FATE 36

11.7K 676 13
                                    

Tangis Sera langsung pecah di peluk Jendra seperti itu, padahal ini baru dua hari dirinya berpisah dari Joe, tapi sudah serasa berbulan-bulan.

“Anak kita baik-baik aja di sana, jangan khawatir, dia dilimpahi kasih sayang oleh Kak Alma,” ujar Jendra sambil mengusap-usap surai Sera pelan.

“Mau ketemu ....” Sera merengek bak anak kecil, mencengkeram erat kaos Jendra bagian dada.

“Lusa kan hari Minggu kita main ke sana, ya?” ujar Jendra menenangkan.

“Beneran?” tanya Sera dengan binar di matanya, dan Jendra langsung mengangguk.

Sera mengubah posisi duduknya dengan tegak dan agak menjauh dari Jendra, ia merasa tidak seharusnya dipeluk-peluk Jendra seperti barusan.

“Kamu gak kangen Joe? Kok kamu gak keliatan sedih atau murung berjauhan sama Joe?” tanya Sera yang entahlah tiba-tiba terdengar polos, bibirnya mengerucut seperti anak kecil membuat Jendra gemas sendiri sekaligus bingung untuk menjawab.

Lihat, kan? Sera itu bisa lebih terbuka dan bebas mengekspresikan diri saat bersama Jendra daripada bersama Ardana.

“Aku sedih, kok. Cuman mungkin aku bisa nutupin perasaan aku.”

Setelahnya mereka terdiam beberapa saat, dan hening melanda diikuti rasa gugup antar keduanya. Tiba-tiba Sera berdiri dan berjalan ke arah jendela dengan maksud menutupi rasa gugupnya, menatap pekatnya langit malam.

Melihat itu, Jendra menyusul dan memanfaatkan momen itu dengan sangat baik. Jendra memeluk Sera dari belakang dengan penuh perasaan.

“Ser, kamu bosen gak denger kata maaf dariku?” bisiknya tepat di telinga Sera membuat Sera bergidik, Jendra juga semakin mengeratkan pelukannya.

“Gak usah bahas yang sudah lalu, karena itu pasti ngingetin semua kejahatan kamu sama aku,” balas Sera datar.

Jendra mengangguk pasrah dengan perasaan penuh penyesalan. “Ser, bagiku saat ini dan seterusnya perempuan yang aku cintai hanya kamu. Gak peduli dengan kenyataan kamu gak bisa melepas Ardana.”

Mendengar ucapan Jendra membuat Sera mulai tak nyaman, berusaha melepaskan pelukannya. Ia mengingat Ardana dan merasa telah menyakiti laki-laki itu dengan dipeluk laki-laki lain seperti ini.

Satu hal yang Sera lupakan, dirinya tinggal di sini untuk Joe dan demi Joe. Dan sekarang? Joe tidak lagi ada di sini bersamanya. Bukankah ini saatnya dirinya bisa keluar dari rumah ini? Tidak bergantung lagi pada Jendra dan keluarganya?

Di tengah lamunannya yang terus ke sana sini, tidak sadar bahwa Jendra sudah membalikkan tubuhnya dan meraup bibirnya dalam.

Napas Sera tercekat dengan ciuman tiba-tiba ini, ciuman yang begitu lembut. Saat kesadarannya muncul, dengan cepat Sera berusaha mendorong dada Jendra. Berhasil terlepas, namun tangan Jendra mencengkram erat kedua tangan Sera dan menatap dalam manik matanya.

“Please, Ser,” lirihnya dengan suara berat dan mata jelaganya yang sudah berkabut.

Tak peduli apa yang dirasakan oleh Jendra, Sera melangkah dengan kasar dan menabrakkan bahunya ke lengan Jendra. Ia berjalan ke luar kamarnya. Perasaannya kacau, sampai ia tidak lagi bisa menampar Jendra seperti dulu.

“Brengsek! Brengsek! Sekali brengsek tetap brengsek!” gerutu Sera tanpa hentinya menuruni tangga dan keluar rumah.

Perempuan itu memutuskan duduk di teras depan dan menyisir rambutnya asal dengan jemarinya, lalu mengusap wajahnya kasar dan terakhir mengembuskan napas beratnya.

Tak lama Sera kini memukul-mukul kepalanya dan mengatai dirinya sendiri dengan, “Bego! Bego! Sera bego! Bisa-bisanya nikmatin ciuman Jendra barusan! Bisa-bisanya gak marahin dia!”

Setelah itu Sera menyembunyikan wajahnya di kedua lututnya, sekacau itu, campur aduk yang ia rasakan.

Perempuan itu kembali berpikir, untuk apa dirinya tetap bertahan tinggal di sini, kan? Alma saja pernah bilang kalau mau pindah dari sini pindah aja, mengingat ucapan Alma itu membuat dirinya semakin membulatkan tekadnya secepat itu.

Di sisi lain, Jendra yang masih berada di kamar Sera juga sama merutuki dirinya sendiri karena tidak bisa menahan keinginannya barusan. Cukup lama ia duduk di sisi ranjang Sera dengan tatapan kosong, perlahan pemuda itu mengangkat wajahnya dan mengacak rambutnya.

“Sera pasti ngatain gue brengsek lagi! Ah sial!” monolognya tertahan.

Ini bukan tentang nafsu ataupun apa lah itu namanya, yang pasti Jendra tidak bisa menahan diri untuk mencium bibir Sera, itu spontan dan dilandasi perasaannya yang begitu dalam pada perempuan yang sudah melahirkan anaknya itu.

Jendra itu hampir gila di setiap kali Sera tak kunjung pulang saat bersama Ardana, pikiran yang tidak-tidak terus menghantui kepalanya apa saja yang tengah dilakukan pasangan itu. Satu hal yang membuatnya diam, ketika dirinya menerima kalau ini adalah karmanya karena telah menyakiti Sera sebelumnya dan berkali-kali.

“Berapa lama lagi gue harus menerima pembalasan ini?” gumamnya lagi yang kini memandang langit-langit kamar.

“Udah cukup, Ser. Berhenti ngehukum aku.”

Ponsel Sera berdering membuat Jendra mengernyit dan melirik tas Sera di sampingnya, ia berpikir itu adalah Ardana, dengan cepat mengambilnya.

Sunggingan sinisnya terukir di bibirnya, melihat panggilan video dari Ardana. Namun detik kemudian ia berdecak ketika mau menjawabnya malah terputus.

“Sialan, jadi tiap malem sebelum tidur kalian vcan terus,” gumamnya yang kini tanpa permisi membuka ruang chat Sera bersama Ardana.

Sera itu memang orang yang gak mau ribet, sampai ponselnya pun gak dipasang pola ataupun pin.

Lagi-lagi Jendra harus terbakar api cemburu, melihat kemesraan Ardana dan Sera walau hanya lewat chat.

“Apa-apaan lo pap ginian! Gantengan juga gue! Dasar jelek lo!” cibir Jendra menunjuk-nunjuk wajah Ardana yang mengirimkan fotonya, dilihat dari tanggalnya itu dua harian lalu.

Jendra terus scroll chat mereka dan membacanya secara acak. Ia tetap merasa panas, namun sebagian hatinya merasa senang karena Sera tidak sebucin padanya dulu. Meskipun dulu Jendra berpacaran dengan Sera tidak dengan perasaan, tapi ia tetap merasakan perbedaannya, panggilan sayang Sera pada Ardana tidak sesering padanya dulu.

Sayangnya Jendra tidak berpikir bahwa Sera menjadi lebih dingin terhadap laki-laki itu karena dirinya, dirinya yang sudah menorehkan banyak luka pada Sera dan menyisakan trauma pada perempuan itu. Sera tidak lagi bisa mencintai seseorang sebegitu dalam seperti dulu karena sebagian hatinya sudah mati.

Chat terbaru pun muncul.

Ardana
Yang, hari Minggu kita ke panti lagi, yuk |

Jendra tersenyum licik dan mengetik balasannya.

Hari Minggu aku udah ada janji sama Jendra |
Maaf ya ayang |
Aku capek nih, mau bobo, jangan bales lagi ya |

Dengan sangat terpaksa Jendra memanggil ayang untuk membuat Ardana percaya bahwa yang membalasnya itu Sera.

“Sera pasti lebih milih Joe lah, daripada ke panti,” gumam Jendra menyimpan ponsel Sera kembali ke dalam tasnya.

Ngomong-ngomong ke mana Sera? Jendra bangkit dan keluar mencoba mencari keberadaan perempuan itu.

Rupanya Sera berada di dapur menyeduh teh.

“Sekalian bikinin kopi dong,” ujar Jendra yang tanpa dosa itu, duduk di kursi di dekat Sera.

Sera memutar bola mata malas, mengingat ciuman yang dilakukan Jendra barusan membuatnya kembali merasa gugup. Tanpa sadar Sera membuatkan kopi permintaan Jendra dan langsung menyodorkannya di atas meja tanpa bicara sepatah katapun.

“Aku gak suka kamu main masuk-masuk kamar sembarangan lagi,” ujar Sera datar dan langsung berlalu meninggalkan Jendra yang saat ini hanya tersenyum saja, karena ia sudah berhasil mengerjai Ardana.

Yang diharapkan Jendra besok mereka betengkar hebat lalu putus. Seringaian licik terus menghiasi birainya.

tbc

Fate and PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang