nama Ardana tertera di sana. Membuatnya menyunggingkan senyum karena nama Ardana di kontak Sera tidak sespesial dirinya saat berpacaran dengan Sera dulu yang dinamai My Love.

Kamu ke Ardana gak sebucin sama aku dulu, Sera. Jendra bergumam dalam hati dan kesenengan sendiri. Semakin mengeratkan pelukannya penuh cinta dan mengusap punggung perempuan itu.

“Ayo sekarang tidur, ya?” bisik Jendra melepas pelukannya dan menatap Sera dengan dalam.

Mata Sera begitu sembab, perlahan Jendra juga merapikan rambut Sera dan mengusap wajah basah itu penuh sayang.

“Kita tidur bareng-bareng Joe, ya?” ujarnya dan Sera mengangguk cepat, mungkin ini akan menjadi moment terakhir dirinya bisa tidur bersama Joe.

Merekapun merebahkan diri di samping Joe dan sama-sama menghadap bayi gembul itu, Sera langsung menutup matanya meskipun tidak mengantuk, sedangkan Jendra fokusnya tertuju ke wajah damai Sera yang terpejam lalu pada Joe, bulu mata mereka sama lentiknya, dan itu membuat hati Jendra berdesir hebat, Jendra ingin kebahagiaan ini selamanya, ia ingin tetap seperti ini.

“Aku janji, suatu saat aku akan mengembalikan Joe sama kamu,” lirihnya yang perlahan juga mencoba menutup matanya.

Sera jelas mendengar ucapan Jendra barusan, dan entahlah ia langsung merasakan sakit lagi, bukan tentang akan berjauhan dengan Joe, tapi sesuatu yang lain yang entah ia pun tak mengerti apa dan kenapa. Hingga tanpa ia sadari air mata menitik kembali di sudut matanya.

***

Pagi harinya Sera enggan berangkat sekolah, Joe masih tertidur tapi tak tega juga jika harus ia bangunkan. Itu artinya dengan terpaksa Sera harus berangkat dan membiarkan Alma membawa Joe pergi di saat dirinya di sekolah.

“Ayo, Ser, berangkat. Udah siang nih.” Jendra merangkul Sera dan mengusap lengannya bermaksud menenangkan.

Dan ini untuk yang terakhir Sera mencium kening Joe dengan perasaan sesak yang luar biasa, tenggorokannya begitu berat ia rasakan seperti menelan logam, ia tidak percaya bahwa hari dirinya dipisahkan dengan Joe datang juga.

“Sehat terus ya sayang,” bisiknya memaksakan tersenyum.

Jendra melihat itu hatinya ikut terenyuh dan juga sedih, tapi di balik itu ia juga merasa itu suatu hal yang baik karena bisa mendekatkan dirinya dengan Sera lagi, seperti saat ini dirinya yang bisa bebas memeluk dan merangkul Sera.

Biasanya Sera berangkat terlebih dulu karena sudah biasa ditunggu Ardana di belokan atau halte, ya setiap hari biasanya seperti itu. Tapi kali ini Sera meminta Ardana untuk tidak menunggunya.

“Pake.” Jendra menyodorkan helm padanya.

Sera mengernyit karena tidak berniat untuk berangkat bersama.

“Ser, ini udah siang, udah telat kita,” desak Jendra yang sok acuh tak acuh.

Tak ada pilihan lain, daripada telat. Sera pun menaiki motor gede Jendra dan membuat tubuhnya tidak bisa dihindarkan dari tubuh belakang Jendra. Merasa kesal, Jendra menarik kedua tangan Sera dan melingkarkannya ke perutnya.

“Udah diem aja, ini demi keselamatan kamu,” ujar pemuda itu tersenyum miring penuh kemenangan di balik helm.

Sudah bisa ditebak kan pas sampai di sekolah? Menjadi pusat perhatian bagi orang-orang yang mengenali mereka dan tahu masalah mereka.

Hampir saja telat, masih ada sisa waktu 5 menit untuk dirinya turun dari motor dan berjalan menuju kelasnya.

Sera terkejut di koridor Ardana mencegatnya dan langsung menarik tangannya ke tempat sepi.

“Na, aku bisa jelasin,” ujar Sera cepat, ia tau apa yang dirasakan Ardana pasti cemburu dan salah paham.

“Kamu bikin khawatir tau gak?” lirih Ardana menatap dalam, raut wajahnya benar-benar memancarkan kekhawatiran itu.

“Kamu gak papa, kan?” tanyanya mengusap wajah Sera. Ia menyadari sesuatu pasti telah terjadi.

Sera tertegun mendengarnya, ia kira Ardana akan marah karena dirinya berangkat bersama Jendra.

Akhirnya Sera menggeleng. “Gapapa,” balasnya pelan.

Ardana ingin bersuara lagi tapi bel pertanda masuk langsung berbunyi, membuat bibirnya kembali merapat.

“Yah, masuk.” Sera mengerucutkan bibirnya, dan melihat murid-murid berlarian untuk masuk.

“Istirahat aku tunggu di rooftop,” ujar Ardana datar.

Sera mengangguk dan hendak melangkah pergi, tapi tangannya ditahan Ardana. Perempuan itu berbalik dengan wajah tanda tanya, di saat itu juga Ardana langsung mengecup pipi Sera meski sekilas. Wajah Sera memanas karena malu, ia langsung berlari dan sama sekali tidak menyadari sedari tadi Jendra memperhatikannya.

Jendra hanya bisa mengeraskan rahangnya kuat dengan tangan mengepal.

Lihat aja, Sera bakalan bergantung terus sama gue dan gak bakalan bisa jauh dari gue demi Joe. Batinnya tersenyum sinis. Dirinya akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk mengambil hati Sera kembali.

tbc

Aku lagi gak mood nulis nih 😭

Fate and PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang