Tidak sesuai harapan Jendra. Tidak ada pertengkaran antara Sera Ardana. Mereka menjalani hari seperti biasanya. Membuat Jendra kesal setengah mati, selalu saja gagal, menyebarkan tentang Sera adalah tunangannya juga sudah tidak mempan lagi.
Tapi jika menyangkut Joe tidak pernah gagal, Sera dengan semangatnya bangun pagi dan menunggu Jendra untuk pergi bersama.
“Gak sabar banget.” Sera merapatkan kedua tangannya dan meniupnya, ia gugup luar biasa.
“Joe!” teriak Sera begitu pintu dibuka dan menampakkan anaknya itu yang kini sudah duduk di baby walker dan membuatnya bisa berlari.
“Padahal belum ada seminggu lho.” Alma malah menyambut tidak ramah dua remaja itu, tidak suka Sera ada bersama Joe.
Penampilan Alma yang hanya mengenakan daster itu sungguh jauh dari penampilan dirinya selama ini yang selalu modis meskipun di dalam rumah, Jendra saja melihatnya dari atas sampai ke bawah.
“Kak, gak salah nih?” tanya Jendra sedikit mengernyit menatap aneh.
“Emang kenapa kalo Kakak pake daster hah? Kakak cuman ibu rumah tangga biasa sekarang,” ujarnya memberengutkan wajah.
Menyadari sikap Alma yang tidak ramah, Sera merasa tidak enak, malu, sekaligus sakit hati juga. Ia hanya bisa tersenyum mengajak main Joe, karena sekarang setiap detik bersama Joe itu sangat berharga.
Ketika Joe asyik bermain bersama Jendra dan Sera, Alma sama sekali tidak ikut gabung dengan kebersamaan mereka. Dirinya memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah.
“Maaf, Sera. Kakak harap kamu tidak terlalu sering berkunjung ke sini,” ujar Alma ketika Jendra berpisah dari Sera untuk ke toilet.
Belum sempat Sera membalas, Alma kembali melanjutkan, “Kakak cuma takut kalo kamu terlalu sering dan dekat sama Joe membuat kamu melanggar kesepakatantan kita.”
“Kak,” lirih Sera dengan suara bergetar.
“Ini ada cek, kamu tinggal tulis jumlah uang yang kamu inginkan.”
Sera menatap nanar cek itu. “Untuk apa, Kak?” tanyanya sesak.
“Kamu harus memulai hidup kamu yang baru secepatnya, kamu harus bersenang-senang menikmati masa muda kamu.”
“Kakak sangat berterima kasih sama kamu karena telah mengandung dan melahirkan Joe, karena itu apapun yang kamu minta kakak akan berikan.”
Sera tercekat tak bisa berkata apa-apa, matanya pun sudah berkaca-kaca. Ia begitu terluka atas semua perkataan Alma padanya.
“Berapapun akan Kakak kasih, asal kamu selamanya tidak mengakui Joe anak kamu.”
“100 juta cukup?” Alma menuliskan sederet angka di cek tersebut dan memberikannya pada Sera.
Dengan tangan bergetarnya Sera mengambil cek itu, dan tanpa pikir panjang merobeknya asal, meluapkan segala amarahnya lewat robekan itu.
“Maaf, Kak. Saya gak pernah berniat menjual Joe, saya bersyukur karena Kakak merawat dan menyayanginya seperti anak sendiri.” Sera mengatur napasnya yang tak beraturan, ditambah pandangannya buram karena air mata.
“Saya butuh waktu, saya perlu proses untuk melepaskan Joe, pelan-pelan.”
“Saya pikir Kakak akan menepati ucapan Kakak, yang mengizinkan saya menengoki Joe sesering mungkin.” Sera menunduk, memandangi wajah damai Joe yang tertidur pulas di pangkuannya.
Dengan berat hati Sera menyerahkan Joe ke pangkuan Alma, sepertinya ini benar-benar akan menjadi yang terakhir kebersamaan mereka.
“Titip Joe, Kak. Saya percaya Kakak bisa menjadi orang tua yang terbaik untuk Joe. Dan saya, sebisa mungkin, serindu apapun, saya tidak akan memunculkan diri di hadapan Joe secara langsung.” Tangis Sera benar-benar pecah meski tanpa suara, air matanya terus berderai.
“Satu yang harus Kakak ingat, saya tidak pernah menjual Joe. Saya juga akan secepatnya keluar dari rumah Mama Farah dan tidak akan lagi menerima materi sekecil apapun dari keluarga Kakak.” Sera berdiri dan melirik Joe, ia harus menguatkan hatinya, langsung melangkah pergi meninggalkan Joe.
Berlari sekuat mungkin, ke mana pun tanpa tujuan. Rasa sakitnya lebih dari apapun, sakit sekali. Lebih sakit dari Jendra yang berkali-kali menyakitinya, lebih sakit dari diusir oleh mamanya.
Joe, belahan jiwa yang sesungguhnya, yang mampu membuatnya bangkit dari keterpurukan, yang mampu membuat gelapnya terang. Dan sekarang separuh jiwanya telah hilang. Mampukah Sera bertahan?
Di sisi lain, Jendra terus mencari keberadaan perempuan itu. Ia kebingungan ketika tak mendapati Sera dan hanya ada Alma yang memangku Joe dan mengusap air matanya seperti menangis. Dan Alma memilih untuk tidak menjelaskan apapun, Alma pikir dengan Sera membencinya itu lebih baik.
“Ser, kamu ke mana?” lirih Jendra mengacak rambutnya. Karena hari sudah senja dan mulai gelap.
Ke rumah tidak ada pulang, ke kostan yang disiapkan Ardana pun tidak ada, ditelepon berkali-kali tidak tersambung. Dengan terpaksa Jendra menghubungi Ardana berharap perempuan itu ada bersamanya.
“Apa yang terjadi?” tanya Ardana yang tidak lama langsung berada di kostan karena jarak dari rumahnya yang tidak jauh.
“Ke mana Sera?” tanyanya lagi tanpa jeda, ia begitu khawatir.
Jendra diam, dia hanya meremas kepalanya, wajahnya benar-benar tegang.
“Ada masalah apa hah?” Ardana mendekat dan menepuk pundak Jendra keras.
“Ada masalah apa gue tanya!” bentaknya dengan mata tajam.
“Sera bilang ke gue mau nemenin lo ketemu Joe, ke mana dia sekarang?” tanya Ardana lagi kini mendorong bahu Jendra kasar.
Jendra membasahi bibir bawahnya, siap bicara. “Gue gak tau masalahnya apa, Sera pergi gitu aja tanpa pamit, gue takut terjadi apa-apa sama dia,” lirihnya pelan. Ia sempat bertanya pada Alma, tapi kakaknya itu hanya menggeleng.
Sampai malam semakin larut belum ada kabar sama sekali dari Sera, Milla dan Rinka pun tidak ada yang tahu keberadaan temannya itu.
Di sisi lain, Sera ternyata tengah duduk sendiri di sebuah bangku panjang. Ia butuh sendiri saat ini, jika diibaratkan kurva, maka Sera saat ini berada di titik paling rendah dalam hidupnya, jatuh sejatuh-jatuhnya. Jika dulu ia dipukuli dan diusir mamanya, ia masih memiliki tujuan dengan melindungi perutnya, ia masih ada harapan untuk mendatangi Jendra. Tapi sekarang? Rasanya sebagian jiwanya telah mati, hampa, tidak ada lagi tujuan.
Ardana benar, kalau suatu saat Sera pasti butuh pulang, karena itu Ardana menyiapkan tempat untuk Sera pulang. Tapi kenyataannya sekarang Sera tidak bisa pulang ke sana, karena rumah baginya berarti keluarga. Jika Sera pulang ke kostan, itu tidaklah ada artinya, tidak akan ada yang menyambutnya pulang dan menemani harinya.
“Dek, udah malam, lho.” Seorang perempuan berjilbab menghampiri. “Kamu gak pulang?” tanyanya. “Atau lagi nunggu temanmu yang datang sama kamu kemarin?”
Sera mengusap air matanya cepat. “Bu, boleh saya malam ini tidur di sini? Biar besok saya bantu-bantu masak dan lainnya.”
Ibu panti mengangguk sambil tersenyum. “Tentu saja, ayo masuk, tempat ini selalu terbuka untuk anak-anak seperti kamu.”
Sera menunduk, ya dirinya masih anak-anak tapi sudah harus merasakan beratnya beban menjadi seorang ibu, mentalnya dipaksa harus dewasa.
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate and Pain
Teen FictionHamil dan menjadi orang tua di bangku sekolah. 🔞 Menguras emosi ⚠️ *** Satu tahun menghilang, tidak ada yang tahu bahwa siswi yang kembali ke sekolah yang sama itu kenyataannya telah mengandung dan melahirkan anak dari Jendra Adisaka Bumi, pemuda p...