Bahagia, satu hal itu yang Sera rasakan akhir-akhir ini. Setiap hari dirinya diantar jemput sekolah oleh sang papa, Sera tak mau peduli apa pun lagi jika itu membuatnya sakit. Tentang papanya yang menyakitinya? Itu pun ia tak peduli, yang penting saat ini dirinya bisa merasakan kebersamaan dan waktu yang telah terbuang tanpa kehadiran sang papa.
“Keren banget anak Papa masih muda udah jadi pengusaha.” Cokro menggeleng dan menunjukkan satu jempolnya pada Sera.
“Ide Alea sebenarnya, waktu itu Sera ngirit biar gak beli lauk dan tiap makannya bisa sama keripik.” Sera tertawa kecil menceritakannya seolah itu lucu, padahal untuk Cokro itu cukup menyentil hatinya.
“Keripiknya juga pas pertama dikasih ibu-ibu di pasar pas Sera bantu-bantu kerja,” lanjut Sera kini tersenyum miris saat ingat ke masa-masa sulit itu, saat pertama dirinya keluar dari rumah Jendra dan berusaha hidup sendiri.
“Papa bangga kamu sekuat ini, padahal kan waktu kecil kamu manja banget.” Cokro mengusap-usap kepala Sera penuh sayang dan penuh penyesalan, putrinya tumbuh besar tanpanya.
Hati Sera terenyuh mendengar kata-kata papanya, andai papanya tahu kalau anak manjanya itu sudah menjadi seorang ibu.
“Oh ya, Pa. Liat deh bayi ini lucu banget, kan? Namanya Joe Muara Bagja,” cerita Sera penuh semangat.
Cokro mengernyit dan mengingat-ngingat pernah bertemu di mana dan detik berikutnya matanya melebar, bayi itu yang pernah diajak Celia putri bungsunya untuk foto.
“Jadi namanya Joe?” Cokro mengangguk-anggukan kepalanya, seketika dirinya mengingat Celia.
“Iya, mukanya tuh plek ketiplek banget sama bapaknya.” Sera tersenyum penuh arti membayangkan Jendra dan Joe bersamaan, ia seolah lupa bagaimana situasi dan kondisi.
“Kamu juga mirip banget sama Celia, Nak. Papa harap kamu mau menerima dia sebagai adik kamu,” lirih Cokro menatap Sera yang tiba-tiba tatapan matanya berubah kosong.
“Dia emang adik aku, kan?” balasnya pelan, entahlah tiba-tiba ia merasakan sakit lagi.
“Ada Celia dalam diri kamu, selama Papa membesarkannya Papa rasanya tengah membesarkan kamu.”
“Oh,” sahut Sera sangat-sangat pelan, berusaha menahan untuk tidak mengatakan bagaimanapun posisinya sudah tergeser oleh Celia.
***
Satu minggu sudah berlalu Sera tinggal berdua bersama papanya itu di sebuah unit apartemen, soal usahanya tentunya ia percaya dengan Alea.
“Yah ... jadi hari ini hari terakhir aku diantar sama Papa dong.” Sera mengerucutkan bibirnya murung.
Cokro mengecup kening putrinya itu singkat. “Jangan khawatir nanti Papa suruh Ardana buat gantiin,” ujarnya sengaja meledek Sera.
Sera seketika mendelikan matanya dan Cokro tertawa saja. Pria itu cukup tahu bagaimana hubungan anaknya dengan Ardana sekarang ini, mereka sudah putus. Sera juga sempat menceritakan tentang Milla pada Cokro agar papanya itu tidak terus menerus menggodanya dengan Ardana.
“Dah, Pa. Aku turun, ya?” Sera melambaikan tangannya dan turun dari mobil yang disewa papanya itu.
Senyum Sera terus mengembang, ternyata benar seberat apa pun masalah kalau keluarga berada di samping kita semuanya menjadi ringan. Jujur saja, bersama Cokro sang papa ia merasa aman dan terlindungi.
Namun, sepanjang ia masuk gerbang dan sekarang berada di koridor menuju kelasnya ia merasa ada yang aneh dengan tatapan murid-murid yang ia jumpai. Menatapnya seperti terkejut, melihat dari atas sampai bawah bahkan berbisik-bisik dengan temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate and Pain
Teen FictionHamil dan menjadi orang tua di bangku sekolah. 🔞 Menguras emosi ⚠️ *** Satu tahun menghilang, tidak ada yang tahu bahwa siswi yang kembali ke sekolah yang sama itu kenyataannya telah mengandung dan melahirkan anak dari Jendra Adisaka Bumi, pemuda p...