FATE 63

9.6K 593 29
                                    

Seperti yang dibilang Alea, sekarang Sera sekolah bawa motor sendiri dan pulangnya pun sendiri. Dan sialnya hujan turun, awalnya gerimis namun makin lama makin besar, mau tak mau Sera menepikan motornya dan meneduh di sebuah warung kosong, hanya duduk di bangku luarnya.

“Padahal bukan musim hujan,” gerutu Sera mendaratkan bokongnya di bangku itu. Ia mengusap seragamnya yang agak basah karena mulai dingin.

Tiba-tiba suara knalpot mengagetkannya dan ikut menepikan motor sportnyanya di samping motor matic Sera, padahal tempatnya itu sempit. Belum membuka helm pun Sera sudah tahu dia siapa, membuatnya hanya bisa mendesis panik.

“Oh lo, Ser? Kebetulan, ya?” ujar pemuda itu dengan cengiran khasnya yang menimbulkan mata bentuk bulan sabit.

“Lo ngapain di sini?” tanya Sera tak suka.

“Ya gue mau pulang lah.” Jendra duduk tanpa permisi di samping Sera, membuat perempuan itu sedikit menggeser bokongnya.

“Rumah lo kan arahnya bukan ke sini!” sahut Sera mulai merasa curiga.

Jendra sontak menggaruk kepalanya, benar ya cinta itu selain membuat buta tapi juga membuat bodoh, batinnya.

“Jangan bilang lo ngikutin gue!” tuduh Sera sarkas.

Jendra ingin menyangkal, tapi itu kenyataannya. Sebenarnya Jendra merasa khawatir dengan Sera membawa motor sendiri, takut terjadi apa-apa, seperti sekarang ini kehujanan sendirian.

“Iya gue ngikutin lo,” jawab Jendra pasrah.

Sera berdecak marah dan dengan cepat memalingkan wajahnya yang merengut itu ke samping.

“Gue cuma mau mastiin lo aman sampe tujuan, gak ada maksud lain. Sumpah!” Jendra menjelaskan dengan sangat terdesak.

“Lo doain gue kenapa-kenapa gitu? Iya?” tuduh Sera lagi mulai memasang wajah sangar.

Jendra terkejut dan menggeleng cepat. “Eh gak gitu!” tukasnya panik.

“Dasar!” Perempuan itu mulai berteriak sambil memukul Jendra dengan tas ranselnya yang sedari tadi dia peluk, dan terus memukulnya.

“Ser, sakit!” pekik si pemuda meringis memegangi lengannya.

“Rasain! Makanya jangan jadi penguntit!” ketusnya dengan bibir mengerucut, lalu kembali memeluk ranselnya.

Sekesal apapun Sera pada Jendra, tetap saja itu adalah fakta Sera yang seterbuka itu pada Jendra, tidak jaim dan tanpa beban. Berbeda saat berhadapan dengan Ardana, Sera selalu merasa harus lembut dan menjaga hati Ardana.

Diam-diam Jendra mengulum senyum melihat tingkah Sera ini, begitu menggemaskan dan otak kotornya menginginkan mengecup bibir yang cemberut itu. Sepertinya semesta sedang berpihak padanya, momen hujan ini sangat menguntungkan untuk Jendra.

“Udah lah, jangan marah, lo tambah cantik kalo marah gue gak kuat,” ujarnya pelan lalu mengatur napasnya agar bisa mengontrol perasaannya.

“Jangan gombal, gak bakal mempan!” Sera masih ketus.

“Siapa juga yang gombal, beneran juga,” gumam Jendra datar dengan bibir yang kembali mengulum senyum, tidak apa-apa dimarahin seperti ini yang penting berduaan.

Namun kilat tiba-tiba melintas di depannya bak membelah langit diikuti dengan suara petir yang menggelegar, sontak Sera teriak.

“Aaaaa!” jeritnya terkejut bukan main, semakin erat memeluk tasnya.

Jendra juga terkejut tapi tidak sampai menjerit, perlahan ia menepuk pundak Sera. “Jangan takut,” ujarnya pelan mencoba menenangkan.

“Gue gak takut! Kaget aja!” balas Sera malah ngegas, matanya mendelik.

Fate and PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang